Bencana alam topan melanda beberapa provinsi di wilayah tengah Filipina. Pemerintah setempat harus berpikir keras agar pengungsi akibat bencana alam tidak menambah daftar pasien positif Covid-19 di negara itu.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
MANILA, KAMIS — Topan Vongfong yang menghantam wilayah Filipina tengah, Kamis (14/5/2020), memaksa puluhan ribu orang meninggalkan rumah mereka yang rusak. Bencana alam di tengah pandemi Covid-19 yang juga melanda Filipina membuat kerja tim penyelamat menjadi lebih kompleks.
Topan Vongfong yang berkecepatan hingga nyaris mencapai 200 kilometer per jam menerbangkan atap rumah milik warga, menumbangkan pepohonan, termasuk pohon kelapa, hingga ke akarnya dan mengakibatkan banjir serta tanah longsor di Pulau Samar.
Kondisi itu memaksa warga memenuhi berbagai tempat penampungan di sejumlah titik. Ratusan ribu warga yang tinggal di wilayah pantai rentan terdampak topan ini.
Tempat penampungan yang sempit membuat para pengungsi menjadi rentan terhadap dua hal, yaitu penyakit pascabencana dan juga terpapar Covid-19, yang saat ini juga tengah melanda Filipina. Minimnya alat pelindung diri (APD) membuat setiap pengungsi menjadi sangat rentan terpapar.
Kondisi itu memaksa tempat-tempat pengungsian di wilayah Filipina tengah menampung hanya separuh dari kapasitas sesungguhnya. Protokol kesehatan, khususnya pembatasan fisik, tetap harus diterapkan. Para pengungsi juga diwajibkan mengenakan masker selama berada di pengungsian.
”Ini bagaikan mimpi buruk bagi kami. Kami harus berhadapan dengan dua hal, ancaman badai dan juga Covid,” kata Mary Ann Encinares, salah seorang pengungsi.
Minimnya APD, termasuk yang paling mendasar, yaitu masker, membuat Marry Ann dan anak-anaknya yang harus tinggal di pengungsian membuat masker dari bahan dan peralatan seadanya, yaitu sapu tangan dan karet gelang.
Mengantisipasi lonjakan pengungsi telah memaksa pemerintah setempat meminta gereja-gereja besar di wilayah terdampak untuk menerima para pengungsi.
Cedric Daep, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Provinsi Albay Tengah, mengatakan, keputusan itu harus diambil mengingat keterbatasan lokasi penampungan.
Di sejumlah wilayah, pemerintah setempat telah mengubah fungsi tempat pengungsian menjadi tempat perawatan pasien positif Covid-19. Apabila gereja dinilai sudah tidak bisa lagi menampung pengungsi, pemerintah setempat berencana memfungsikan bangunan sekolah sebagai tempat pengungsian.
”Masalahnya adalah bagaimana Anda mengatasi masalah jarak sosial di dalam ruang kelas?” kata Ben Evardone, Gubernur Samar Timur.
Wali Kota Jipapad di Provinsi Samar Timur, Benjamin E Ver, mengakui, penanganan pengungsi bencana alam menjadi lebih rumit karena berbarengan dengan penanganan Covid-19.
Satu-satunya tempat pengungsian di kota itu adalah sebuah balai pertemuan dan gimnasium yang mampu menampung 8.000 orang. Namun, diakui Ver, dengan jumlah pengungsi sebanyak itu, akan sulit menjaga jarak satu sama lain.
Pemprov Samar Utara telah meminta izin kepada pengelola sekolah agar bangunan-bangunan sekolah yang kosong untuk saat ini bisa difungsikan sebagai pengungsian. Diperkirakan, di provinsi ini terdapat 80.000 warga yang mengungsi akibat topan tersebut.
”Kalau sebelumnya kami menggunakan 10 bangunan sekolah, kali ini jumlahnya dua kali lipat karena pengungsi harus menjaga jarak satu sama lain,” kata Gubernur Samar Utara Edwin Ochuan.
Bencana angin topan menjadi salah satu bencana alam yang paling merusak di Filipina. Setiap tahun rata-rata di wilayah Filipina dilanda topan dan badai sebanyak 20 kali.
Awal Desember lalu, topan Kammuri melanda Filipina dan membuat sekitar 480.000 rumah rusak dan lebih dari 1 juta warga mengungsi.
Dalam satu dekade terakhir, angin topan yang paling merusak adalah Super Typhoon Haiyan pada 2013, yang mengakibatkan lebih dari 7.300 orang tewas dan lebih dari 5 juta warga mengungsi. (AFP/REUTERS)