Dorong Bisnis Perempuan Pengusaha dengan Teknologi Digital
Pandemi Covid-19 ini mengancam bisnis di seluruh dunia. Ketidakpahaman memahami dunia digital memperparah risiko usaha-usaha kecil yang banyak dijalankan oleh perempuan di Asia Tenggara.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
Nguyen Thi Bich Ngoc (39), perempuan warga Vietnam, harus menjual kosmetik dari rumah ke rumah sejak suaminya kehilangan pekerjaan gara-gara pandemi Covid-19. Menjual kosmetik keliling, yang semula sambilan untuk sekadar membantu suami, kini menjadi sumber penghasilan utama untuk menghidupi diri, suami, dan kedua anaknya.
Namun, usaha Ngoc tak bisa berkembang cepat. Ia hanya bisa memanfaatkan media sosial Facebook sebagai lapak berjualan. Ngoc tidak sendirian. Jutaan perempuan yang memiliki usaha kecil di Vietnam juga belum memanfaatkan revolusi digital untuk kepentingan usahanya. Berbeda dengan perempuan pengusaha di kota-kota yang jauh lebih dulu lihai berdagang secara daring.
”Saya tidak tahu cara menarik lebih banyak pembeli dengan Facebook,” kata Ngoc, yang tinggal di Provinsi Vinh Phuc, dekat ibu kota Hanoi, Vietnam.
Kini, masalah yang dialami Ngoc dan jutaan perempuan lainnya yang senasib itu bisa terpecahkan. Hal ini setelah para perempuan pengusaha akan mengembangkan kapasitas agar para rekan perempuan mereka bisa melewati krisis ini dan memperkuat bisnis mereka.
Ngoc akan mendapatkan pelatihan digital dalam sebuah program yang diberikan kepada 200.000 perempuan di seluruh penjuru Asia Tenggara. Program itu dirancang khusus bagi perempuan pengusaha untuk menjembatani kesenjangan digital yang dialami perempuan di peedesaan.
Pandemi Covid-19 ini mengancam bisnis di seluruh dunia. Ketidakpahaman memahami dunia digital memperparah risiko usaha-usaha kecil yang banyak dijalankan oleh perempuan di Asia Tenggara. Meski banyak kota sudah melonggarkan kebijakan karantina, aturan menjaga jarak fisik akan mendorong munculnya lebih banyak usaha untuk menjalankan usahanya melalui daring.
Meski banyak kota sudah melonggarkan kebijakan karantina, aturan menjaga jarak fisik akan mendorong munculnya lebih banyak usaha untuk menjalankan usahanya melalui daring.
Itulah sebabnya mengapa kelompok-kelompok yang rentan membutuhkan keterampilan digital yang lebih baik. Program bernilai 3,3 juta dollar AS yang didanai oleh Google itu akan dimulai pada bulan depan di 10 negara, antara lain, Vietnam, Kamboja, dan Laos. Sebagian besar pematerinya adalah perempuan pengusaha dan para narasumber berusia muda.
”Literasi digital makin penting,” kata Marija Ralic dari Google.org, unit filantropi perusahaan raksasa AS yang setiap tahun menyumbangkan bantuan lebih dari 100 juta dollar AS untuk mendukung inovasi dan teknologi.
Ralic mengakui, wabah korona menyebabkan banyak usaha goyah dan rentan hancur, terutama usaha di perdesaan dan daerah pinggiran. Pelatihan yang akan diberikan meliputi peningkatan keterampilan, cara mengembangkan usaha, memanfaatkan fasilitas pesan atau berinteraksi dengan konsumen, dan meningkatkan keamanan.
Noraeri Thungmueangthong (45), yang memiliki usaha jahit dan menjual pakaian dari kain tenun tradisional Thailand, berharap pelatihan digital itu akan membantu usahanya maju. ”Kami menjual sekitar lima lembar kain tenun dalam sebulan. Semoga teknologi bisa membantu usaha dan komunitas saya,” kata Thungmueangthong yang berasal dari kelompok etnis Karen yang tinggal di perbukitan.
Badan amal asal AS, The Asia Foundation, yang akan menjalankan pelatihan itu, menyebutkan bahwa penting untuk memastikan agar perempuan tidak tertinggal dalam perkembangan teknologi digital. Menurut PBB, dibandingkan dengan anak perempuan, anak laki-laki 1,5 kali lebih banyak memiliki telepon seluler. Proporsi perempuan di seluruh dunia yang menggunakan internet sekitar 48 persen, sedangkan laki-laki 58 persen.
Data PBB juga menunjukkan terdapat lebih dari 61 juta perempuan pengusaha di seluruh penjuru Asia Tenggara yang menjalankan usaha sendiri. ”Biasanya mereka tidak memiliki banyak kesempatan berkembang. Pelatihan ini untuk memberikan peluang dan kesempatan,” kata Meloney Lindberg dari The Asia Foundation. (REUTERS)