Pengungsi Rohingya di Bangladesh Semakin Menderita
Banyak pihak sudah memperingatkan akan adanya ancaman kebakaran karena kamp pengungsi Rohingya yang terlalu padat. Sementara proses repatriasi etnis minoritas itu kembali ke Myanmar tak pernah tuntas.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
DHAKA, RABU — Kebakaran hebat melanda kamp yang kumuh dan padat untuk menampung pengungsi etnis minoritas Rohingya di Kutupalong, Bangladesh, Selasa (12/5/2020). Sedikitnya 400 gubuk bambu dan kain terpal serta kios ludes.
Tidak ada korban jiwa dalam musibah tersebut, kecuali 10 orang terluka. Meski api bisa dipadamkan dalam waktu satu jam, tidak ada barang-barang mereka yang bisa diselamatkan. Kehidupan yang sudah sulit, kini ditimpah kembali oleh kebakaran yang membuat mereka semakin menderita.
Kamp Kutupalong di Distrik Cox Bazar ini merupakan salah satu dari puluhan kamp penampung etnis Rohingya yang berada di perbatasan Bangladesh dengan Myanmar. Kamp-kamp yang kumuh dan padat di Bangladesh ini menjadi bukti penderitaan etnis minoritas tersebut.
Mereka berada di pengugisan setelah terusir dari kampung halamannya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Di negara ini minoritas Muslim Rohingya tidak diakui sebagai warga negara, kecuali sebagai nomaden yang masuk ke Myanmar secara ilegal.
Lebih dari satu juta pengungsi Rohingya tinggal di kamp pengungsian yang berbatasan dengan Myanmar tersebut. Belum diketahui penyebab kebakaran, tetapi diduga karena ledakan gas dari salah satu toko.
Komisariat Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) mengatakan akan menyediakan bantuan makanan dan kebutuhan lain untuk para pengungsi yang tinggal di salah satu kamp pengungsian terbesar di dunia itu.
Sekitar 740.000 pengungsi tiba di Bangladesh dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar, pada 2017. Mereka melarikan diri dari kekerasan aparat militer yang brutal terhadap komunitas etnis Rohingya.
Militer Myanmar dituding melakukan pembunuhan dan pemerkosaan massal serta membakar ribuan rumah Rohingya. Walau demikian, otoritas Myanmar menyangkal dan menyalahkan kelompok garis keras dan pemberontak Rohingya yang melakukannya. Kelompok separatis ini yang diperangi militer.
Berbagai pihak sebenarnya sudah memperingatkan akan adanya ancaman kebakaran karena kamp pengungsian yang terlalu padat. ”Sebelum kebakaran ini pernah ada kebakaran-kebakaran kecil, tetapi tidak separah ini. Banyak warga yang mencari makan dengan buka toko kecil,” kata pemimpin komunitas Rohingya, Abdur Rahim.
UNHCR melaporkan sebelumnya pada 2018 pernah ada kebakaran di kamp pengungsian hingga menewaskan seorang perempuan dan 3 anak.
Kehidupan yang buruk, kesulitan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan mendera para pengungsi sejak keluarga Rohingya tinggal di kamp-kamp reyot. Sebenarnya serangkaian pembicaraan antara Bangladesh dan Myanmar untuk proses repatriasi telah disepakati Desember 2018.
Sampai sekarang, proses itu belum terealisasi. Myanmar yang seharusnya menerima kembali Rohingya tidak juga menunjukkan sikap proaktifnya. Padahal, Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah sangat jelas merekomendasikan apa saja yang harus dilakukan untuk proses itu.
Meskipun telah berbulan-bulan dilakukan diskusi antara Myanmar, Bangladesh, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan sejumlah lembaga bantuan lain, pada 2018, hanya sedikit tanda bahwa warga Rohingya dapat pulang ke Rakhine.
Kenyataan tidak semulus itu. Myanmar menganggap hanya sebagian pengungsi yang menjadi warganya untuk menjalani repratriasi. Hingga kini, masih ada sekitar satu juta pengungsi Rohinya meringkuk di kamp-kamp kumuh di Bangladesh. (AFP/AP/CAL)