Militer Myanmar mengakui penganiayaan dilakukan sejumlah anggotanya terhadap tahanan yang diduga sebagai anggota pasukan pemberontak Arakan. Militer Myanmar kembali diduga melakukan kejahatan perang.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
NAYPITAW, RABU — Militer Myanmar, Rabu (13/5/2020), mengakui bahwa anggotanya telah melakukan penganiayaan terhadap beberapa tawanan yang dicurigai sebagai anggota Tentara Arakan (Arakan Army). Militer Myanmar menyatakan para pelaku akan mempertanggungjawabkan perbuatannya yang dinilai tidak sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku.
Pengakuan atas kesalahan prosedur yang dilakukan terhadap para tahanan itu disampaikan setelah sebuah video diunggah ke media sosial pada Minggu (10/5/2020) dan menjadi viral. Di dalam video itu diperlihatkan sejumlah laki-laki berpakaian preman, yang diyakini sebagai anggota militer Myanmar, meninju, memukul, dan bahkan menendang kepala para tahanan yang diborgol dan ditutup matanya.
Menurut laman resmi militer Myanmar, lima orang yang diduga anggota pasukan Pemberontak Arakan itu ditangkap di Negara Bagian Rakhine dan kemudian dipindah ke ibu kota negara bagian, Sittwe, pada 21 April lalu. Saat pemindahan itulah, menurut laman militer Myanmar, penganiayaan itu terjadi. Militer Myanmar tidak menggunakan kata penganiayaan atas tindakan anggotanya kepada para tahanan, melainkan ”tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan dan hukum”.
Video yang viral itu menjadi bukti bahwa dalam operasi rutin, anggota militer juga sering kali menganiaya orang-orang yang dicurigai terkait dengan kelompok pemberontak. Video yang viral itu juga membuat warga terbagi ke dalam dua kelompok, yang menentang dan mendukung militer.
Sementara keluarga para tahanan menyangkal bahwa mereka memiliki hubungan dengan kelompok pemberontak yang diincar oleh militer dan pemerintah. ”Dia hanya bekerja di toko beras. Dia tidak tahu apa-apa tentang AA,” kata Ni Ni, ibu dari salah satu tahanan, yaitu Nyi Nyi Aung (24), kepada kantor berita AFP.
Di dalam video itu, para interogator menarik rambut di bagian belakang kepala Nyi Nyi Aung dan memukul wajahnya. Kemudian, penjaga lainnya menendang kepala korban.
Kejahatan perang dan HAM
Perang saudara antara militer Myanmar dan pasukan Pemberontak Arakan (AA) terjadi di negara bagian yang terletak di sebelah barat laut wilayah negara itu. Pemberontak AA meminta otonomi yang lebih luas bagi warga etnis Rakhine di negara bagian itu. Konflik terbaru di antara keduanya terjadi sejak awal tahun 2019 yang mengakibatkan ribuan warga Rakhine tewas dan 150.000 orang meninggalkan rumah mereka.
Yanghee Lee, pelapor khusus HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa, akhir April lalu, mengatakan, militer Myanmar telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Negara Bagian Rakhine dan Chin, selama upaya memadamkan pemberontakan itu. Lee, di dalam laporannya menyebutkan, militer telah melakukan penghilangan paksa, menyiksa, dan membunuh puluhan orang yang diduga sebagai anggota pasukan pemberontak AA. Selain itu, militer juga memblokir bantuan kemanusiaan yang ditujukan bagi warga Rakhine serta menghentikan warga sipil yang terluka dan sedang dalam perjalanan menuju ke rumah sakit.
Myanmar membantah tuduhan itu dan sebaliknya menuding bahwa AA sebagai organisasi teroris. Menurut pemerintah dan militer Myanmar, siapa pun yang berhubungan dengan mereka, terutama untuk meminta komentar mereka terkait konflik ini, dapat dituntut berdasarkan UU Terorisme Myanmar.
Juru bicara pemerintah, Zaw Htay, menilai, laporan Lee itu bias dan tidak berdasar.
Wakil Direktur Human Rights Watch Asia Phil Robertson menyerukan ”impunitas” militer menjadi fokus diskusi Dewan Keamanan PBB tentang Myanmar minggu ini.
Myanmar menghadapi tuduhan genosida di Pengadilan Tinggi PBB setelah sekitar 740.000 warga Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh dalam sebuah penyerbuan militer berdarah di Rakhine, tahun 2017.
Pemerintah Myanmar membantah tudingan tersebut. (AFP/Reuters)