Dunia saat ini adalah tarikan antara memerangi Covid-19 dan menggerakkan kembali roda ekonomi serta mengembalikan kehidupan sosial warga. Kewaspadaan dan disiplin menjadi kunci agar tidak ada gelombang penularan baru.
Oleh
B Josie Susilo Hardianto
·2 menit baca
Total kasus positif Covid-19 di seluruh dunia mulai mendekati angka 4 juta kasus dengan lebih dari 270.000 kasus di antaranya merupakan kasus kematian. Meskipun di sejumlah negara angka kasus mengalami penurunan signifikan, dunia sejatinya belum benar-benar mampu mengendalikan pandemi yang dipicu virus korona tipe baru itu.
Di sisi lain, pembatasan mobilitas, bahkan penutupan wilayah, yang menjadi salah satu cara menahan laju penyebaran Covid-19, berdampak serius pada kinerja ekonomi. Banyak pabrik tutup, tingkat hunian hotel anjlok, dan puluhan juta pekerja kehilangan pekerjaan.
Di negara sekuat Amerika Serikat, tingkat pengangguran pada April melonjak hingga 14,7 persen. Angka itu melebihi tingkat pengangguran terburuk pasca-Perang Dunia II, yaitu 10,8 persen pada November 1982. Bahkan, dalam laporan Kompas.id berjudul ”Tekanan Ekonomi dan Serangan Korona di Gedung Putih”, Sabtu (9/5/2020), penasihat ekonomi Gedung Putih, Kevin Hassett, mengatakan, tingkat pengangguran pada bulan Mei kemungkinan akan naik menjadi sekitar 20 persen.
Washington pun menyerah. Presiden Donald Trump memberi kewenangan diskresi bagi para gubernur untuk mengambil langkah pelonggaran, tetapi tetap dengan memperhatikan protokol yang ketat.
Sejumlah negara di Timur Tengah, seperti Jordania, Lebanon, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan Mesir, mulai mengendurkan kebijakan penutupan. Bahkan, Jordania sejak Rabu pekan lalu telah membuka akses ekonomi dan perdagangan secara penuh mulai pukul 08.00 hingga pukul 18.00. Langkah itu diambil karena kebijakan untuk menahan Covid-19 turut memberi tekanan cukup berat pada kinerja ekonomi.
Komite Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Asia Barat memperkirakan, dunia Arab akan kehilangan 1,7 juta lapangan pekerjaan dan mengalami penurunan pendapatan nasional hingga 42 miliar dollar AS pada tahun 2020 (Kompas, Minggu, 10/5/2020).
Akan tetapi, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa pelonggaran ”membuka pintu” bagi hadirnya gelombang kedua penularan virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Hal itu terjadi di Korea Selatan dan memicu otoritas Seoul memerintahkan semua klub dan bar di kota itu tutup, setidaknya hingga dua minggu ke depan.
Dari fakta di atas, di tengah deraan pandemi Covid-19 saat ini, dunia ada dalam tarikan kuat—setidaknya—antara upaya untuk menahan laju penyebaran Covid-19 dan menyelamatkan ekonomi, yang apabila tidak diperhatikan bisa saja berujung pada krisis sosial.
Sebagai pemimpin salah satu negara yang paling terpukul oleh Covid-19, Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez, Sabtu, mengingatkan, pandemi Covid-19 tetap menjadi ancaman serius. Otoritas setempat sungguh berhati-hati membuka kembali pembatasan mobilitas warga. Bahkan, sampai ada ketentuan, pada tahap awal, anak-anak boleh keluar hanya dalam radius 1 kilometer dari rumah dan harus didampingi oleh orangtuanya.
Sanchez menegaskan agar warga tetap waspada dan berhati-hati. Spanyol tidak ingin pelonggaran justru akan memicu kebangkitan kasus baru.
Penegasan serupa juga dikatakan oleh Perdana Menteri Australia Scott Morrison. Saat ini, Australia tengah menyiapkan peta jalan dengan penahapan yang ketat—termasuk membatasi jumlah orang dalam satu pertemuan—untuk melonggarkan kebijakan pembatasan.
Sikap pemerintah negara-negara itu jelas, yaitu tetap waspada dan cermat sebelum kembali menggerakkan roda ekonomi dan mengembalikan kehidupan sosial warga. Langkah-langkah medis, seperti pelacakan dan tes masif, tetap penting untuk mengetahui dengan lebih ”pasti” tingkat penurunan dan mencegah infeksi baru muncul. Di sejumlah negara, dua hal itu menjadi salah satu syarat utama tahap-tahap pelonggaran dapat dilakukan.