Dunia yang Melambat
Dunia tak akan sama lagi setelah pandemi. Mobilitas penduduk lintas negara akan melambat. Hingga obat atau vaksin Covid-19 ditemukan, penduduk dunia harus hidup berdamai dengan krisis yang menjadi kenormalan baru.

Penumpang menggunakan pakaian pelindung diri saat tiba di Bandar Udara Tianhe di Kota Wuhan, China, yang sudah dibuka kembali, 8 April 2020.
Sejak pandemi Covid-19 melanda, banyak kebiasaan hidup—terutama saat bepergian—berubah total. Dari awalnya orang melakukannya terpaksa, kini perubahan kebiasaan hidup itu menjadi bagian keseharian. Salah satu contohnya, pengecekan suhu tubuh di mana-mana, pemakaian masker ke mana-mana, cuci tangan memakai sabun sering-sering hingga menjaga jarak fisik dengan siapa pun, kapan pun, dan di mana pun.
Meski banyak negara, terutama di Eropa, sudah mulai melonggarkan karantina, kebiasaan baru ini akan tetap dipertahankan. Ketentuan menjaga jarak fisik dengan orang lain itu ikut mengubah keputusan warga untuk bepergian atau sekadar keluar sejenak.
Sopir taksi di kota Wenzhou, China, misalnya, memasang plastik bening pemisah antara sopir dan penumpang. Setiap tamu di hotel-hotel di China harus diperiksa suhu tubuhya dengan ”temperatur tembak” oleh petugas hotel. ”Pernah demam? Tidak enak badan? Atau bepergian ke Hubei?” tanya petugas hotel di Wenzhou.
Wartawan kantor berita AFP menceritakan pengalamannya di Wenzhou. Ketika berkeliling kota, ia diperiksa suhu tubuhnya belasan kali oleh sopir taksi, karyawan restoran, petugas satpam hotel, dan anggota staf minimarket.

Seorang karyawan pabrik diperiksa suhu tubuhnya dan disemprot disinfektan oleh petugas keamanan di pintu masuk Azure Eyeglasses Company di Wenzhou, China, 28 Februari 2020.
Situs MIT Technology Review, 17 Maret 2020, menyebutkan kebijakan menjaga jarak fisik kemungkinan akan dipertahankan lama atau setidaknya sampai betul-betul tidak ada kasus positif Covid-19. Selama masih ada satu saja orang di dunia ini yang tertular virus itu, aturan tersebut akan tetap berlalu.
Yang pasti, dunia tak akan sama lagi setelah pandemi. Mobilitas penduduk lintas negara di dunia yang serba terhubung ini akan melambat. Hingga obat atau vaksin untuk mengendalikan Covid-19 ditemukan, penduduk dunia harus hidup berdamai dengan situasi krisis yang menjadi kenormalan baru.
Hingga obat atau vaksin untuk mengendalikan Covid-19 ditemukan, penduduk dunia harus hidup berdamai dengan situasi krisis yang menjadi kenormalan baru.
Sebelum pandemi, dunia kian terhubung melalui penerbangan. Dalam 24 jam seseorang bisa melintasi dua hingga tiga benua. Namun, di sisi lain konektivitas dunia juga bisa menjadi salah satu faktor yang mempercepat penyebaran suatu penyakit dari negara tertentu ke berbagai negara lain.
Itulah sebabnya ketika Covid-19 merebak, salah satu opsi yang diambil adalah menutup pintu masuk negara dari negara terjangkit, sekalipun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak merekomendasikan hal itu.

Dari ruang tunggu Bandar Udara Gardamoen, Oslo, Norwegia, terlihat beberapa pesawat maskapai penerbangan Scandinavian Airlines\' SAS dalam foto bertanggal 16 April 2019.
Hampir lima bulan sudah pandemi Covid-19 melanda dunia. Hingga Minggu (10/5/2020), wabah itu telah menginfeksi empat juta lebih penduduk dan menewaskan sekitar 280.000 orang di antaranya. Laju infeksi penyakit ini bergerak dalam hitungan eksponensial yang tak sebanding dengan kapasitas negara-negara di dunia untuk meresponsnya.
90 persen terkunci
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, hampir 90 persen populasi dunia kini tinggal di negara yang menerapkan pembatasan perjalanan atau penutupan wilayah.
Baca juga: WHO: Tak Satu pun Negara Bebas dari Ancaman Wabah Covid-19
Pew Research Center, yang berbasis di Washington, Amerika Serikat, melaporkan bahwa China, misalnya, mulai 28 Maret lalu menutup perbatasannya dari warga asing, kecuali mereka dengan visa diplomatik. India juga menutup mayoritas pintu masuknya dengan menunda penerbitan visa dan mengharuskan karantina dua minggu bagi semua warga asing yang masuk.
AS pun menutup pintu masuknya dari penerbangan asal China, negara Eropa (termasuk Inggris dan Irlandia), dan juga Iran. Korea Selatan—yang semula memberlakukan prosedur masuk khusus terhadap penumpang dalam penerbangan dari China, Jepang, Iran, Eropa—memberlakukan kebijakan itu pada semua penumpang.

Dua pramugari memotret sebuah pesawat yang tengah mendarat di Bandar Udara Nasional Reagan di tengah krisis virus korona di Washington, AS, 29 April 2020.
Negara-negara di Asia Tenggara pun menerapkan pembatasan penerbangan. Asosiasi Transportasi Udara internasional (IATA) pada 10 Mei 2020 merilis berbagai bentuk kebijakan pembatasan penerbangan di dunia.
Baca juga: Negara-negara Kian Agresif Melawan Wabah Covid-19
Negara tetangga Malaysia, contohnya, pada akhir April 2020 mengeluarkan kebijakan menutup pintunya dari warga negara asing (WNA) dengan pengecualian untuk sejumlah kriteria, seperti pemegang paspor diplomatik. Pelancong yang diizinkan masuk harus menjalani karantina 14 hari di lokasi tertentu. Pemerintah Malaysia hanya menanggung biaya karantina bagi warga Malaysia sebesar 150 ringgit Malaysia.
Adapun Singapura memberlakukan larangan masuk bagi pelancong yang akan melakukan kunjungan jangka pendek atau hanya untuk sekadar transit. Pelancong yang diizinkan masuk untuk kunjungan singkat harus mendapat izin dari otoritas Singapura. Mereka yang diizinkan masuk pun harus menjalani isolasi mandiri selama 14 hari.
Bukan itu saja, setiap orang yang masuk Singapura harus memberikan keterangan tentang kondisi kesehatannya. Ketentuan lebih rinci diberlakukan bagi para kru pesawat terbang warga asing.
Pada akhir Maret 2020, Thailand menghentikan penerbangan yang masuk ke Thailand, kecuali penerbangan militer, pendaratan darurat, bantuan kemanusiaan, distribusi alat-alat medis, atau repatriasi. Karantina selama 14 hari juga diberlakukan bagi mereka yang memasuki Thailand.

Petugas bandara memeriksa suhu tubuh calon penumpang di Bandar Udara Unternasional Don Muang, Bangkok, Thailand, 22 Maret 2020.
Protokol baru
Ketika pembatasan dan penutupan wilayah mulai dilonggarkan, warga dunia akan kembali melakukan perjalanan, tetapi pasti situasinya tak lagi sama. Protokol kesehatan harus benar-benar diterapkan dengan disiplin oleh pihak maskapai dan bandar udara untuk menjamin keamanan dan keselamatan penerbangan.
Baca juga: Korona Memantik Kesadaran akan Kesehatan di Angkutan Umum
Seperti halnya peristiwa serangan teroris 9/11 terhadap AS yang telah mengubah wajah protokol keaman di bandara, pandemi Covid-19 pun akan merevolusi perlindungan kesehatan dan prosedur kebersihan di bandara juga pesawat terbang.
”Bagaimana penumpang akan duduk di pesawat akan berbeda. Proses check-in hingga naik pesawat juga akan berbeda. Tetapi, konsensus akan protokol kesehatan masih memerlukan penelitian yang sekarang masih berjalan,” ujar John Gradek, mantan pejabat di Air Canada yang kini mengajar manajemen maskapai di McGill University, kepada CTVNews.ca.
Direktur Jenderal Dewan Bandar Udara Internasional (ACI World) Angle Gittens menyampaikan, penapisan kesehatan sepertinya ”akan menjadi hal normal baru” bersama dengan ”solusi yang sepenuhnya otomatis dan proses mandiri nirtangan penumpang (hands-free passenger self-processing) selama perjalanan.”

Menurut pakar transportasi udara dari University of British Columbia, Tae Hoon Oum, penapisan bagi penumpang yang sakit juga akan termasuk pengukuran suhu tubuh dengan pendeteksi inframerah, seperti lazim ditemui di bandara-bandara di Eropa dan Asia.
Akan tetapi, dengan protokol pembersihan yang ketat pun, pertukaran dokumen perjalanan dan menyentuh permukaan benda saat check-in, melewati pemeriksaan keamanan, melalui pemeriksaan imigrasi, termasuk saat menunggu naik ke pesawat tetap memiliki risiko penularan Covid-19.
Itu sebabnya World Economic Forum (WEF) menyebut bahwa otomatisasi di semua tahapan perjalanan lintas negara bisa jadi menjadi kenormalan yang baru. Data biometrik penduduk yang sudah dipakai secara luas berpotensi dikembangkan sebagai solusi dalam verifikasi identitas penumpang yang selama ini menggunakan sidik jari atau pengenalan wajah. Selain itu, teknologi nirsentuh pada pengendali gerakan, pemindai dokumen, dan perintah suara juga dapat lebih dikembangkan.
Sementara upaya mengembangkan protokol dan standar kesehatan untuk industri perjalanan dan pariwisata menggunakan teknologi digital masih dalam tahap awal, maskapai penerbangan sudah menerapkan protokol pencegahan Covid-19 di luar penggunaan pemindai suhu tubuh. Salah satunya adalah Emirates, maskapai penerbangan asal Dubai, Uni Emirat Arab.

Dalam foto bertanggal 27 April 2020 ini, wartawan kantor berita Associated Press menjajal sistem pintu yang dibuat Guard ME untuk memeriksa suhu tubuh dan menyemprotkan disinfektan ke tubuh warga di Dubai, Uni Emirat Arab.
Maskapai Emirates melakukan tes cepat terhadap calon penumpang yang akan terbang. Bandar udara-bandar udara di Eropa pun mulai menetapkan panduan penapisan kesehatan calon penumpang.
Ke depan, penggunaan aplikasi pelacak kontak dan pengenal gejala Covid-19 pun bisa menjadi bagian dari protokol yang harus dijalani penumpang yang memasuki negara tertentu. Hingga vaksin atau obat untuk Covid-19 ditemukan, perkembangan laju infeksi di suatu negara akan menentukan kebijakan apa yang akan diambil terkait pelancong dan penerbangan internasional.
Kita harus beradaptasi dengan segala perubahan yang masih mungkin terjadi.(REUTERS)