Belajar dari Pengalaman PD II untuk Melawan Pandemi Covid-19
Perang Dunia II memberi banyak pelajaran, salah satunya konflik memicu kehancuran. Belajar dari pengalaman itu, di tengah deraan pandemi Covid-19, dunia diajak bersatu untuk menanggulanginya.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
AP PHOTO/BEBETO MATTHEWS
Negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB mengadakan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas untuk membicarakan kesepakatan non proliferasi nuklir, Rabu (26/2/2020), di markas besar PBB, New York, Amerika Serikat.
New York, Jumat Di tengah-tengah pandemi Covid-19 yang melanda berbagai negara, Dewan Keamanan PBB mengingatkan pentingnya mengambil pelajaran berharga dari Perang Dunia II. Dunia perlu bersatu, mencegah dan menghentikan segala konflik, serta mengambil langkah bersama untuk menghadapi pandemi.
Dewan Keamanan PBB mengadakan tele konferensi peringatan 75 tahun berakhirnya Perang Dunia II di Eropa, Jumat (8/5/2020). Pertemuan itu yang diikuti 70 pembicara, termasuk 45 menteri luar negeri dan diplomat Uni Eropa itu dipimpin Estonia. Bulan ini, Estonia menjadi presiden DK PBB.
Ketua Kebijakan Luar Negeri UE, Josep Borrell, mengatakan pandemi Covid-19 telah menyebabkan dunia menghadapi krisis terparah pasca PD II. Pandemi Covid-19 ini mengguncang kehidupan masyarakat dan menunjukkan kelemahan negara-negara yang paling rentan. “Krisis ini berpotensi memperparah konflik dan menimbulkan ketegangan geopolitik baru,” ujarnya.
AFP/SYRIAN CIVIL DEFENCE/WHITE HELMETS
Suasana lokasi serangan bom truk pengangkut bahan bakar di kota Afrin, Suriah utara, yang menewaskan sedikitnya 40 orang, Selasa (28/4/2020). Dewan Keamanan PBB menyiapkan resolusi penghentian konflik bersenjata selama 90 hari di sejumlah negara guna memperlancar akses bantuan kemanusiaan bagi warga yang semakin menderita di tengah pandemi Covid-19.
Krisis itu memperparah nasib jutaan warga dunia yang terlantar karena penganiayaan, konflik, dan kejahatan. Untuk itu, ia mendesak komunitas internasional menangani ketidakadilan dan menjunjung tinggi persamaan hak asasi manusia dimanapun. “Kita harus melawan kebangkitan anti-Semitisme, rasisme, xenophobia, dan politik otoriter,” kata Borrell.
Multilateralisme
Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas mengingatkan, PBB dan UE lahir setelah PD II yang menewaskan 60 juta orang itu. Jerman sampai hari ini dengan rendah hati berterimakasih atas pengampunan yang diberikan bekas-bekas musuhnya pada masa PD II.
Maas menegaskan komitmen Jerman pada multilateralisme dan penyelesaian masalah bersama itu, berdasarkan pengalaman pahit nasionalisme yang malah berujung kehancuran.
Maas juga mengingatkan akhir-akhir ini dukungan politik untuk lembaga-lembaga internasional sering tidak ada terutama dari DK PBB yang memiliki mandat menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Ini terbukti dari kegagalan mengakhiri perang Suriah, Libya, Timur Tengah, dan Ukraina.
AFP PHOTO/UN/ MARK GARTEN
Dalam gambar selebaran yang dirilis oleh PBB ini, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengadakan konferensi pers virtual pada 3 April 2020, di markas PBB di New York. Guterres mendesak semua pihak yang terlibat konflik untuk meletakkan senjata dan mendukung negara-negara yang dilanda perang untuk memerangi pandemi.
Menlu Perancis Jean-Yves Le Drian juga mengatakan dunia saat ini tengah didera berbagai konflik dan pertikaian rumit mulai dari isu Laut China Selatan sampai Eropa Timur, penggunaan senjata kimia di Suriah, Malaysia, dan Eropa, terorisme, ancaman baru dari dunia maya, dan kompetisi internasional yang makin sengit.
Beberapa waktu lalu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendorong gencatan senjata global selama lebih dari sebulan. Ia mendesak semua pihak dalam konflik untuk meletakkan senjata, dan memungkinkan negara-negara yang dilanda perang untuk memerangi pandemi yang dipicu virus korona baru.
Ditolak
Namun sayang, upaya itu tidak mudah. Amerika Serikat, Jumat, menolak pemungutan suara di DK PBB terkait resolusi tentang jeda kemanusiaan selama 90 hari yang dibutuhkan untuk melawan pandemi Covid-19. Teks resolusi itu ditulis oleh Perancis dan Tunisia.
Sejumlah diplomat mengatakan, penolakan itu disebabkan, teks resolusi secara eksplisit merujuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Presiden Donald Trump sangat kritis terhadap WHO atas apa yang ia sebut kesalahan penanganan krisis kesehatan global. Menurutnya, WHO terlambat bertindak, dan terlalu condong ke China.
