Ribuan Awak Kapal ”Terkunci” di Laut karena Korona
Pandemi Covid-19 menyisakan ketidakjelasan nasib para awak kapal pesiar. Alih-alih diam dan berkumpul dengan sanak saudara di rumah, ribuan dari mereka masih terkatung-katung di lautan.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
NEW YORK, KAMIS — Industri pelayaran terhuyung-huyung hampir ambruk terhantam pandemi Covid-19. Mulai wabah di dalam kapal, penolakan akses pelabuhan untuk sekadar bersandar, hingga ketidakjelasan kapan industri itu dapat berjalan dan pulih lagi. Semua rangkaian itu ternyata menyisakan satu hal pelik, para awak kapal yang tidak jelas nasibnya. Alih-alih diam dan berkumpul dengan sanak saudara di rumah, ribuan dari mereka masih terkatung-katung di lautan.
Lebih ironis lagi, nasib mereka diwarnai ketidakjelasan lain. Banyak yang tidak lagi dibayar karena kontrak mereka berakhir—meskipun saat ini mereka masih terombang-ambing di atas laut—hingga hidup tanpa akses komunikasi seperti internet dengan sanak saudara dan teman di daratan. Ketegangan melingkupi kehidupan para awak kapal, hingga beberapa dari mereka mengajukan gugatan atas petinggi-petinggi perusahaan yang mempekerjakan mereka.
”Kami adalah tahanan. Saya butuh bantuan. Kami butuh bantuan,” kata Caio Saldanha, seorang DJ Brasil yang bekerja di kapal pesiar Celebrity Infinity, yang kini berada di perairan antara Florida dan Bahama. ”Kita harus berjuang untuk pulang,” kata musisi berusia 31 tahun itu kepada AFP. Saldanha berbagi kabin dengan pacarnya yang berusia 29 tahun, Jessica Furlan, juga pekerja di kapal itu.
Pada 13 Maret lalu otoritas Amerika Serikat mengeluarkan perintah larangan berlayar ketika krisis Covid-19 meningkat pesat. Bersama para penumpang, ada awak-awak kapal yang ikut diturunkan. Namun, sebagian besar anggota kru diminta tetap berada di kapal. Sekarang mereka terjebak di sana. Ada lebih dari 100 kapal yang mengangkut lebih dari 70.000 awak di atau dekat perairan atau pelabuhan teritorial AS, kata Penjaga Pantai AS.
”Kami sangat ingin pulang,” kata Furlan. Ia dan rekannya telah tinggal di kabin mereka selama tiga minggu, dan sejak 24 April lalu mereka tidak lagi mendapat bayaran. Mereka yang menjaga kapal tetap beroperasi—pelaut, petugas pembersih dan koki, misalnya—masih dibayar. Namun, awak yang bertugas mengisi acara hiburan dan melayani penumpang tidak seberuntung mereka. Karyawan-karyawan yang telah menyelesaikan kontrak mereka pun tidak dibayar lagi.
”Kami sangat ingin pulang,” kata Furlan.
Pihak kapal menyediakan kamar dan makan, tetapi kru harus membayar untuk apa pun, bahkan untuk pasta gigi dan sabun. Beberapa dari mereka juga harus membayar untuk layanan Wi-Fi. ”Kami tidak memiliki internet gratis—dari satu sudut pandang, saya mengerti, tetapi dari sudut pandang manusia, sulit dipahami,” kata Verica Brcic yang mengelola spa di Maasdam, kapal pesiar yang dioperasikan grup perusahaan Carnival.
Brcic dipindahkan ke kapal Koningsdam pada 29 Maret lalu. Jasa kapal pesiar itu berlayar di sepanjang Pantai Barat AS dengan 1.100 personel dari delapan kapal yang berbeda. ”Manusia perlu tetap berhubungan dengan keluarga dan mendapat berita dari rumah,” kata pria 55 tahun asal Serbia itu. Brcic tidak tahu kapan dia bisa pulang. Dia belum berada di daratan sejak awal Maret lalu.
Sumber lain, seorang musisi berusia 52 tahun yang bekerja untuk Princess Cruises, mengatakan ia juga harus membayar untuk mendapatkan layanan Wi-Fi. Dia juga mengaku kelaparan di atas kapal saat-saat ini. ”Saya seperti berada dalam kurungan,” kata musisi yang meminta namanya tidak disebutkan dengan alasan keamanan.
Perusahaan pelayaran utama dituduh gagal melakukan hal yang semestinya yang dapat dilakukan untuk memulangkan pekerja-pekerja mereka. Ada pandangan bahwa perusahaan-perusahaan itu sengaja tidak memulangkan demi penghematan. Sebab, mereka dipastikan harus memulangkan para pekerja dengan penerbangan khusus.
Pandangan itu ditolak pihak perusahaan. Manajemen Royal Caribbean mengatakan masalah ini bermula dari perjanjian mereka dengan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC). Perjanjian itu mengatakan perusahaan pelayaran bertanggung jawab, baik di pengadilan pidana maupun perdata, jika kru gagal mengikuti aturan sesuai isi surat perjanjian itu. ”Kami senang melakukan semua hal yang mereka minta, tetapi hukuman pidana menghentikan langkah kami (dan pengacara kami),” kata CEO Royal Caribbean Michael Bayley dalam surat 3 Mei. Surat itu ditujukan kepada para awak kapal.
Bayley mengatakan, dari 25.000 awak dan kru di kapal-kapal pesiar yang dioperasikan Royal Caribbean, lebih dari 1.000 orang mengatakan mereka ingin tinggal. Rumit jalannya bagi mereka yang ingin pulang. ”Kru kami berasal dari lebih dari 60 negara. Setiap negara memiliki aturan dan peraturan untuk siapa yang dapat melakukan perjalanan pulang, dan bagaimana, dan kapan,” tulis Bayley dalam suratnya.
Namun, Lauren Carrick, seorang penari asal Inggris yang berbagi kabin dengan pacarnya di kapal Infinity, ingin tahu mengapa prosesnya begitu lama bagi perusahaan seperti Royal Caribbean. ”Hal-hal itu mengombang-ambingkan emosi semata,” kata Carrick yang berusia 29 tahun. ”Benar-benar melelahkan. Di malam hari, aku tidak bisa tidur. Pikiranku terus-menerus berujung pada pertanyaan, ’Kapan aku akan pulang?’”
Sebaliknya ada awak kapal yang lebih merasa aman di laut. Mereka tidak terburu-buru ingin pulang. Mereka khawatir dan bahkan takut bahwa semua publisitas akan merugikan perusahaan yang membayar upah mereka. ”Sangat kompleks dan sangat membuat frustrasi bagi kita yang mencintai pekerjaan kita,” kata seorang manajer makanan dan minuman asal Afrika Selatan. Dia bekerja untuk perusahaan pelayaran Carnival. (AFP)