Beijing Ingin Kelompok Prodemokrasi Hong Kong Disingkirkan
Tekanan baru dari Beijing ini muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran para aktivis prodemokrasi Hong Kong bahwa China memperketat cengkeramannya atas bekas koloni Inggris itu.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·5 menit baca
BEIJING, RABU — Pemerintah China, Rabu (6/5/2020), memperingatkan, wilayah administratif semi-otonom Hong Kong takkan bisa tenang, kecuali jika kelompok pengunjuk rasa garis keras berkostum hitam disingkirkan. Mereka dicap sebagai ”virus politik” yang memperjuangkan kemerdekaan Hong Kong.
Pernyataan paling keras tersebut dinyatakan oleh kantor perwakilan pemerintah pusat China di Hong Kong, Rabu ini. Tekanan baru ini muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran para aktivis prodemokrasi Hong Kong bahwa China memperketat cengkeramannya atas bekas jajahan Inggris itu.
Kalangan aktivis prodemokrasi Hong Kong belum berkomentar. Penguncian atau karantina untuk mencegah penyebaran infeksi virus korona baru penyebab Covid-19 di Hong Kong telah mencegah aksi mereka untuk turun ke jalan seperti yang dilakukan secara luas tahun lalu.
Kantor Urusan Hong Kong dan Makau memperingatkan, pemerintah pusat China di Beijing takkan berpangku tangan terhadap ”kehadiran gerombolan pengacau” di Hong Kong. Pemerintah pusat memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga ketertiban dan keamanan nasional China.
”Aksi bumi hangus dari para pengunjuk rasa black-clad adalah virus politik di dalam masyarakat Hong Kong dan musuh besar bagi ’satu sistem dua negara’,” kata kantor itu dalam sebuah pernyataan, Rabu ini. ”Selama para pengunjuk rasa tidak disingkirkan, Hong Kong takkan pernah tenang.”
Hong Kong, pusat keuangan Asia itu, diguncang aksi protes politik skala massal selama berbulan-bulan pada 2019. Beberapa kali aksi massa prodemokrasi diwarnai bentrokan dengan polisi setempat.
Aksi protes dari kelompok prodemokrasi itu untuk menentang undang-undang ekstradisi yang memungkinkan warga Hong Kong terduga pelaku tindak kejahatan dapat diproses hukum dan diadili di China daratan. Oleh mereka, perundang-undangan ini sebagai bentuk pengekangan kebebasan di Hong Kong.
Banyak peserta aksi protes prodemokrasi itu adalah anak muda. Dalam setiap aksinya, mereka selalu memakai baju hitam, simbol matinya demokrasi. Tidak jarang mereka terlibat dalam bentrok fisik dengan polisi Hong Kong yang berusaha menghalangi aksi mereka ketika aksi semakin luas, dengan seruan kebebasan yang lebih besar bagi warga Hong Kong.
Para pengunjuk rasa sering mengatakan bahwa Beijing sedang berusaha untuk menerapkan gaya pemerintahan ”satu negara, dua sistem”. Namun, langkah itu tampaknya takkan menjamin kebebasan yang luas bagi Hong Kong sejak kembalinya wilayah itu ke Pemerintah China pada 1997.
Dengan diserahkan kembali ke China pada 1997, Hong Kong memiliki Basic Law yang menjamin kebebasan dan kekhasan sistem hukumnya dari China selama 50 tahun. Tudingan bahwa Beijing berupaya mengintervensi Hong Kong menguat selama demonstrasi terjadi tahun lalu.
Namun, Beijing tetap menegaskan bahwa mereka tetap percaya pemerintah lokal dapat mengatasi situasi di Hong Kong. Prinsip satu negara dua sistem juga disebut masih merupakan pegangan bagi Beijing.
Beijing menolak kritik bahwa mereka berusaha melanggar kebebasan warga Hong Kong karena sejak lama sudah sangat dihargai. Setelah situasi tenang pasca-aksi protes berbulan-bulan tahun lalu, pada April lalu meletus lagi aksi protes prodemokrasi di Hong Kong.
Polisi antihuru-hara membubarkan kerumunan sekitar 300 aktivis prodemokrasi, yang beberapa di antaranya mengenakan pakaian hitam, akhir April. Aksi itu merupakan aksi protes pertama yang cukup besar sejak pemerintah memberlakukan larangan pertemuan publik pada akhir Maret 2020 dalam rangka untuk memutus rantai penyebaran virus Covid-19.
Setidaknya 14 aktivis prodemokrasi ditangkap saat itu, termasuk seorang politisi senior, seorang pengusaha penerbitan, dan pengacara senior. Penangkapan itu mendorong gerakan prodemokrasi kembali menjadi sorotan.
Mereka yang ditangkap akan dihadirkan di pengadilan pada 18 Mei mendatang. Polisi Hong Kong kemungkinan menangkap lebih banyak aktivis. Beberapa dari mereka yang ditangkap dibebaskan dengan jaminan.
Pemerintah sejumlah negara dan juga lembaga-lembaga swadaya masyarakat mengkritik otoritas Hong Kong atas penangkapan belasan aktivis demokrasi tersebut, yang dituduh mengorganisasi dan berpartisipasi dalam protes antipemerintah tahun lalu.
Penangkapan terjadi tiga hari setelah Beijing, melalui pejabat paling senior pada perwakilannya di Hong Kong, menekan agar otoritas Hong Kong segera menerapkan UU ekstradisi. Padahal, rencana pemberlakuan undang-undang inilah yang memicu aksi protes selama berbulan-bulan pada tahun lalu, yang terkadang diwarnai kekerasan.
Sabtu akhir pekan lalu, kantor perwakilan utama Beijing di Hong Kong pun mengecam aksi protes yang digelar pada 15 April tersebut. Ia mencapnya sebagai aksi radikal ekstrem karena mereka mengadakan pertemuan ilegal selama liburan Hari Buruh dan aksi itu merusak aturan hukum.
Perang kata-kata telah meningkat dalam beberapa minggu terakhir.
Perang kata-kata telah meningkat dalam beberapa minggu terakhir. Pejabat tinggi Beijing di Hong Kong pun mendesak pemerintah daerah untuk memberlakukan undang-undang keamanan nasional ”sesegera mungkin”. Desakan itu memicu kekhawatiran atas apa yang dilihat banyak orang sebagai perambahan kebebasan wilayah tersebut.
Ketakutan bahwa Beijing melenturkan ototnya ke Hong Kong berisiko membangkitkan protes antipemerintah setelah berbulan-bulan relatif tenang di tengah aturan sosial untuk mengekang penyebaran virus korona.
Ekonomi Hong Kong pada kuartal kuartal pertama 2020 ini mengalami kontraksi terdalamnya setidaknya sejak 1974. Itu merupakan dampak dari pandemi virus korona baru yang menghentikan semua aktivitas bisnis, yang memang sudah menurun sejak protes antipemerintah tahun lalu.
Kantor Urusan Hong Kong dan Makau mengatakan, ada banyak faktor yang berkontribusi terhadap krisis ekonomi Hong Kong. Salah satu masalah utamanya adalah protes antipemerintah.
”Masalah terbesar Hong Kong datang dari dalam, yaitu pasukan kekerasan secara terbuka menyerukan dan terlibat dalam ’lanchao’,” kata kantor itu, merujuk pada taktik bumi hangus. (REUTERS/AFP)