Pengalaman Pahit akibat Perang Jadi Kekuatan Hadapi Covid-19
Pengalaman pahit dan kelam di pengungsian akibat perang Suriah membuat mereka lebih siap menghadapi karantina. Kunci keberhasilan mengatasi kondisi terburuk adalah tetap optimistis dan kuat menghadapi tantangan.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Bagi warga Suriah yang pernah hidup di tengah konflik bersenjata dan kini menjadi pengungsi, aturan karantina dan pembatasan sosial karena penyakit Covid-19 bukan perkara sulit. Mereka pernah menjalani kehidupan yang lebih parah.
Hal itu seperti yang dialami Mohammad Hijazi (31), sutradara film asal Damaskus, Suriah. Begitu Pemerintah Perancis meminta warga tinggal di rumah saja, ingatan Hijazi yang kini tinggal di Perancis langsung tertuju ke masa-masa kelam hidup di masa perang dan dipenjara selama tiga tahun oleh rezim Suriah.
Hijazi ditahan pada 2012-2013 karena pandangan politiknya yang dianggap melawan rezim. Hijazi dan beberapa warga Suriah yang kini sudah tinggal di negara lain menceritakan pengalamannya, Minggu (3/5/2020).
Pengalaman pahit dan kelam selama ini membuat mereka lebih siap menghadapi karantina. Kunci keberhasilan mereka mengatasi kondisi terburuk adalah tetap optimistis dan kuat menghadapi tantangan.
Pengalaman itu pula yang sedikit banyak membantu mengatasi kecemasan akibat wabah korona. Hijazi menceritakan, dulu ia berhasil bertahan karena menjaga rutinitas, tetap selalu ingat pentingnya masyarakat, tetap makan sehat, dan sebisa mungkin mengekspresikan diri dengan cara menyanyi, melukis, dan berdoa.
”Setiap orang punya caranya sendiri dan itu sah-sah saja,” ujarnya.
Hijazi yang sudah tinggal di Perancis sejak 2017 itu mengatakan, orang yang sudah pernah menjalani hidup dengan berbagai pengalaman pahit seperti itu sudah terlatih untuk cepat menyesuaikan diri.
”Kita langsung bisa kembali ke mekanisme yang biasa kita lakukan dulu untuk bertahan hidup saat krisis. Kita juga tahu harus menyimpan barang kebutuhan apa saja,” ujarnya.
Kebijakan karantina juga membangkitkan kenangan perasaan sendiri yang dia rasakan pada awal-awal tinggal di Perancis. Kini, ia membuat siaran radio daring dengan nama Maazoul atau terisolasi. Hal itu membantunya tetap merasa menjadi bagian dari masyarakat dan tetap positif serta optimistia.
Namun, menurut Yazan al-Homsy (34), meski terbiasa hidup di tengah krisis, bahkan konflik bersenjata setiap hari, tetap saja tidak mudah menjalani hidup saat pandemi. Ia berhasil menjalani satu tahun hidup di tengah kota Homs, Suriah, yang hampir setiap hari dihujani bom dan serangan. Ia tetap saja dilanda rasa cemas dan takut pada awal-awal karantina korona karena ia seperti kembali di masa-masa perang Suriah yang menakutkan.
”Saya sering bangun tidur bingung saya sedang di mana. Hilang orientasi dan saya tidak keluar rumah selama seminggu,” kata Homsy yang kini bekerja sebagai web developer dan analis data itu.
Hak sehat
Berbekal pengalamannya, Homsy sering menyarankan kepada teman-temannya di Perancis untuk tetap percaya bahwa pemerintah sedang bekerja keras untuk memastikan semua warganya selamat. Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa setiap warga memiliki hak, seperti hak untuk sehat, mendapatkan layanan kesehatan, dan perlindungan.
Bagi Dunia Al Dahlan (40), tinggal di negara yang demokratis pada saat-saat sulit begini jauh lebih baik. ”Di negara demokratis, semua jelas. Ada sistem, ada negara, dan ada warga yang punya kebebasan mengungkapkan pendapat,” kata ibu dua anak yang tinggal di Paris sejak 2014 itu.
Dahlan menghargai kebebasan berbicara dan berpendapat di Perancis seperti yang belakangan terlihat di acara-acara televisi, seperti seorang dokter yang memprotes keras pemerintah yang dituding tidak siap menghadapi pandemi. Meski demikian, ia tetap ketakutan setiap kali kasus korona bertambah.
”Saya paling takut kalau lihat atau baca berita jumlah orang yang tewas karena korona. Sama seperti di Suriah dulu,” kata Dahlan yang ikut mendirikan asosiasi seniman yang hidup di pengasingan, Portes Ouvertes Sur L’Art (Open Doors to Art).
Lebih dari 380.000 orang tewas sejak perang Suriah dimulai sembilan tahun lalu. Kenangan buruk tinggal di Suriah dilakukan bertahun-tahun oleh Emad Shoshara (36), seorang koki, yang harus menata ulang bisnisnya dari nol setelah keluar dari Suriah.
Pada saat masih tinggal di Suriah, ia membangun perusahaan transportasi. Namun, setelah melarikan diri dari Suriah dan berhasil menata hidup baru di Paris pada 2015, ia membuka restoran Suriah yang tak pernah sepi pesanan katering.
Namun, gara-gara wabah korona, usahanya terpaksa mandek. Kini, Shoshara mencoba memanfaatkan waktunya dengan membuat video-video memasak masakan khas Suriah yang dibagikannya melalui media sosial Instagram.
”Ada pepatah yang selalu saya ingat, setiap kali kita jatuh, kita harus bisa bangun bangkit lagi,” ucapnya.
Ia hanya berharap video-video memasaknya itu akan bisa membangkitkan semangat siapa pun yang menonton. Apa pun dan seberat apa pun masalah yang dihadapi, kata Shoshara, jangan menjadi alasan untuk menyerah.
”Dalam hidup pasti ada rintangan dan tantangan. Mungkin kita bisa selamat dari satu masalah, tetapi mungkin nanti bisa jatuh lagi. Apa pun itu, jalan terus saja. Just keep going,” katanya. (AFP)