Laboratorium Wuhan dan Cerita Sejarah Warga China Mengonsumsi Hewan Liar
Ada kebutuhan mendesak bagi Pemerintah China untuk mendirikan laboratorium yang melakukan berbagai riset terkait ancaman kemunculan penyakit-penyakit menular akibat perdagangan dan konsumsi hewan liar di negara tersebut.
Semua mata kini kembali tertuju pada sebuah laboratorium yang dikelola oleh Institut Virologi Wuhan (WIV). Laboratorium ini sekarang dituding oleh beberapa negara sebagai penyebab utama dan penyebab pertama terjadinya pandemi global Covid-19. Banyak yang menuding bahwa virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 saat ini sengaja dilepaskan dari lab dengan tingkat keamanan tertinggi itu.
Mungkinkah demi memantik keuntungan ekonomi? Jawabannya masih belum jelas. Belum pasti. Dan, Pemerintah China menyangkal berbagai tudingan tersebut.
Melihat ke belakang dan sejarahnya, pengembangan laboratorium yang diklaim memiliki tingkat keamanan terbaik di dunia itu dilakukan tidak lama setelah merebaknya penyakit sindrom pernapasan akut parah (severe acute respiratory syndrome) atau yang dikenal dengan SARS pada tahun 2002. Pengembangan dan pembangunan laboratorium ini tidak terlepas dari upaya China untuk terus mempelajari perkembangan virus terbaru, turunan dari virus SARS yang menjadi wabah di negeri tersebut.
Baca juga : Laboratorium Wuhan di Tengah Pusaran Kontroversi Asal Virus Korona
Dr Han Xia, associate professor pada WIV, dalam sebuah jurnal yang diterbitkan pada laman Pusat Pencegahan dan Pengawasan Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention) yang terbit pada Mei 2019, mengakui bahwa pengembangan dan pembangunan laboratorium itu tidak terlepas dari berkembangnya SARS di negara itu pada tahun 2002.
Dia menulis dalam jurnal tersebut bahwa Pemerintah China merencanakan pembangunan sebuah laboratorium dengan tingkat keamanan tertinggi untuk mempersiapkan dan mencegah penyebaran penyakit menular di masa depan. Laboratorium ini juga diharapkan bisa mengembangkan obat dan vaksin untuk berbagai penyakit menular yang mungkin berkembang di masa depan.
Laboratorium WIV menjadi tulang punggung China untuk menangani potensi penyebaran penyakit menular di masa depan, khususnya dalam pencarian antivirus atau obat-obatan.
Posisi WIV dalam penanganan penyakit menular menjadi penting, menurut Han Xia, karena dalam konsep One Belt, One Road Initiative, Pemerintah China memasukkan kemungkinan banyaknya exotic pathogens dalam bentuk virus, bakteri, atau organisme mikro lainnya, yang berimigrasi ke wilayah mereka melalui perdagangan, pengembangbiakan (peternakan), atau dari alam. Laboratorium WIV itu menjadi tulang punggung China untuk menanganinya, khususnya dalam pencarian antivirus atau obat-obatan.
Baca juga : Lagi, AS Klaim Virus Korona Baru Berasal dari Laboratorium China
William B Karesh, Presiden Organisasi Kesehatan Hewan Dunia, dalam jurnal Emerging Infectious Disease yang terbit pada Juli 2005 menyebutkan bahwa puluhan penyakit menular yang terkait dengan hewan liar—sebagai peliharaan atau bahkan untuk dikonsumsi—bermunculan seiring meningkatnya perdagangan hewan antarnegara. Termasuk virus SARS yang muncul pertama kali di Guangdong, China.
Dalam penelitian lebih detail yang dilakukan oleh Profesor Guan Yi dan kawan-kawan pada tahun 2003, yang hasilnya dimuat dalam Sciencemag Vol 302 tahun 2003, disebutkan bahwa pasar hewan yang menjual hewan ternak dan hewan liar untuk dipelihara atau untuk dikonsumsi menjadi tuan rumah perantara virus sebelum pindah ke tubuh manusia yang mengonsumsinya. Praktik kuliner di wilayah Cina selatan membuat hewan yang diperdagangkan di pasar memiliki kemungkinan menjadi inang perantara yang meningkatkan peluang untuk penularan infeksi ke manusia.
Dihadapkan pada kondisi dan persoalan tersebut, ada kebutuhan mendesak bagi Pemerintah China untuk mendirikan sebuah laboratorium yang melakukan berbagai riset terkait ancaman kemunculan penyakit-penyakit menular akibat perdagangan dan konsumsi hewan liar di negara tersebut.
Konsumsi hewan liar
Pada Januari 2020, setelah merebaknya kasus warga yang positif terpapar Covid-19, Pemerintah Kota Wuhan menutup pasar basah di kota tersebut karena diduga banyak warga di kota itu beraktivitas di lokasi tersebut. Pasar itu diduga menjadi sumber dan tempat asal virus korona baru yang kini menjadi pandemi global dengan menginfeksi hampir 3 juta orang di seluruh dan menyebabkan lebih dari 200.000 orang di antaranya meninggal. Lokasi tersebut dikenal sebagai lokasi perdagangan dan pemotongan hewan liar.
Baca juga : Cerita Kelelawar dan Virus Korona
Profesor Peter Li, pengamat kebijakan publik China di Universitas Houston, dalam wawancaranya dengan Global Animal Network menjelaskan bahwa peningkatan jumlah konsumsi hewan liar di China mulai terjadi pada akhir era 1970-an menuju era 1980-an setelah ”Negara Tirai Bambu” di bawah pimpinan Mao Zedong itu mengalami masa yang disebut ”Kelaparan Hebat” atau ”The Great Famine”.
Deng Xiaoping, yang kemudian menggantikan Mao pada tahun 1978, mengingatkan Partai Komunis China bahwa rakyat akan melakukan perlawanan jika pemerintah tidak bisa segera memberikan solusi terhadap persoalan kelaparan yang terjadi.
Baca juga : Tantangan Baru Reformasi China
Prof Frank Dikotter, sejarawan pada Universitas Hong Kong, dalam makalahnya ”Mao’s Great Famine”, yang dikutip dari laman Universitas Dartmouth, Amerika Serikat, menyebutkan bahwa masa Kelaparan Hebat adalah masa kelam dalam sejarah politik China. Berawal dari keinginan pemimpin China pada saat itu, Mao Zedong, untuk menyaingi Amerika Serikat dan Inggris dalam hal produksi baja—sebagai upaya untuk menjadikan China sebagai negara industri sekaligus negara adidaya—kebijakan Lompatan Besar (The Great Leap) yang dicetuskan Mao malah berbalik arah, menyengsarakan rakyatnya sendiri.
Dikotter yang melakukan penelitian khusus tentang peristiwa ini meyakini, peristiwa yang terjadi antara tahun 1958-1962 tersebut mengakibatkan lebih dari 40 juta warga China tewas karena kelaparan. Tidak jarang untuk bisa bertahan hidup, warga China eksodus ke Hong Kong untuk menghindari kondisi ini dan berhasil bertahan hidup di negara itu.
Mao Yushi (90), salah satu warga yang berhasil melewati masa itu, menuturkan, sebagian besar warga yang tewas adalah warga yang tinggal di pedesaan. Tidak jarang mereka harus makan tanah liat atau bahkan bangkai binatang untuk bisa bertahan hidup. ”Apabila sudah tidak ada makanan, saya menahan lapar dengan hanya minum air sampai kenyang,” kata Mao Yushi.
Semula warga China hanya mengonsumsi babi, ayam, dan sapi sebagai hidangan di meja makan. Ketiadaan sumber protein hewani itu membuat mereka beralih mengonsumsi binatang-binatang yang mereka temukan di sekeliling tempat tinggal mereka, di antaranya tikus, katak, ular, musang atau luwak, kura-kura, hingga trenggiling.
Kebijakan Deng Xiaoping memberikan kelonggaran bagi penduduk pedesaan untuk membuka peternakan, termasuk peternakan hewan-hewan liar, disambut gembira oleh rakyat.
Peter Li mengatakan, kebijakan Deng Xiaoping memberikan kelonggaran bagi penduduk pedesaan untuk membuka peternakan, termasuk peternakan hewan-hewan liar, disambut gembira oleh rakyat. Kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Deng untuk menjaga asupan daging bagi warga pedesaan membuat kondisi kesehatan warga desa membaik.
Ekonomi pun tumbuh dari hasil peternakan pribadi ini. Pemerintah China memberikan perlindungan dalam bentuk kebijakan terhadap warganya yang ingin mengembangkan peternakan hewan-hewan liar.
Seperti dikutip harian The South Morning China Post, setelah berusia lebih dari 40 tahun, industri peternakan warga tersebut menyumbang pemasukan lebih dari 520 miliar yuan atau setara dengan 74 miliar dollar AS. Pemerintah China, dikutip National Geographic, mengizinkan 54 jenis hewan untuk diternakkan secara pribadi, mulai dari cerpelai, hamster, kura-kura bergerigi, hingga buaya.
Meski masyarakat China dulu menggunakan organ tubuh tertentu dari hewan liar untuk pengobatan, pemasukan negara dari obat-obatan dengan bahan dasar organ hewan merupakan yang terkecil dibandingkan dengan industri lain, seperti industri bulu binatang, makanan untuk konsumsi ataupun untuk industri pariwisata, dan sebagai hewan peliharaan. Industri tersebut sekarang menjadi tulang punggung pendapatan bagi sekitar 14 juta penduduk China.