Dua Politisi Senior Hong Kong Membentuk Koalisi Pendukung China
Kala menerima lagi Hong Kong dari London, Beijing menjanjikan Hong Kong bisa menjalankan otonomi penuh, termasuk pada bidang hukum, sampai 2047.
Oleh
Kris Mada
·3 menit baca
HONG KONG, SELASA — Tung Chee-hwa dan Leung Chun-ying, dua mantan Pemimpin Eksekutif Hong Kong, mengumumkan aliansi untuk mengikuti pemilu pada September 2020. Aliansi itu menawarkan dua hal, mendukung prinsip ”Satu Negara, Dua Sistem” dan pemulihan ekonomi.
Tung memimpin Hong Kong pada 1997-2005. Leung bertugas pada 2012-2017 atau sebelum Kepala Eksekutif Hong Kong sekarang, Carrie Lam.
”Kami akan mendukung penuh ’Satu Negara, Dua Sistem’ dan memulihkan perekonomian serta melanjutkan kepatuhan pada hukum sehingga bisa mencapai stabilitas dan kemakmuran Hong Kong,” ujar Tung, Selasa (5/5/2020), di Hong Kong.
Pengumuman itu disampaikan setelah Pemerintah Hong Kong mengungkap perekonomian wilayah otonom China itu kembali merosot. Pada kuartal pertama 2020, pertumbuhan ekonomi Hong Kong merosot 8,9 persen.
”Jika melihat sejarah Hong Kong, kita melihat daya lenting masyarakat dan selalu bangkit. Saya percaya, dengan usaha bersama, kita akan memecahkan setiap masalah sosial,” kata Leung.
Tung dan Leung mengaku punya 1.545 anggota dalam koalisi itu. Anggotanya termasuk tenaga kesehatan dan orang muda. Koalisi itu menyoroti dua isu yang kini jadi perhatian Hong Kong.
Selama berbulan-bulan, Hong Kong diguncang unjuk rasa yang dipicu penolakan pada rancangan undang-undang ekstradisi. RUU itu dinilai melanggar prinsip ”Satu Negara, Dua Sistem” yang dijanjikan China kala menerima lagi Hong Kong dari Inggris pada 1997. Sebab, RUU itu membuat sistem peradilan Hong Kong tergabung dengan sistem Beijing yang dinilai tidak independen.
Selama beberapa bulan pada 2020, unjuk rasa mereda di tengah kekhawatiran pada pandemi Covid-19. Walakin, sejumlah kelompok di Hong Kong menyatakan tetap akan menggelar unjuk rasa lanjutan. Mereka antara lain menggelar unjuk rasa pada peringatan Hari Buruh, 1 Mei 2020.
Dalam pernyataan pada Selasa, Kantor Penghubung China untuk Hong Kong mengingatkan bahwa wilayah itu tidak punya masa depan jika unjuk rasa yang diikuti kekerasan terus berlanjut.
”Orang di berbagai penjuru dunia menyisihkan perbedaan untuk melawan pandemi. Hanya di Hong Kong para radikal terus menghasut warga untuk terlibat kekerasan dan mengancam akan meletakkan bom di tempat umum. Jika kita membiarkan mereka, apakah Hong Kong punya masa depan?” demikian dinyatakan Kantor Penghubung, sebagaimana dikutip media Hong Kong, South China Morning Post.
Media Hong Kong tersebut juga mewawancarai mantan Ketua Kamar Dagang Hong Kong Aron Harilela soal perkembangan wilayah itu. Ia menyatakan, ada kekhawatiran soal masa depan Hong Kong.
”Kalau kita mengundang perusahaan multinasional untuk membuka kantor wilayah di sini, bagaimana mungkin meminta mereka membelanjakan ratusan juta dollar di Hong Kong jika kita tidak bisa memberikan kepastian soal hukum pidana, hukum usaha, dan keuangan? Kalau mau mengundang orang, harus memberikan keamanan,” tutur Harilela.
Oleh karena itu, Harilela mendorong Hong Kong mulai membahas hubungan dengan Beijing selepas 2047. Kala menerima lagi Hong Kong dari London, Beijing menjanjikan Hong Kong bisa menjalankan otonomi penuh, termasuk pada bidang hukum, sampai 2047.
Sampai sekarang, belum jelas apa yang akan terjadi setelah 2047. ”Kita harus membahasnya sekarang,” lanjutnya.
Harilela mengusulkan pembentukan tim yang terdiri dari perwakilan Beijing dan Hong Kong untuk membahas masalah itu. Semua pihak berkepentingan harus dilibatkan dalam pembahasan itu. Dia mengatakan telah menyampaikan usul tersebut kepada sejumlah pejabat. (REUTERS)