Menakar Relasi Negara Bangsa di Tengah Pandemi Covid-19
Pandemi Covid-19 memberi tantangan besar bagi globalisasi. Negara bangsa mengidentifikasi bagian mana yang membutuhkan kolaborasi internasional dan bagian mana yang dikembalikan jadi bagian ketahanan nasional.
Globalisasi yang menjadi tata kelola dunia menemukan tantangan terbesarnya dalam beberapa bulan terakhir. Pandemi Covid-19 yang disebabkan virus korona baru membuat interaksi antarnegara yang intensif sebagai karakteristik globalisasi seolah kehilangan relevansinya.
Sebab, untuk bisa bertahan di saat ini, orang-orang dan negara bangsa harus menjaga jarak. Sebagian pengelola pemerintahan bahkan memutuskan untuk menutup total negara mereka. Lockdown.
Kondisi ini merupakan paradoks hubungan antarnegara yang sebelumnya berjalan dalam protokol globalisasi. Tentang bagaimana mempertahankan eksistensi dan agar dapat maju serta berkembang, negara-negara dan bangsa-bangsa dituntut mengintegrasikan diri secara utuh. Lewat pertukaran barang dan jasa, tenaga kerja, investasi, budaya, turisme, dan sebagainya. Keadaan di mana sebagian aktivitas seperti ekspor dan impor adalah kelaziman. Kondisi yang menjadikan pergerakan berbagai moda transportasi udara, laut, dan darat menjadi penghubung yang penting.
Baca juga : Pendekatan ”Longgar” Swedia Menghadapi Pandemi
Adalah globalisasi pula yang membuat pandemi Covid-19 menyebar dengan cepat. Berdasarkan data yang dikutip dari laman resmi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Sabtu (2/5/2020), telah ada 3,1 juta kasus terkonfirmasi positif Covid-19. Kasus-kasus tersebut tersebar di 215 negara, wilayah, dan teritori dengan 224.301 orang terkonfirmasi meninggal. Padahal, baru akhir Desember 2019 kluster kasus pertama Covid-19 dilaporkan dari Wuhan, China.
”Pandemi ini sesuatu yang menyebar secara cepat. Dalam hal ini (menyebar) cepat karena dampak globalisasi,” sebut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dewi Fortuna Anwar, dalam diskusi daring yang diselenggarakan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, Rabu (22/4/2020).
Diskusi dengan topik ”Corona dan Daya Tahan Sosial Politik Indonesia” itu turut pula menghadirkan beberapa pembicara lain. Dewi mengatakan, dalam hal ini hampir tidak ada bagian dunia yang kebal. Episentrumnya juga kini cenderung bergeser ke Amerika Serikat dan Eropa setelah berawal di China.
Dia menyoroti dampak pandemi Covid-19 terhadap hubungan internasional, terutama dalam kaitannya dengan isu keamanan dan ekonomi internasional. Menurut Dewi, hal ini membuat pandemi tidak semata-mata tentang isu kesehatan, tetapi juga tentang isu keamanan nontradisional. Sebagaimana terjadi pada isu perubahan iklim dan terorisme.
Hal ini memungkinkan dan mengharuskan negara-negara untuk bekerja sama dengan baik. Sebab, pada dasarnya tidak ada negara yang bisa menyelesaikan tantangan pandemi ini sendirian. ”Covid-19 ini tantangan baru globalisasi,” sebut Dewi.
Konsep solidaritas sosial memang dapat menjadi kunci mengatasi pandemi yang memengaruhi hampir semua negara. WHO menyebutkan konsep ”solidaritas global” merupakan kunci penanganannya.
Kesiapan institusional
Pada kesempatan diskusi yang sama, Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philip J Vermonte menyebutkan pandemi Covid-19 menunjukkan semua negara berada dalam kondisi rentan. Pembedanya bergantung pada kesiapan institusional negara masing-masing.
”Betul semua negara mengalami kalang kabut dan lain-lain. Namun, negara yang punya sistem public health (kesehatan publik) dan governance (tata kelola) akan bounce back (kembali) dengan cepat,” sebut Philip.
Ia juga menandai bahwa faktor kepemimpinan yang solid dengan visi jelas menjadi pembeda sejumlah negara yang dianggap sukses menangani pandemi Covid-19. Hal lain adalah pemerintahan yang menghargai sains dan data. Selandia Baru, Jerman, Taiwan, Korea Selatan, dan Singapura dinilai berada dalam kelompok tersebut.
Tata kelola yang baik juga ditandai Philip sebagai pembeda yang penting. Tidak menjadi soal apakah negara tersebut dijalankan dengan sistem demokrasi ataupun tidak. Jerman, Korea Selatan, dan Selandia Baru mewakili pemerintahan yang demokratis. Di sisi lain ada China dan Singapura yang tidak dikategorikan ke dalam negara-negara demokratis.
Menurut Dewi, tidak ada negara yang bisa menghadapi pandemi Covid-19 dengan baik. Bahkan, negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat sangat kewalahan. Hal ini tecermin pada praktik memilih siapa yang mesti diselamatkan dan tidak pada saat lonjakan pasien terjadi. Sebuah kondisi menyusul keterbatasan peralatan medis di saat momen puncak penyebaran infeksi Covid-19 terjadi.
Hal tersebut, menurut Dewi, berarti setiap negara berada dalam kondisi senasib sepenanggungan. Ada kerja sama yang mesti dijalin.
Mengutip filsuf Slavoj Žižek dalam buku berjudul Pandemic! Covid-19 Shakes The World (2020), saat ini kita berada di ”perahu” yang sama. Seiring dengan perkembangan epidemi, tulis Slavoj, kita perlu menyadari bahwa mekanisme pasar tidak akan cukup untuk mencegah kelaparan dan chaos. Koordinasi produksi dan distribusi harus dilakukan di luar koordinasi pasar.
Žižek, dalam buku tersebut, mengutip Martin Luther King yang diutarakan lebih dari setengah abad silam: Kita mungkin datang dengan kapal yang berbeda-beda, tetapi saat ini kita berada di perahu yang sama.
Jaga jarak
Meski demikian, keharusan bekerja sama itu kini dihadapkan pada protokol ketat untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Sebab, untuk memutus, diperlukan langkah-langkah untuk menjaga jarak. Bahkan, menutup batas-batas geografis sebuah negara.
Hal ini membuat kerja sama internasional menemukan lagi paradoks lainnya, tatkala negara-negara dipaksa untuk kembali ke konsep negara bangsa masing-masing. Karena pandemi ini terjadi dalam jangka panjang, imbuh Dewi, hal itu akan berdampak pula pada ketahanan nasional.
Jika di masa sebelumnya globalisasi membuat jalur produksi menjadi efektif dengan rantai produksi secara global, ujar Dewi, saat ini yang terjadi adalah ditutupnya jalur-jalur internasional. Ada kemungkinan negara kehilangan kemampuan mengimpor pangan, energi, dan sebagainya. Hal ini menyusul fokus setiap negara untuk memenuhi energi dan pangan masing-masing.
Ranabir Samaddar (ed) dalam buku berjudul Borders of an Epidemic: Covid-19 and Migrant Workers (2020) menyebutkan bahwa kaum liberal mesti menghadapi fakta bahwa untuk memerangi epidemi ialah dengan cara-cara tidak nyaman sebagaimana praktik aparat-aparat yang represif.
Samaddar menulis bahwa hal ini jelas akan menjadi sebuah titik di mana kondisi sebelumnya tidak mungkin kembali lagi bagi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Uni Eropa, dan kawasan-kawasan perdagangan bebas (Free Trade Zones), yang memimpin globalisasi dan memiliki saling ketergantungan berdasarkan norma-norma liberal.
Dewi menyebutkan, dampak pandemi memaksa banyak pihak merekalibrasi hubungan internasional, termasuk di dalamnya mengidentifikasi bagian mana yang membutuhkan kolaborasi internasional. Juga bagian mana yang sudah semestinya dikembalikan jadi bagian ketahanan nasional. Misalnya saja pangan, energi, obat-obatan, dan ketahanan sistem perekonomian. Ada dimensi kemandirian yang mesti diupayakan.
Memang, sebagian layanan jasa seperti industri teknologi informasi dan lalu lintas modal yang relatif tidak membutuhkan interaksi fisik cenderung membuat globalisasi mendekat. Namun, menurut Dewi, ekonomi riil berhenti. Ini akan berhubungan dengan aspek internasionalisme dan nasionalisme. Terutama bagi negara besar seperti Indonesia dengan kebutuhan pangan relatif besar. Juga, imbuh Dewi, untuk memastikan agar kegiatan ekonomi tidak lumpuh.
Ia mencontohkan, jika selama ini China menjadi pabrik global karena efisiensi produksi, sektor manufaktur cenderung terganggu saat lockdown diberlakukan. Menurut Dewi, saat ini Jepang tengah berpikir menarik lagi investasi di China.
Sementara sebagian investasi lain yang bernilai lebih rendah kemungkinan disebar ke sejumlah negara ASEAN, organisasi negara-negara Asia Tenggara. Indonesia dinilai bisa mengambil peluang untuk menarik investasi tersebut setelah pandemi usai.
”Kita, mau tidak mau, (harus) merekalibrasi globalisasi,” sebut Dewi.