Amerika Serikat boleh jadi adalah kekuatan utama dunia saat ini. Namun, tidak dapat dimungkiri, kebangkitan China membuat AS dan sekutunya harus menata ulang ”barisan mereka”.
Oleh
B Josie Susilo Hardianto
·6 menit baca
Awal pekan lalu, Stockholm International Peace Research Institute atau SIPRI, sebuah lembaga riset yang memusatkan perhatian pada isu-isu pertahanan, konflik, dan kontrol senjata, mengungkapkan, belanja militer global menunjukkan peningkatan. Bahkan, SIPRI mencatat peningkatan itu merupakan yang terbesar dalam satu dekade terakhir.
Secara total, negara-negara di dunia menggelontorkan uang hingga 1,9 triliun dollar AS untuk belanja militer, atau 2,2 persen dari produk domestik bruto global. Dibandingkan dengan dana yang dikucurkan sepanjang 2018, nilainya naik 3,6 persen atau melonjak 7,2 persen dibandingkan dengan anggaran belanja pertahanan global 2010. ”Ini adalah tingkat pengeluaran tertinggi sejak krisis keuangan global 2008, dan mungkin menjadi puncak pengeluaran,” kata Nan Tian, peneliti SIPRI, dalam laman resmi lembaga itu.
Menurut SIPRI, lima pembelanja terbesar pada 2019—sekitar 62 persen dari total anggaran belanja militer global—ialah Amerika Serikat, China, India, Rusia, dan Arab Saudi.
Pertanyaan yang pertama muncul dari catatan itu adalah apa yang menjadi pemicu negara-negara itu membelanjakan dana begitu besar untuk pertahanan? Setidaknya SIPRI mencatat ada tiga alasan utama, pertama tentu saja konflik.
Alasan berikutnya, kedua, sebagaimana dikemukakan peneliti senior SIPRI, Siemon T Wezeman, adalah ketegangan dan persaingan antara India dengan Pakistan dan China. Sebagai catatan, tahun 2019 belanja militer China mencapai 261 miliar dollar AS atau meningkat 5,1 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
India yang tidak ingin kalah pengaruh dari China dan perlu menegaskan diri di Kashmir—dalam sengketa dengan Pakistan—menggenjot belanja militernya hingga 71,1 miliar dollar AS atau naik 6,8 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sementara China, menurut Tian, secara terbuka menyatakan mereka ingin bersaing dengan AS sebagai negara adikuasa militer.
India yang tak ingin ”kalah” dari China dan tentu saja Pakistan—sebagaimana diberitakan Jane’s—tengah memodernisasi armada udara yang dimiliki, termasuk mengganti MiG-21 mereka yang telah usang dengan 36 jet Rafale buatan Perancis. Bukan hanya bagi India, menguatnya pengaruh China di kawasan juga dilihat turut memicu peningkatan belanja pertahanan Korea Selatan dan Jepang.
Faktor China juga dapat ”ditemukan” dalam isu belanja pertahanan AS. Tahun lalu, Washington menyisihkan anggaran hingga 732 miliar dollar AS untuk belanja pertahanan, tertinggi di dunia. ”Pertumbuhan pengeluaran militer AS baru-baru ini sebagian besar didasarkan pada persepsi kembali ke persaingan antara kekuatan besar,” kata Wezeman.
Sebagai catatan, Minot adalah ”rumah” bagi pengebom B-52, salah satu dari tiga kekuatan utama alutsista nuklir AS, selain rudal balistik Minuteman-3 dan kapal selam kelas Columbia yang berkemampuan meluncurkan rudal balistik berhulu ledak nuklir. Esper mengatakan, China dan Rusia telah memodernisasi dan mengembangkan persenjataan nuklir mereka. Rusia antara lain disebut tengah mengembangkan rudal jelajah baru, yaitu Novator 9M729 atau SSC-8.
Faktor Rusia disebut juga turut memengaruhi NATO dan sejumlah negara anggota pakta pertahanan itu. Jerman salah satunya. ”Pertumbuhan dalam pengeluaran militer Jerman sebagian dapat dijelaskan oleh persepsi meningkatnya ancaman dari Rusia, yang juga dimiliki oleh banyak negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO),” kata Diego Lopes da Silva, peneliti di SIPRI.
Lembaga itu mencatat, pengeluaran militer Jerman naik 10 persen pada 2019, menjadi 49,3 miliar dollar AS. Anggaran militer Bulgaria juga menanjak 127 persen. Rusia sendiri disebutkan juga meningkatkan belanja pertahanan mereka hingga 65,1 miliar dollar AS. ”Dengan (belanja militer setara) 3,9 persen dari PDB-nya, beban pengeluaran militer Rusia termasuk yang tertinggi di Eropa pada 2019,” kata Alexandra Kuimova, peneliti di SIPRI.
Awal bulan ini dikabarkan Jerman mengonfirmasi bahwa mereka akan segera mengganti Tornado, pesawat tempur lawas mereka, dengan armada baru buatan AS. Disebut-sebut Jerman akan mengakuisisi pesawat tempur buatan Boeing, yaitu F/A-18 Super Hornet dan EA-18G Growler, pesawat berkemampuan perang elektronik yang mengambil basis F-18F. Salah satu syarat yang diajukan Jerman terkait pengganti Tornado adalah pesawat baru harus mampu membawa dan meluncurkan rudal nuklir. Saat ini, Tornado adalah satu-satunya pesawat Luftwaffe—Angkatan Udara Jerman—yang memiliki kemampuan untuk membawa bom nuklir.
Pandemi
Akan tetapi, diperkirakan sepanjang tahun ini isu belanja pertahanan kemungkinan akan mendapat banyak koreksi. Deraan pandemi Covid-19 membuat banyak pemerintah negara-negara di dunia mengoreksi anggaran mereka.
Guncangan ekonomi akibat pandemi kemungkinan akan merusak target pembangunan pertahanan sejumlah negara, termasuk NATO. Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg awal April lalu mengatakan, di tengah deraan pandemi, fokus kebijakan pemerintah, termasuk dalam isu pertahanan, adalah penyediaan peralatan medis.
”Kita harus melihat ke masalah pasokan peralatan medis dan pakaian pelindung, obat-obatan, dan semua hal semacam itu. Dan, juga mengajukan pertanyaan seperti: apakah kita terlalu bergantung pada produksi yang datang dari luar?” kata Stoltenberg dalam telekonferensi.
”Ketahanan nasional dalam tanggung jawab NATO,” katanya. ”Ketahanan nasional, termasuk memastikan kita memiliki peralatan medis yang diperlukan, akan menjadi bagian dari proses pembelajaran setelah krisis ini,” kata Stoltenberg lebih lanjut.
Namun, Stoltenberg secara terbuka mendesak NATO tetap menjaga pengeluaran pertahanan. Dia berkeras tantangan yang dihadapi NATO sebelum krisis belum hilang dan masih perlu dihadapi. ”Masih ada ancaman teroris di luar sana. Ada ancaman di dunia maya. Dan, kita melihat kekuatan global bergeser dengan kebangkitan China, dan kita melihat Rusia yang lebih kuat,” ujarnya.
Namun, sejumlah diplomat dan pakar memperkirakan anggaran pertahanan akan turun mengingat pertahanan sering kali merupakan salah satu sektor pertama yang akan dipotong ketika krisis terjadi. Dua diplomat senior NATO mengatakan kepada Reuters bahwa Italia dan Spanyol, dua anggota NATO yang paling parah terkena pandemi, kemungkinan besar tidak dapat memenuhi target 2 persen PDB sebagaimana yang pernah disepakati—tahun 2017—untuk anggaran pertahanan mereka.
Kesepakatan itu muncul setelah Presiden AS Donald Trump mengkritik mitranya di NATO yang dinilai kurang memberikan kontribusi signifikan pada pakta tersebut. ”Ada batasan seberapa banyak kita bisa terobsesi dengan 2 persen itu,” kata seorang diplomat. ”Secara politis, itu bermanfaat bagi Trump. Tetapi, tidak jelas apakah tetap layak secara ekonomi,” lanjutnya.
Namun, Duta Besar AS untuk NATO Kay Bailey Hutchison mendukung Stoltenberg. Menurut dia, selain tetap menjaga ketahanan negara-negara anggota dengan memenuhi pasokan alat kesehatan, ia tetap menyarankan kewaspadaan. Ia menilai ”musuh” bisa mengeksploitasi pandemi.
Eksploitasi itu, menurut Hutchison, antara lain berupa kampanye disinformasi yang menurut dugaannya dilakukan oleh Beijing dan Moskwa. Salah satu isi disinformasi itu adalah bahwa virus penyebab Covid-19 berawal di AS atau Eropa. ”Itu bisa menjadi krisis keamanan jika kita membiarkan pertahanan kita,” katanya.
Tentu saja China dan Rusia menolak tuduhan itu. Akan tetapi, situasi tersebut menunjukkan bahwa faktor China dan Rusia sangat berpengaruh. Meskipun Perang Dingin telah lama berlalu, ”hawa panas”-nya masih terbawa. Apalagi, kini China telah berkembang menjadi raksasa. (AFP/Reuters)