Pasca-penandatanganan kesepakatan damai, kekerasan bersenjata yang menewaskan warga sipil terus meningkat. Analis khawatir penandatanganan kesepakatan damai akan sia-sia.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
REUTERS / OMAR SOBHAN
Seorang pria Afghanistan melepas pecahan kaca setelah ledakan bom bunuh diri di Kabul, Afghanistan, Rabu (29/4/2020).
KABUL, RABU – Dua bulan setelah Pemerintah Amerika Serikat dan kelompok Taliban menandatangani kesepakatan damai, semua pihak berharap perdamaian yang seutuhnya bisa dengan mudah tercapai tanpa ada kekerasan lanjutan. Namun, harapan itu musnah. Kekerasan melonjak tak terkendali dan para ahli meyakini proses perdamaian yang rapuh berisiko runtuh.
Setiap hari, pasukan keamanan Afghanistan dan pejuang Taliban dilaporkan tewas seiring peningkatan operasi di kedua belah pihak. Warga sipil, yang sudah lama mendambakan perdamaian di ”Negeri Para Mullah” itu pun, tak urung menjadi korban keganasan perang yang berkelanjutan meski kesepakatan damai sudah ditandatangani.
Sebuah serangan bom bunuh diri terjadi di Distrik Chahar Asyab, Rabu (29/4/2020), yang semula diduga menargetkan untuk merusak dan menghancurkan markas pasukan khusus militer Afghanistan, malah menewaskan banyak warga sipil. Menurut data kementerian dalam negeri, tiga korban tewas dan belasan korban luka adalah warga sipil.
Tareq Arian, juru bicara kementerian dalam negeri, mengecam keras serangan bom bunuh diri itu dan menyebutnya sebagai tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
AP / RAHMAT GUL
Seorang anggota pasukan komando Afghanistan berjaga di lokasi serangan bom bunuh diri di pinggiran Kabul, Afghanistan, Rabu (29/4/2020). Pengebom itu menargetkan markas pasukan khusus Afghanistan di pinggiran selatan ibu kota, kata para pejabat.
Seorang pejabat Afghanistan mengatakan bahwa rata-rata kelompok Taliban melancarkan 55 serangan setiap hari sejak kesepakatan damai ditandatangani di Doha, Qatar, 29 Februari 2020. Sementara menurut laporan Misi Perbantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Afghanistan (UNAMA) yang disampaikan Senin (27/4/2020), serangan militer dan polisi Afghanistan yang ditujukan terhadap kelompok Taliban lebih banyak menyebabkan kematian pada anak-anak daripada kelompok pemberontak. Itu terutama ketika serangan tersebut dilakukan melalui udara atau dengan menggunakan artileri berat.
Dalam laporannya, UNAMA menyatakan keprihatinannya terhadap angka kematian yang terus melonjak pada Maret saat seharusnya kedua belah pihak—Pemerintah Afghanistan dan Taliban—diharapkan memulai kembali perundingan intra Afghanistan.
”Untuk melindungi kehidupan warga sipil dan untuk memberi bangsa harapan masa depan yang lebih baik, sangat penting kekerasan dihentikan dengan pelaksanaan gencatan senjata dan memulai perundingan damai,” kata Kepala UNAMA Deborah Lyons.
REUTERS/PARWIZ
Foto yang diambil pada 28 Februari 2020 ini memperlihatkan sejumlah anak Afghanistan merayakan kesepakatan damai antara Pemerintah AS dan kelompok Taliban yang ditandatangani di Doha, Qatar, sehari kemudian.
Kelompok Taliban menolak seluruh tudingan yang diarahkan kepadanya, termasuk segala bentuk kekerasan bersenjata yang mengakibatkan tewasnya warga sipil.
Mati suri
Kesepakatan damai yang diberi slogan ”Perjanjian untuk Membawa Perdamaian ke Afghanistan” menjanjikan penarikan penuh militer Amerika Serikat dan asing pada tahun 2021. Perjanjian itu tidak memerlukan janji dari kelompok Taliban untuk melakukan gencatan senjata atau bahkan pengurangan kekerasan.
Presiden Donald Trump berulang kali menyatakan keinginannya untuk membawa pulang militer AS secepatnya. Petinggi Taliban menyadari bahwa selama serangan yang mereka lakukan tidak mengenai anggota militer AS atau pasukan asing lainnya, mereka tidak akan menerima konsekuensi yang besar meski serangan terus berlanjut.
Kompas
Menteri Pertahanan Amerika Serikat Mark Esper (Kiri), Sekjen NATO Jens Stoltenberg (tengah), dan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani (kedua dari kanan) bertemu di Kabul, Afghanistan, 29 Februari 2020.
Salah satu peneliti senior di lembaga Yayasan Pertahanan Demokrasi, Bill Roggio, mengatakan, kelompok Taliban melihat kesepakatan itu sebagai sebuah akhir pendudukan. ”Keluarnya AS dari Afghanistan telah melebihi ekspektasi Taliban,” kata Roggio.
Persepsi seperti itu, menurut Nishank Motwani—analis strategi dan keamanan yang berbasis di Kabul—memperkuat dan melegitimasi Taliban bahwa mereka memenangi perang menghadapi AS dan pasukan koalisi. Dengan persepsi seperti itu, Taliban memiliki sedikit keinginan untuk menghentikan kekerasan.
Dengan kondisi seperti itu, kesepakatan yang besar dan bahkan melebihi ekspektasi Taliban serta tidak diperlukannya sebuah kompensasi yang adil dan sesuai, diyakini para analis, telah memicu gelombang serangan terhadap militer dan polisi Afghanistan.
”Proses perdamaian belum mati, tetapi proses itu kini dalam fase ’membutuhkan dukungan’ untuk tetap hidup,” kata Ashley Jackson, peneliti pada Overseas Development Institute. Singkatnya, kata Jackson, proses perdamaian dalam kondisi mati suri dan tinggal menunggu waktu sebelum benar-benar hancur berantakan.
Bahasa lebih lugas lagi disampaikan Michael Rubin, seorang analis pada American Enterprise Institute. ”Ini bukanlah kesepakatan untuk membawa perdamaian. Ini hanyalah kesepakatan untuk memberi legitimasi dan perlindungan pada Amerika (untuk meninggalkan Afghanistan). Dan, jika hal itu mengharuskan Amerika melempar orang Afghanistan ke bawah bus, biarlah,” kata Rubin memberikan perspektifnya.
Sebuah sumber Taliban mengatakan para pemberontak tidak berniat memperlambat kekerasan sampai para tahanan dibebaskan, dan menegaskan kembali tidak akan ada pembicaraan kecuali itu terjadi.
NATIONAL SECURITY COUNCIL OF AFGHANISTAN/HANDOUT VIA REUTERS
Tahanan Taliban yang baru dibebaskan menunggu proses di penjara Bagram, utara Kabul, Afghanistan, 8 April 2020.
Fawzia Koofi, anggota tim perundingan Afghanistan, mengatakan, rintangan lain, yaitu krisis politik lainya, adalah masalah legitimasi pemerintahan Presiden Ashraf Ghani oleh rivalnya, Abdullah Abdullah.
”Kami menunggu sebuah konsensus sehingga kami memiliki yang sama selama pembicaraan,” katanya.
Pemerintahan Ghani, menurut analis International Crisis Group, Andrew Watkins, telah memiliki landasan yang memberikan harapan dengan mengadakan beberapa kali pembicaraan tentang pertukaran tahanan. ”Hal terpenting bagi perundingan perdamaian untuk berhasil adalah kedua belah pihak terus berbicara. Terus-menerus,” kata Watkins. (AP/AFP)