Dua Miliuner Bertolak Belakang soal Pembatasan Sosial
Dua miliuner AS, Mark Zuckerberg dan Elon Musk, berbeda pendapat soal pembatasan sosial. Pada saat yang sama, AS memuncaki posisi pertama jumlah warganya yang terpapar Covid-19. Dan terus bertambah.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
NEW YORK, KAMIS — Tekanan terhadap Pemerintah Amerika Serikat untuk melonggarkan pembatasan sosial warganya semakin kuat. Sebagian warga yang menolak pembatasan meyakini kebijakan itu sebagai pelanggaran hak asasi warga, termasuk di dalamnya dampak pembatasan itu sendiri, yaitu mereka tidak bisa mengakses tempat bekerja sebagai penyambung hidup.
Pandangan lainnya adalah pembatasan sosial diperlukan agar virus SARS-CoV-2 tidak semakin menyebar, meniru kebijakan di beberapa negara lain, seperti Italia ataupun Selandia Baru hingga Vietnam, yang dinilai berhasil dengan kebijakan itu. Dengan kebijakan pembatasan sosial yang ada sekarang, Amerika Serikat, berdasarkan data Worldometer.info dan Universitas John Hopkins, menempati peringkat pertama jumlah warga yang positif terpapar, yaitu lebih dari 1 juta warga dan tingkat kematian mencapai 61.000 jiwa.
Mark Zuckerberg, miliuner yang juga merupakan pendiri jejaring sosial Facebook, mendukung pembatasan sosial. Menurut Zuckerberg, dirinya mengkhawatirkan apabila Pemerintah AS terlalu dini memberikan kelonggaran bagi warganya untuk bergerak bebas di luar rumah. Dia meyakini dampak pandemi Covid-19 terhadap ekonomi AS akan lebih lama dari yang diperkirakan banyak orang.
”Saya khawatir pembukaan kembali tempat-tempat tertentu terlalu dini sebelum tingkat infeksi berkurang hingga ke tingkat yang sangat rendah hampir pasti akan membuat penyebaran wabah di masa depan. Hal itu akan mengakibatkan kondisi kesehatan dan perekonomian jauh lebih buruk,” kata Zuckerberg.
Pandangan berbeda
Pandangan sebaliknya diutarakan Elon Musk, CEO pabrik mobil listrik Tesla. Secara terang-terangan dan blak-blakan, Musk menilai kebijakan pembatasan sosial adalah sebuah kebijakan yang fasis.
”Ini bukan demokratis, ini bukan kebebasan. Berikan kembali kebebasan mereka,” kata Musk. Musk sendiri sempat mencuit pernyataannya melalui Twitter: ”Bebaskan Amerika sekarang”.
Lebih jauh, Musk memandang kebijakan pembatasan sosial yang diterapkan oleh pemerintah adalah bentuk pemenjaraan terhadap semua hak konstitusional warga. Kebijakan itu juga dinilainya merupakan pelanggaran kebebasan yang dimiliki manusia sejak manusia itu lahir.
”Ini akan menyebabkan kerusakan besar, tidak hanya untuk Tesla, tetapi juga bagi perusahaan mana pun. Dan sementara Tesla akan menghadapi badai, ada banyak perusahaan kecil yang tidak akan bisa menghadapinya,” katanya.
Baik Musk maupun Zuckerberg memiliki kantor pusat yang berbasis di daerah Teluk San Francisco, California. Wilayah itu sendiri menjadi salah satu daerah yang pertama untuk mencoba menghambat penyebarluasan virus. Salah satunya dengan pembuatan tempat perlindungan atau shelter bersama.
Dengan karakter bisnis yang berbeda, Tesla dan Facebook memiliki pengalaman yang berbeda dalam menyikapi kebijakan pembatasan sosial di AS. Tesla sempat menolak upaya penutupan pabrik mereka di Bay Area sampai akhirnya menyetujui hal itu pada 19 Maret. Penundaan hingga penghentian produksi sempat dikhawatirkan akan berdampak pada kondisi keuangan Tesla, yang sempat goyah pada awal tahun 2019. Apalagi pabrik Tesla di China juga terdampak.
Namun, pada laporan keuangan terbaru, Tesla dikabarkan menghasilkan keuntungan dalam tiga kuartal terakhir.
Sementara bagi Facebook, pemilik jaringan media sosial terbesar, termasuk Instagram dan WhatsApp, melaporkan terjadi peningkatan penggunaan yang signifikan selama masa pembatasan sosial. Meski demikian, pendapatan iklan pada Maret dilaporkan mengalami penurunan.
Pabrik Tesla di Shanghai yang kembali berproduksi menyusul membaiknya situasi kesehatan di China memberi keyakinan kepada investor tentang masa depan Tesla. Apalagi Musk meyakini bahwa pabrik mereka di Shanghai bisa memproduksi 200.000 mobil listrik tahun ini untuk memenuhi pasar China dan juga wilayah Asia lainnya.
Adapun dua pabrik di Amerika hingga kini masih berhenti dan diharapkan bisa mulai kembali melakukan kegiatan produksi pada awal Mei. Namun, hal itu masih menunggu persetujuan dari pemerintah setempat.
Tesla menargetkan bisa memproduksi 500.000 mobil listrik dari berbagai model pada tahun 2020 ini. Namun, target produksi itu masih belum bisa dipastikan mengingat kondisi pembatasan sosial yang masih berjalan hingga sekarang. Bahkan, perusahaan tidak bisa memproyeksikan pendapatan mereka tahun ini karena situasi yang tidak menentu saat ini. (AFP/Reuters)