Protes warga Lebanon berlanjut karena nilai tukar pound kembali terdepresiasi. Warga tidak bisa mengambil simpanan uangnya di bank karena Bank Sentral membatasi pengambilan hanya 400 dollar setiap bulan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
BEIRUT, RABU — Protes warga Lebanon karena kemerosotan kondisi ekonomi terus berlanjut di sejumlah kota di seantero negeri. Kantor-kantor perbankan menjadi sasaran kemarahan warga.
Seorang demonstran, Fawwaz Samman (27), tewas tertembak peluru anggota militer. Nyawanya tidak dapat diselamatkan meski sudah mendapatkan perawatan di rumah sakit. Sementara puluhan warga yang terluka mendapat perawatan dari petugas kesehatan. Di pihak militer, puluhan anggota militer juga mengalami luka-luka akibat bentrokan dengan massa pendemo.
Protes warga ini adalah lanjutan dari protes yang secara bergelombang terjadi di sejumlah kota di Lebanon. Bentrokan terjadi di beberapa titik di Tripoli, kota terbesar kedua di negara itu setelah waktu berbuka puasa. Para pengunjuk rasa membakar bagian depan bangunan fasad kantor perbankan yang mereka temui serta membakar mesin anjungan tunai mandiri (ATM).
Sementara di Beirut, Ibu Kota Lebanon, pengunjuk rasa yang berkumpul di depan kantor Bank Sentral Lebanon bentrok dengan aparat militer dan kepolisian. Bentrokan terjadi setelah para pendemo mulai melemparkan batu ke arah kantor Bank Sentral, yang diyakini rakyat Lebanon menjadi sumber kemerosotan ekonomi mereka.
Di wilayah lain, para pengunjuk rasa memblokade jalan-jalan utama, termasuk jalan raya yang menghubungkan Beirut dengan Lebanon selatan. Di Kota Sidon bagian selatan, para pengunjuk rasa meneriakkan yel-yel ”revolusi” sambil melemparkan bom bensin ke dalam sebuah kantor bank dan membakar bagian luarnya.
Perdana Menteri Hassan Diab mendesak warga untuk menahan diri dari segala bentuk kekerasan. Dia juga menyatakan, protes dan demonstrasi warga yang berujung pada tindakan anarkis membuat stabilitas politik dan ekonomi negara itu semakin terguncang. Dia juga menuding ada pihak-pihak yang bermain di balik layar dan memanfaatkan kekacauan situasi politik dan perekonomian negara itu.
”Kita berhadapan dengan kenyataan yang baru bahwa negara ini tengah menghadapi krisis sosial dan kehidupan dengan sangat cepat. Apalagi dengan nilai tukar dollar Amerika Serikat yang sangat tinggi di pasar gelap,” kata Diab. Namun, Diab tidak menjelaskan langkah-langkah yang akan ditempuh pemerintah untuk menghindari krisis yang semakin mendalam.
Krisis keuangan
Pergantian kekuasaan dari Saad Hariri, yang mundur pada Oktober 2019, kepada perdana menteri yang baru, Hassan Diab, tidak serta-merta mengakhiri krisis yang dihadapi warga Lebanon. Krisis politik tidak serta-merta mengakhiri krisis ekonomi.
Memburuknya situasi ekonomi salah satunya dipicu oleh semakin melemahnya nilai tukar mata uang Lebanon, pound atau lira Lebanon, atas dollar AS. Ketetapan Bank Sentral Lebanon yang mematok nilai tukar satu dollar AS tidak lebih dari 3.200 pound tidak berhasil. Di pasar gelap, satu dollar AS dijual dengan harga 4.000 pound. Bahkan, ada yang menjualnya dengan harga 4.200 atau melemah sekitar 200 pound dibandingkan nilai tukar sehari sebelumya.
”Orang-orang telah kehilangan daya beli mereka dan negara tidak memiliki rencana untuk melakukan apa pun. Bank ditutup dan tidak memberikan uang kepada orang. Saya pikir pemerintah ini harus mengundurkan diri,” kata warga Tripoli, Fahed Moukaddem, yang berprofesi sebagai pengacara.
Abou Hussein, aktivis asal Tripoli, mengatakan, demonstrasi yang dilakukan adalah ekspresi kemarahan rakyat melihat nilai mata uang pound terus tergerus hingga mencapai 4.000 pound per satu dollar AS. ”Bagaimana orang bisa makan? Apalagi mereka tengah menghadapi bulan suci Ramadhan,” kata Hussein.
Krisis ekonomi dan merosotnya nilai tukar mata uang pound tidak terlepas dari kebijakan Bank Sentral Lebanon pada November 2019 yang menerapkan pembatasan penarikan simpanan atau tabungan oleh warga. Aturan tersebut membatasi warga pemilik rekening hanya bisa mengambil simpanannya senilai 400 dollar AS setiap bulan. Namun, di dalam pelaksanaannya, dikutip dari kantor berita Al Jazeera, perbankan menetapkan batasan penarikan disesuaikan dengan jumlah nominal yang dimiliki setiap pemegang akun.
Pembatasan itu sendiri terjadi karena pemerintah membutuhkan cadangan dana dalam bentuk dollar AS untuk mencicil pembayaran utang luar negeri senilai lebih dari 30 miliar dollar AS. Pada awal Maret, Pemerintah Lebanon harus membayar utang yang jatuh tempo senilai 1,2 miliar dollar AS dalam bentuk mata uang asing, yakni dollar AS. Untuk menambah pemasukan negara, Pemerintah Lebanon pun sempat berencana mengutip pajak atas penggunaan media sosial, salah satunya aplikasi Whatssapp. Rencana itu ditolak warga.
Perdana Menteri Diab, dikutip dari The New York Times, mengatakan, pemerintah akan mencoba mendapatkan keringanan dari negara-negara kreditor dalam bentuk penjadwalan kembali pembarayan utang karena sudah dipastikan kas negara tidak memiliki cukup dana untuk membayarnya. Diab memilih menggunakan dana yang ada di bank sentral untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat Lebanon dibandingkan untuk membayar utang.
Pemerintahan Diab belum mendapatkan kepastian soal penjadwalan pembayaran utang dari negara-negara kreditor. Namun, Menteri Luar Negeri Perancis Jean-Yves Le Drian menyatakan, Pemerintah Perancis bersedia membantu Pemerintah Lebanon untuk mengadakan pertemuan guna membahas kemungkinan pemberian dukungan bagi rakyat Lebanon. (AP/Reuters)