India Diusulkan Masuk ”Daftar Hitam” Negara Tidak Toleran
Sejak tahun 2019, pemerintahan Perdana Menteri India Narendra Modi dinilai semakin tidak melindungi pemeluk agama minoritas yang sering mengalami kekerasan oleh mayoritas.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
AP PHOTO/MANISH SWARUP
Perdana Menteri India Narendra Modi
NEW YORK, RABU —Komite Kebebasan Beragama Internasional Amerika Serikat mendesak Kementerian Luar Negeri AS memasukkan India ke dalam ”daftar hitam” negara yang tidak toleran. India dinilai tidak melindungi kebebasan beragama dan beribadah bagi pengikut agama minoritas.
Sejak tahun 2019, pemerintahan Perdana Menteri India Narendra Modi dinilai semakin tidak melindungi pemeluk agama minoritas yang sering mengalami kekerasan oleh mayoritas.
Rekomendasi laporan tahunan dari komite yang dibentuk pada tahun 1998 oleh Kongres AS itu dipublikasikan Selasa (27/4/2020) waktu setempat di New York, AS. Panel komite tersebut juga merekomendasikan, jika India tidak memperbaiki keadaan buruk tersebut, sebaiknya harus ada sanksi yang diberikan.
Komite bipartisan ini tidak mengeluarkan kebijakan apa pun, hanya dapat merekomendasikan. Kemlu AS juga bisa jadi tidak mengikuti rekomendasi ini mengingat India termasuk negara sekutu AS yang dekat.
Komite itu juga meminta Washington memberikan langkah-langkah hukum seperti larangan visa kepada para pejabat India yang terbukti mendukung dan membiayai kelompok-kelompok masyarakat sipil yang memantau ujaran kebencian.
REUTERS/ADNAN ABIDI
Buruh migran di India berebut naik bus yang telah penuh sesak di Ghaziabad, pinggiran New Delhi, Minggu (29/3/2020). Mereka hendak pulang ke desa masing-masing karena pemerintah menerapkan kebijakan penutupan wilayah.
Pemerintahan nasionalis Modi yang menang pemilu tahun lalu disebutkan membiarkan kekerasan terhadap kelompok minoritas, tidak melindungi rumah ibadah kaum minoritas, dan pelakunya tidak dihukum.
Selain itu, Pemerintah India dinilai ikut menoleransi ujaran kebencian dan hasutan untuk melakukan kekerasan.
Penilaian komite ini terkait dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri India Amit Shah yang menyebut agama minoritas tertentu dengan ”rayap” yang kemudian memicu protes besar-besaran.
Masalah lain yang disoroti adalah pencabutan otonomi wilayah Kashmir yang merupakan negara bagian yang mayoritas penduduknya Muslim di India.
Seorang lelaki tua Kashmir bersama cucunya berjalan ketika tentara paramiliter India berjaga di dekat kawat berduri yang dipasang sebagai blokade jalan saat terjadi pemogokan di kota Srinagar, Kashmir, India, Minggu (9/2/2020).
Ada pula insiden kepolisian Delhi yang membiarkan segerombolan orang yang menyerang kompleks permukiman minoritas agama tertentu, Februari 2020.
Pemerintah India segera menyangkal semua isi laporan komite itu. Juru bicara Kementerian Luar Negeri India, Anurag Srivastava, mengatakan, laporan itu bias dan tendensius seperti laporan tahun-tahun sebelumnya. ”Laporan itu semuanya keliru,” ujar Srivastava.
Daftar hitam
Komite menyarankan agar India dimasukkan dalam ”daftar hitam” negara yang tidak toleran dan menoleransi kekerasan terhadap agama minoritas. Selain itu, komite juga merekomendasikan agar Nigeria, Rusia, Suriah, dan Vietnam dimasukkan dalam ”daftar hitam” serupa.
Di Kementerian Luar Negeri AS sudah ada sembilan negara yang masuk ”daftar hitam”. Kesembilan negara yang membutuhkan perhatian khusus terkait kebebasan beragama itu adalah China, Eritrea, Iran, Myanmar, Korea Utara, Pakistan, Arab Saudi, Tajikistan, dan Turkmenistan.
Pakistan yang merupakan rival lama India akhirnya dimasukkan ke daftar itu pada 2018 oleh Kemlu AS juga atas rekomendasi komite itu. Dalam laporan sebelumnya, komite itu menyatakan Pakistan tidak juga berubah.
Komite AS tersebut menyuarakan kekhawatiran pada upaya-upaya mengubah paksa agama dan kepercayaan kelompok minoritas menjadi pemeluk agama mayoritas di India. Juga ada penyalahgunaan tuntutan penistaan agama dan larangan terhadap aliran Ahmadi yang menyebut diri Muslim.
UU kewarganegaraan
Salah satu kebijakan Pemerintah India yang disoroti adalah pemberlakuan undang-undang kewarganegaraan India yang mempercepat proses naturalisasi bagi kelompok minoritas yang datang dari negara-negara tetangga.
Namun, kemudahan itu tidak akan diberikan jika ternyata mereka penganut agama minoritas tertentu. Pemerintahan Modi menegaskan undang-undang itu tidak menyasar kelompok agama minoritas, tetapi justru memberikan perlindungan kepada orang-orang yang teraniaya.
Langkah Modi dinilai sebagai upaya mendefinisikan negara demokrasi terbesar di dunia itu sebagai negara berbasiskan agama mayoritas, yakni Hindu. Namun, langkah itu justru membuyarkan prinsip sekularisme yang dibangun para pendiri India.
Ketua Komite Kebebasan Beragama Internasional AS Tony Perkins menilai UU kewarganegaraan itu merupakan titik kritis India, sambil mengkhawatirkan soal pendaftaran di Negara Bagian Assam.
AP PHOTO/MANISH SWARUP
Umat Islam menjalankan shalat Jumat di Jama Maszid, New Delhi, India, 9 Agustus 2019. Islam merupakan salah satu agama minoritas di India.
Di Assam ada 1,9 juta orang yang tak dapat menunjukkan dokumen yang membuktikan mereka warga India sebelum 1971. Sebelum tahun itu, banyak migran Muslim masuk, yakni selama perang kemerdekaan Bangladesh.
”Ini jelas masalah internasional karena akan ada, misalnya, 100 juta orang, mayoritas Muslim, yang tidak memiliki negara hanya karena agama mereka,” kata Perkins. (AFP/AP)