Negara-negara berpenghasilan rendah, seperti di Afrika, mengalami dampak pandemi Covid-19 yang besar. Selain beban kesehatan, mereka juga menghadapi ancaman kehancuran ekonomi dan utang yang besar.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
KAMPALA, RABU — Para pemimpin di Afrika meminta China melakukan sesuatu untuk membantu mereka menyusul pandemi Covid-19 yang mengancam perekonomian dan menciptakan 20 juta pengangguran di seluruh Afrika, Rabu (29/4/2020). Selama ini China merupakan mitra dagang terbesar sekaligus kredior negara-negara Afrika.
Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) telah mengumumkan langkah-langkah bantuan ekonomi, termasuk membebaskan miliaran pembayaran utang dan berharap China juga melakukan hal serupa. Namun, Beijing tetap diam tak merespons.
China memiliki sepertiga piutang asing negara-negara Afrika. Pinjaman dari China yang umumnya dipakai untuk proyek pembangunan jalan hingga bendungan hidroelektrik telah membebani negara-negara Afrika sehingga muncul kekhawatiran ini akan menjadi jebakan utang dan bahkan hilangnya kedaulatan.
Banyak negara Afrika, termasuk eksportir minyak, seperti Angola, menghabiskan sebagian besar anggarannya untuk membayar utang sementara sektor kesehatan dan pendidikannya menderita.
Setiap jeda pembayaran apa pun akan disambut baik oleh negara, seperti Uganda yang menteri keuangannya mengatakan ”defisit mengejutkan” tahun lalu memaksa otoritas untuk meminjam uang agar pemerintahan tetap berjalan. Uganda memiliki utang sebesar lebih dari 10 miliar dollar AS tahun 2018 yang hampir sepertiganya utang kepada China.
”Kami memiliki hubungan bilateral yang kuat dengan China, tetapi mereka belum berkata apa pun,” kata Menteri Keuangan Uganda Matia Kasaija.
Di luar dukungannya sebagai anggota G-20, China tidak berkomitmen terhadap moratorium pembayaran utang hingga 20 miliar dollar AS bagi negara berpenghasilan rendah.
Sejumlah analis memperkirakan bahwa pengampunan utang sepertinya tidak akan diberikan dan China—di luar pengaruhnya yang besar di Afrika—akan menghindari tindakan sepihak walaupun ada tekanan global.
Menteri Keuangan Ghana Ken Ofori-Atta mengatakan, dirinya berharap lebih kepada Beijing. ”Perasaan saya, China harus lebih kuat,” ujarnya di hadapan Center for Global Development yang berbasis di Washington, AS. ”Saya pikir utang Afrika kepada China lebih dari 145 miliar dollar AS, sebanyak 8 miliar dollar AS di antaranya harus dibayar tahun ini. Jadi itu harus diperhatikan. Ini adalah momen kehancuran.”
Ditanya apakah China akan memberikan keringanan utang kepada Afrika, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian, Selasa (7/4/2020), mengatakan, dirinya percaya ”China akan menyelesaikan kesulitan negara-negara ini melalui konsultasi diplomatis.”
Dalam pernyataannya yang dikirim kepada kantor berita AP, Kementerian Luar Negeri China menyatakan, China telah ”mengatasi kesulitan” negara Afrika dengan mengirim peralatan medis yang diperlukan untuk melawan pandemi Covid-19. ”China akan tetap memberikan bantuan kepada Afrika dalam kemampuannya dan sesuai dengan perkembangan pandemi dan kebutuhan Afrika,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri China.
Jejak China di Benua Afrika kian luas sejalan dengan sejumlah pemimpin Afrika yang berpaling ke Beijing karena tidak ada syarat-syarat politik dalam pinjamannya. Sementara negara kreditor lain ragu untuk memberikan pinjaman kepada pemerintahan yang dinilai korup dan bermasalah.
Sebagai imbalannya, China tertarik mengeksploitasi sumber daya alam Afrika yang kaya di negara-negara yang dilanda perang, seperti Sudan Selatan, di mana perusahaan China mendominasi sektor perminyakan.
Angola telah menerima pinjaman hingga 42,8 miliar dollar AS dari China tahun 2017 dan membayarnya sebagian dengan menjual mayoritas minyak mentahnya ke China. Ini artinya Angola sebagai negara produsen minyak kedua terbesar di Afrika hanya memiliki sisa minyak mentah lebih sedikit untuk dijual ke pasar.
Menurut China Africa Research Initiative pada Johns Hopkins University, Pemerintah China, perbankan, dan kontraktor China memberikan pinjaman 143 miliar dollar AS ke negara-negara Afrika pada periode 2000 sampai 2017.
Akan tetapi, China yang memfokuskan perdagangan di benua itu, menurut para analis, tidak akan membuat Beijing hadir dengan pengampunan utang atau bantuan. Menurut analis Afrika dari the Economist Intelligence Unit Nathan Hayes, negara-negara yang meminta bantuan China agar proyek-proyeknya tetap berjalan akan berakhir dengan banyak utang.
”Banyak proyek yang dibiayai dengan utang akan berada di bawah tekanan besar tahun ini seiring dengan anjloknya pendapatan dan banyak juga yang perlu didanai kembali dan direnegosiasi. Banyak proyek, seperti ini yang didanai oleh China, memberikan negara itu untuk menegosiasikan sejumlah syarat,” ujar Hayes. (AP)