Laboratorium Wuhan di Tengah Pusaran Kontroversi Asal Virus Korona
Polemik asal virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 yang tak jelas memicu munculnya teori konspirasi yang menyeret laboratorium di Wuhan ke pusaran kontroversi. Pada situasi ini, hasil-hasil studi ilmiah harus menjadi acuan.
Empat bulan sudah virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 menginfeksi warga dunia. Hingga Minggu (26/4/2020), hampir tiga juta orang di seluruh dunia terinfeksi dan lebih dari 200.000 orang di antaranya meninggal. Namun, ada satu dari sekian banyak pertanyaan yang belum terjawab dengan jelas: dari mana virus ini berasal?
Pada Sabtu (18/4/2020), laman livescience.com melaporkan, sejumlah pakar menyatakan bahwa kita mungkin tidak pernah tahu secara pasti dari mana asal virus korona baru ini. Namun, ada beberapa teori yang bermuara pada dua hal saling bertaut. Pertama, apakah virus ini alami atau hasil rekayasa. Kedua, apakah virus ini sengaja dilepaskan ke lingkungan, tidak sengaja lepas, atau memang bersirkulasi secara alami.
Berdasarkan bukti-bukti yang ada saat ini, para ilmuwan meyakini bahwa SARS-CoV-2 berasal dari kelelawar sebagai reservoir, kemudian berpindah ke satwa perantara sebelum akhirnya berpindah ke manusia. Sejumlah hewan, salah satunya trenggiling, disebut-sebut menjadi hewan perantara berpindahnya virus SARS-CoV-2.
Pada Selasa (21/4/2020), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menyatakan semua bukti yang ada saat ini memperlihatkan bahwa virus SARS-CoV-2 berasal dari hewan di China dan bukan merupakan hasil rekayasa atau diproduksi di laboratorium.
Baca juga : Cerita Kelelawar dan Virus Korona
”Semua bukti menunjukkan virus itu berasal dari hewan dan tidak dimanipulasi atau dibuat di laboratorium mana pun,” kata Fadela Chaib, juru bicara WHO. ”Kemungkinan besar virus ini berasal dari hewan.”
Chaib menambahkan, tidak jelas bagaimana virus ini bisa berpindah ke manusia. Namun, kemungkinan ada inang perantara sebelum berpindah ke manusia. ”Kemungkinan besar virus ini berasal dari kelelawar, tetapi bagaimana virus ini bisa berpindah ke manusia masih perlu diteliti.”
Baca juga : Dunia Waspada Hadapi Virus Korona Tipe Baru
Secara genetika, karakter virus SARS-CoV-2 paling dekat dengan virus korona yang ditemukan di populasi kelelawar tapal kuda yang hidup di Provinsi Yunnan, sekitar 1.600 kilometer dari Wuhan. Apabila kelelawar tapal kuda yang jadi sumbernya, lalu bagaimana virus ini berpindah dari reservoir alaminya di daerah subtropis ke manusia di kota industri Wuhan yang ramai, berjarak ribuan kilometer jauhnya?
Teori konspirasi
Pertanyaan itu, bagi sebagian kalangan, kemudian memicu spekulasi teori konspirasi bahwa SARS-CoV-2 merupakan virus hasil rekayasa yang sengaja dilepaskan atau tidak sengaja lepas. Spekulasi ini menempatkan fasilitas laboratorium milik Institut Virologi Wuhan (WIV) di bawah sorotan.
Presiden AS Donald Trump mengatakan AS sedang mencari tahu dari mana asal virus korona baru: apakah dari laboratorium WIV atau bukan. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menyebut Beijing ”perlu terus terang” tentang semua ini.
Rabu (15/4/2020), Fox News melaporkan bahwa virus ini berasal dari laboratorium Wuhan, bukan sebagai senjata biologis, tetapi sebagai bagian dari usaha China menunjukkan kemampuannya mengidentifikasi dan memerangi virus setara atau lebih besar dibandingkan dengan AS.
Laporan tersebut hanya salah satu dari beberapa laporan yang menyatakan laboratorium WIV di Wuhan kurang memiliki standar keamanan sehingga membuat seseorang di sana terinfeksi. Orang itu kemudian ke pergi ke pasar ”basah” di mana virus tersebut kemudian menyebar.
Komunitas ilmuwan berpendapat, banyak bukti yang mengindikasikan virus SARS-CoV-2 merupakan virus yang muncul secara alami dari satwa liar, seperti kelelawar, bukan hasil rekayasa manusia.
Pada Sabtu (18/4/2020), kepada televisi CGTN, Wakil Direktur WIV Zhiming Yuan menyangkal dengan keras bahwa virus korona baru berasal dari laboratoriumnya. ”Tak mungkin virus ini berasal dari kami. Kami memiliki aturan dan kode etik penelitian yang ketat, jadi kami yakin,” ujarnya.
Komunitas ilmuwan juga berpendapat, banyak bukti yang mengindikasikan virus SARS-CoV-2 merupakan virus yang muncul secara alami dari satwa liar, seperti kelelawar, bukan hasil rekayasa manusia.
Dalam jurnal Nature Medicine, 17 Maret 2020, Kristian Andersen, Associate Professor Imunologi dan Mikrobiologi di Scripps Research, dan sejawatnya menganalisis sekuens genom SARS-CoV-2 dan virus korona di hewan. Mereka menemukan bahwa bagian penting virus ini, yakni protein di bagian luarnya yang dipakai untuk menempel di reseptor ACE2 di tubuh manusia, hampir pasti muncul alamiah, bukan bikinan di laboratorium.
”Analisis urutan genom virus korona dari pasien dan dari beberapa hewan memperlihatkan virus ini kemungkinan muncul di inang hewan, lalu mungkin mengalami perubahan saat berpindah dan bersirkulasi di manusia,” tutur Adam Lauring, Associate Professor Mikrobiologi, Imunologi, dan Penyakit Menular di University of Michigan Medical School.
Ambisi China
Han Xia, Associate Professor pada WIV, dalam sebuah jurnal yang diterbitkan di laman Pusat Pencegahan dan Pengawasan Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention) yang terbit pada Mei 2019, menjelaskan, pembangunan laboratorium WIV tidak terlepas dari berkembangnya SARS di China tahun 2002.
Dalam tulisan di jurnal tersebut, Han mengatakan, selain untuk mempersiapkan dan mencegah penyebaran penyakit menular di masa depan, laboratorium WIV juga diharapkan bisa mengembangkan obat dan vaksin untuk berbagai penyakit menular yang mungkin berkembang di masa depan.
Pada tahun 2015, WIV menjadi laboratorium pertama di China yang mencapai tingkat keamanan biologis level 4 (biosafety level 4/BSL-4). Sudah ada dua laboratorium BSL-4 di Taiwan, tetapi laboratorium di Wuhan merupakan BSL-4 pertama di China daratan. Artinya, laboratorium ini bisa melakukan penelitian patogen paling berbahaya di dunia, seperti virus Ebola dan Marburg.
Laboratorium seperti ini harus menerapkan standar keselamatan yang ketat, termasuk penyaringan udara, pengolahan air dan limbah sebelum dibuang. Setiap personel yang masuk dan keluar dari laboratorium harus mandi dan mengganti pakaian mereka.
Meski memiliki standar keamanan yang tinggi, laboratorium di Wuhan tetap saja terseret dalam teori konspirasi. Terlebih pada tahun 2018, setelah diplomat ilmuwan dari Kedutaan Besar AS di Beijing mengunjungi WIV, mereka khawatir akan kurangnya keselamatan dan manajemen di laboratorium WIV.
Salah satu kawat diplomatik yang didapatkan koran AS, The Washington Post, menyebutkan bahwa aktivitas laboratorium WIV dengan virus korona dari kelelawar yang berpotensi menular ke manusia berpotensi menyebabkan pandemi, seperti sindrom pernapasan akut parah (SARS).
”Selama berinteraksi dengan para ilmuwan di laboratorium WIV, mereka menyebutkan bahwa fasilitas itu kekurangan teknisi dan peneliti yang terlatih untuk mengoperasikan laboratorium itu dengan aman,” tulis kawat diplomatik tertanggal 19 Januari 2018 itu.
Baca juga : WHO: Tak Satu Pun Negara Bebas dari Ancaman Wabah Covid-19
Ketika penyakit serupa pneumonia di China pertama kali dilaporkan, Wakil Penasihat Keamanan Nasional AS Matthew Pottinger melaporkan dugaan keterkaitan penyakit ini dengan laboratorium-laboratorium di China. Pada pertengahan Januari 2020, menurut laporan The New York Times, Pottinger meminta Badan Pusat Intelijen AS (CIA), khususnya agen yang memiliki pengetahuan tentang Asia dan keahlian tentang senjata pemusnah massal, menyelidiki dugaan itu. Namun, mereka tak menemukan bukti apa-apa.
Belakangan, Selasa (14/4/2020), Kepala Staf Angkatan Bersenjata AS Jenderal Mark Milley juga menyatakan informasi intelijen mengindikasikan bahwa virus korona baru kemungkinan muncul secara alami.
Terlepas dari teori konspirasi yang menyeretnya, sejak lama laboratorium WIV justru menjadi pihak yang memberikan peringatan akan potensi bahaya dari virus korona. Kepala penelitian virus korona pada laboratorium WIV, Shi Zhengli, memublikasikan hasil penelusuran virus korona penyebab SARS tahun 2003 yang membawanya pada populasi kelelawar tapal kuda di sebuah goa terpencil di Provinsi Yunnan.
Baca juga : Shi Zhengli, ”Perempuan Kelelawar” Penyibak Misteri Virus Korona di Wuhan
Para ilmuwan yang terlibat dalam penelitian itu memberikan peringatan bahwa jenis virus korona lainnya yang ditemukan di goa tersebut menggunakan reseptor yang sama dengan virus koroba penyebab SARS untuk menginfeksi sel manusia dan bisa ”bereplikasi dengan efisien di sel-sel sistem pernapasan manusia”.
Para peneliti di laboratorium WIV bersama dengan peneliti dari AS dan Swiss pada tahun 2015 juga memperlihatkan kemampuan virus korona dari kelelawar dalam penetrasi sel tubuh manusia. Hasil penelitian ini dipublikasikan di jurnal Nature Medicine.
Oleh karena itu, Zhengli dan sejawatnya justru menekankan pentingnya melakukan surveilans dan penelitian virus korona untuk mencegah pandemi muncul.
(REUTERS)