Covid-19 Jangan Dijadikan Isu Politik, Dunia Butuh Kerja Sama Internasional
Pandemi Covid-19 tidak mengenal batas wilayah. Perang melawan virus korona baru ini adalah perang global. Oleh karena itu, semua negara perlu terus bekerja sama meningkatkan kapasitas respons melawan wabah penyakit.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, JUMAT — Dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang tak mengenal batas wilayah, negara-negara di dunia perlu terus meningkatkan kerja sama internasional dalam bidang kesehatan dan tidak menjadikan isu ini sebagai komoditas politik.
Hal itu ditegaskan Presiden Shanghai Institute for International Studies, Profesor Chen Dongxiao, dalam seminar secara daring yang digelar oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, Jumat (24/4/2020). Selain Chen, Direktur Departemen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Shanghai Municipal Center for Disease Control and Prevention Pan Hao juga hadir sebagai narasumber.
Chen menggarisbawahi beberapa hal dari pandemi Covid-19 yang melanda dunia saat ini. Pertama, solidaritas dan kerja sama internasional dalam menghadapi pandemi tidak tergantikan. Meski wabah penyakit datang silih berganti melanda dunia, dua hal itu mutlak diperlukan untuk membangun dunia yang lebih siap menghadapi wabah.
Kedua, pengalaman dan respons China menghadapi Covid-19 menjadi pelajaran berharga bagi dunia. Chen menyadari bahwa setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda. Pengalaman China yang menerapkan kebijakan penutupan wilayah yang ketat tak bisa begitu saja diterapkan di negara lain tanpa menyesuaikan dengan kondisi khas setempat.
Akan tetapi, pencegahan, deteksi dini, dan perawatan segera bagi mereka yang dinyatakan positif yang sudah dilakukan China bisa menjadi pelajaran yang dapat diterapkan oleh negara-negara di dunia. Kerja sama antarnegara dalam ilmu pengetahuan, termasuk ilmu kesehatan, juga perlu dipererat sebagai media untuk berbagi pengalaman dan memperkuat kapasitas sistem kesehatan.
Ketiga, kondisi sistem kesehatan negara-negara di dunia yang kewalahan menghadapi pandemi menjadi bukti bahwa dunia tidak siap. Untuk itu, mulai sekarang penting untuk membangun kapasitas tata kelola kesehatan global yang mampu merespons pandemi dengan lebih baik.
Sementara itu, Pan Hao menyampaikan, sebelum Maret, kasus Covid-19 yang muncul di Shanghai merupakan kasus penularan lokal. Adapun setelah Maret kasus didominasi oleh kasus impor. ”Jumlah kasus mencapai puncaknya pada 27 Januari. Setelah itu menurun. Pada 3 Maret 2020 kasus impor pertama muncul,” katanya.
Ketika kasus pneumonia dilaporkan pertama kali di Wuhan, Provinsi Hubei, 31 Desember 2019, otoritas kesehatan di Shanghai langsung melakukan penilaian risiko dan rekomendasi respons kepada pemerintah provinsi. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan investigasi epidemiologi di lapangan untuk mendeteksi kasus.
”Dalam manajemen kasus kami menerapkan deteksi dini, laporan cepat, isolasi dini, dan perawatan dini,” kata Pan.
Terkait kasus impor, ujar Pan, Shanghai melakukan manajemen dan penapisan kasus yang berlapis. Shanghai menerapkan enam hal, yaitu memeriksa penumpang yang mendarat, memeriksa kondisi tubuh penumpang, memeriksa suhu penumpang, menginvestigasi riwayat perjalanan, pemeriksaan PCR, dan karantina 14 hari. Keenam langkah itu harus dilakukan 100 persen agar tidak ada satu pun yang terlewat.
Selama kebijakan karantina diterapkan, Pemerintah Shanghai menggunakan aplikasi dan mahadata untuk terus memperbarui status kesehatan setiap orang. Penggunaan teknologi informasi ini memudahkan pemerintah untuk memantau daerah mana yang paling terinfeksi serta mempercepat respons dan pelacakan kasus.
Chen mengakui, dampak dari pandemi Covid-19 ternyata lebih besar dari yang diperkirakan oleh Pemerintah China. Penyakit ini begitu cepat menyebar dan dalam tiga bulan saja sudah 100 lebih negara yang melaporkan kasus Covid-19.
Alhasil, Covid-19 telah memberikan pukulan dobel kepada China, yaitu dari sisi kesehatan dan ekonomi. Analis yang disurvei oleh kantor berita Reuters memperkirakan, Produk Domestik Bruto (PDB) China menyusut 6,5 persen para trisemester pertama 2020 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Ini akan membalikkan pertumbuhan 6 persen yang dicapai pada kuartal sebelumnya dan menandai penurunan pertama sejak setidaknya tahun 1992.
Akan tetapi, ujar Chen, China tidak meremehkan kemampuan perekonomian dalam negerinya untuk bisa bertahan, bahkan bangkit kembali. Di tengah rantai pasok global yang terganggu dan meningkatnya pemakaian koneksi data seiring dengan mayoritas penduduk tinggal di rumah, beberapa grup bisnis China justru diperkirakan meraup keuntungan, seperti yang dialami Ali Baba dan Tencent.