Sakit dan Telantar, Nasib Pekerja Migran di Teluk Saat Pandemi
Bagi negara-negara Teluk, pandemi Covid-19 memberikan pukulan ganda sekaligus telak, yaitu penyebaran Covid-19 dan anjloknya harga minyak. Kondisi itu menekan para pekerja migran di kawasan tersebut.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
EMIRATES AIRLINES / AFP
Foto dari maskapai penerbangan Emirates, Sabtu (8/3/2020), di Dubai, Uni Emirat Arab, ini memperlihatkan pegawai maskapai tersebut membersihkan layar televisi di kursi penumpang pesawat A380-800 dengan disinfektan untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Bukan rahasia jika negara-negara di kawasan Teluk Persia yang kaya minyak bergantung kepada tenaga kerja murah asing, mayoritas berasal dari India, Pakistan, Nepal, dan Sri Lanka. Banyak dari mereka tinggal di kamp-kamp kumuh, jauh dari gedung pencakar langit dan mal yang mencolok di negara itu. Saat ini, kala pandemi Covid-19 terjadi, nasib mereka mengenaskan.
Ketika penghuni asrama tempatnya tinggal—sembilan orang di luar dirinya—dinyatakan positif terinfeksi Covid-19, Nurudhin (27) harus pindah ke sebuah kamp karantina kecil di sudut kota Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Juru gambar asal India itu sebelumnya sempat dirawat di sebuah rumah sakit. ”Tidak ada apa pun di kamar saya kecuali tempat tidur kecil. Saya harus berbagi kamar mandi dengan 20 hingga 30 orang,” katanya. ”Tidak ada Wi-Fi. Bahkan, televisi pun tidak. Situasi di kamar saya bahkan lebih buruk.”
Pandemi Covid-19 menjadi pukulan ganda sekaligus telak, beriringan dengan anjloknya harga minyak, bagi negara-negara Teluk. Kondisi itu semakin menekan para pekerja yang tinggal di asrama-asrama pekerja migran. Posisi mereka yang selama ini pun sudah rentan, semakin memprihatinkan.
Meskipun diberlakukan jam malam yang ketat selama berminggu-minggu, negara-negara Teluk dengan populasi pekerja asing terbesar—Arab Saudi, UEA, Kuwait, dan Qatar—masih melaporkan peningkatan jumlah kasus Covid-19. Riyadh bahkan mengatakan, dari kasus-kasus positif baru Covid-19, sebanyak 70-80 persen di antaranya menimpa warga asing. Penjagaan ketat terus dilakukan.
REUTERS/AHMED YOSRI
Seorang pria mengumandangkan azan di Masjid Al-Rajhi yang kosong ketika masjid itu tidak lagi menggelar shalat Jumat sebagai bagian dari upaya pencegahan persebaran Covid-19 di Riyadh, Arab Saudi, 20 Maret 2020.
Jutaan pekerja migran menghadapi ketidakpastian atas masa depan mereka. Mereka dihadapkan pada pilihan sulit, bahkan terancam mati di perantauan atau pulang kampung dalam kerentanan ekonomi. ”Saya ingin kembali ke negara saya. Saya tidak punya uang dan saya tidak ingin menghabiskan lebih banyak waktu di sini,” kata seorang pria Mesir di kota Kuwait yang ditahan di sebuah kamp karena pelanggaran imigrasi.
Untuk mencoba mengurangi penularan, pemerintah-pemerintah di Teluk telah memindahkan pekerja dari kamp mereka tinggal ke tempat penampungan sementara. Langkah itu diambil sembari mendirikan pusat pemeriksaan awal secara massal. Pesawat nirawak juga dikerahkan di beberapa kawasan kecil untuk memperingatkan orang-orang agar tidak berkumpul.
Pada 20 April, sekitar 22.900 orang asing telah dipulangkan dengan 127 penerbangan.
UEA telah menjadi yang paling vokal di antara negara-negara Teluk agar pemerintah negara asal memulangkan para pekerja. Banyak pekerja asing itu telah diberhentikan atau tidak dibayar karena bisnis berhenti dan harga minyak anjlok.
Tanggapan berbeda
India, yang memiliki 3,2 juta warga di UEA, menolak untuk bekerja sama. Pemerintah India mengatakan bahwa memulangkan dan mengarantina jutaan warga yang kembali akan menjadi mimpi buruk secara logistik dan keselamatan India. Sebaliknya, Bangladesh dengan rasa enggan setuju untuk mengambil pulang kembali ribuan warganya.
Menurut Menteri Luar Negeri Bangladesh Abdul Momen, hal itu dilakukan untuk menghindari hukuman dari negara-negara Teluk di masa depan. ”Jika kita tidak membawa mereka pulang, mereka tidak akan merekrut orang-orang dari kita begitu situasi mereka membaik,” ujarnya. Ia menambahkan, ribuan pekerja tak berdokumen dan ratusan tahanan telah diterbangkan kembali ke Bangladesh.
Pakistan telah mengizinkan repatriasi untuk dilanjutkan. Namun, pemerintah negara itu sekaligus memperingatkan bahwa hal tersebut terhalang oleh kurangnya fasilitas pengujian dan karantina di bandara-bandara. Para diplomatnya di Dubai mengimbau warga Pakistan untuk tidak pergi ke konsulat setelah sejumlah besar warga—yang sangat ingin kembali ke rumah—berkumpul meminta dipulangkan dengan penerbangan khusus.
”Kami khawatir tentang saudara-saudara kami di Teluk. Pembatasan wilayah dan penutupan bisnis sehari-hari di Teluk telah membuat banyak warga Pakistan di luar negeri tanpa mata pencarian,” kata Menlu Pakistan Shah Mehmood Qureshi.
REUTERS/AHMED YOSRI/FILE PHOTO
Suasana lengang di sebuah kawasan di Riyadh, Arab Saudi, saat penutupan wilayah diberlakukan selama 24 jam pada 7 April 2020.
Javed Paresh, seorang pekerja konstruksi di UEA, termasuk di antara puluhan ribu warga Pakistan yang telah mendaftar untuk pulang. ”Saya belum dibayar selama enam bulan terakhir. Saya hanya ingin pulang dan melihat keluarga saya. Keluarga saya akan mati kelaparan karena saya tidak dapat mengirimi mereka uang selama berbulan-bulan,” katanya.
Seorang juru bicara Pemerintah UEA mengatakan berutang budi kepada para pekerja migran. UEA pun memberikan perawatan kesehatan, makanan, dan akomodasi. Selain itu, aturan pelonggaran keimigrasian bagi mereka dengan visa yang sudah kedaluwarsa pun diberlakukan.
Rothna Begum, seorang peneliti senior dari Human Rights Watch, mengatakan, pandemi telah mengakibatkan pekerja migran bekerja dalam kondisi yang makin rentan terhadap penyakit. Ia menilai upaya negara-negara Teluk untuk mengekang virus korona tipe baru itu menimbulkan lebih banyak kesulitan.
Banyak pekerja kekurangan makanan dan air. Diungkapkan, badan amal dan lembaga masyarakat sipil kewalahan untuk masuk ke negara-negara itu. ”Pekerja yang masih diharuskan bekerja ditempatkan di dalam bus di mana mereka tidak dapat menjaga jarak sosial dan dikirim ke lokasi di mana jarak sosial tidak dilakukan atau peralatan pelindung serta sanitasi tidak disediakan secara memadai,” katanya. (AFP)