Pandemi Covid-19 menjadi ujian berat sistem kesehatan di dunia. Setiap negara memiliki kapasitas sistem kesehatannya masing-masing dalam merespons Covid-19.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
MELBOURNE, RABU — Berbeda dari sejumlah negara, bagi banyak negara di Afrika dan Asia Selatan yang rentan, bukanlah ventilator yang dibutuhkan untuk merawat pasien Covid-19, tetapi justru oksigen.
Tak dapat dimungkiri, pandemi Covid-19 telah memberikan tekanan pada sistem kesehatan negara-negara di dunia hingga ke batas kapasitasnya. Dalam menangani pasien Covid-19, sering kali yang menjadi salah satu fokus pelayanan adalah ketersediaan ventilator untuk membantu pasien bernapas.
Namun, para ahli khawatir terjadi distorsi narasi tentang apa yang sebenarnya memberikan respons efektif pada pasien Covid-19, sehingga memberikan arah yang keliru pada negara yang sistem kesehatannya kurang baik.
”Realitasnya, oksigen merupakan satu-satunya terapi yang akan menyelamatkan nyawa di Afrika dan Asia Pasifik sekarang,” kata Hamish Graham, konsultan dokter anak sekaligus peneliti di Melbourne University Hospital dan International Center for Child Health, Rabu (22/4/2020). ”Saya khawatir fokus pada ventilator tanpa memperbaiki sistem oksigen akan membunuh.”
Oksigen medis adalah komponen inti yang harus dimiliki rumah sakit untuk menyelamatkan nyawa pasien Covid-19.
Satu studi atas ribuan kasus Covid-19 pada Februari 2020 menemukan bahwa hampir 20 persen pasien Covid-19 membutuhkan oksigen. Dari jumlah itu, 14 persen memerlukan beberapa bentuk terapi oksigen, sementara yang membutuhkan ventilator 5 persen.
Dalam kasus Covid-19 yang parah, virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 menyerang paru dalam bentuk pneumonia yang menyebabkan peradangan dan menghalangi paru menyerap oksigen.
Ini bisa membuat oksigen dalam darah turun drastis di bawah normal atau hipoksemia. Kondisi itu menyebabkan organ vital tidak mendapat pasokan oksigen yang cukup serta ”secara substansial” meningkatkan risiko kematian.
”Di rumah sakit di negara maju, kita tak perlu memikirkan oksigen,” kata Graham. ”Di tempat dengan sumber daya yang rendah, petugas medis sangat menyadari adanya tantangan di mana mereka harus berjuang mendapatkan oksigen untuk pasien setiap hari.”
Banyak rumah sakit besar di Sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan memiliki tabung oksigen di ruang operasi dan ruang perawatan. Namun, ujar Graham, survei di Afrika dan Asia Pasifik memperlihatkan bahwa kurang dari separuh rumah sakit memiliki oksigen di ruang perawatan, setiap saat. Bahkan, lebih sedikit lagi yang memiliki oksimeter denyut yang berfungsi untuk mengukur kadar oksigen dalam darah.
Sejak lama, pasokan oksigen telah menjadi ”peringatan” dari dokter spesialis yang merawat pasien pneumonia. Di Nigeria, pemerintah menetapkan kebijakan nasional untuk meningkatkan terapi pneumonia beberapa tahun lalu, tetapi itu tidak terasa sampai level regional.
Adamu Isah yang memimpin program pneumonia di Save the Children Nigeria mengatakan, baru-baru ini pihaknya menilai dua puskesmas di dua negara bagian menemukan bahwa suplai oksigen ”sangat sangat memprihatinkan”. Menurut Isah, anak yang ”menderita dan terengah-engah” menjadi pemandangan biasa.
”Jika tidak memiliki sistem oksigen, Anda tidak berdaya, tidak banyak yang bisa dilakukan.”
Vaksin
Dalam jangka pendek, ketersediaan oksigen medis mungkin menjadi persoalan di negara-negara Afrika dan Asia Selatan. Namun, dalam jangka panjang, dunia masih terus berupaya keras mengembangkan vaksin yang bisa mencegah infeksi Covid-19.
Jerman, misalnya, baru memberikan izin uji klinis calon vaksin RNA kepada perusahaan Jerman, Biontech, dan perusahaan farmasi Amerika Serikat, Pfizer. Calon vaksin ini merupakan calon keempat di seluruh dunia yang telah memasuki tahap uji klinis setelah calon vaksin yang dikembangkan di China dan AS sudah memulai tahapan uji klinis.
Paul Ehrlich Institut (PEI) yang memberikan persetujuan menyatakan, persetujuan tersebut merupakan ”hasil penilaian yang hati-hati terhadap potensi risiko dan manfaat calon vaksin”. Upaya itu, menurut Ehrlich, merupakan ”langkah signifikan” untuk mewujudkan vaksin ”segera tersedia”.
Selain itu, PEI juga menginformasikan bahwa dalam beberapa bulan ke depan akan ada lagi calon vaksin dari Jerman yang mulai masuk tahap uji klinis. (AFP)