Kekerasan di Rakhine Berlanjut, Mobil PBB Diserang
Kekerasan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar tidak kunjung reda dalam beberapa tahun terakhir. Sebelum serangan terbaru terhadap mobil WHO, PBB menyebut ada serangan udara dan bombardir di Rakhine pada akhir Maret 2020.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
NAYPYIDAW, SELASA — Dalam lima hari terakhir ini, dua kekerasan terjadi di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Kekerasan terbaru tersebut menewaskan Pyae Sone Win Maung, seorang pengemudi yang bekerja untuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), salah satu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengoordinasikan kesehatan publik internasional.
Dalam pernyataan pada Selasa (21/4/2020), WHO menyebutkan, Win Maung mengemudikan mobil yang diberi tanda WHO. Ia dalam perjalanan dari Sittwe, ibu kota Negara Bagian Rakhine yang bergolak ke Yangon.
Bersama seorang pegawai Pemerintah Myanmar, Win Maung sedang mengantarkan contoh uji Covid-19 yang dikumpulkan dari beberapa lokasi di Rakhine.
”PBB sedang mencari informasi lebih lanjut soal insiden itu,” demikian pernyataan perwakilan PBB di Myanmar.
Mobil disergap sejumlah orang yang belum diketahui identitasnya di dekat Minbya. Mobil yang dikemudikan Win Maung terperosok ke jurang dan ia meninggal dalam perawatan di rumah sakit Minbya, Senin malam. Petugas pengumpul contoh uji Covid-19, U Aung Myo Oo, masih dirawat di rumah sakit.
Tentara dan kelompok bersenjata di Rakhine saling menuding sebagai pelaku penyerangan. ”Untuk apa militer menembak mereka? Mereka bekerja untuk negara kami. Kami bertanggung jawab untuk itu. Semua yang berpikir juga paham. Pertanyaan itu tidak patut diajukan,” kata juru bicara militer Myanmar, Mayjen Tun Tun Nyi.
Kekerasan di Rakhine tidak kunjung reda dalam beberapa tahun ini. Sebelum penyerangan terhadap Win Maung, PBB menyebut ada serangan udara dan bombardir di Rakhine sejak akhir Maret 2020. Akibatnya, 23 warga sipil tewas.
”Sulit mendapatkan kepastian dari Rakhine tentang apakah korban tewas karena terjebak di antara baku tembak atau karena memang disasar,” demikian disampaikan kantor HAM PBB, pekan lalu.
Rakhine terisolasi setelah Myanmar menghentikan layanan komunikasi internet sejak Juni 2019. Tidak ada informasi yang bisa keluar dari Rakhine. Selain menewaskan warga sipil, serangan selama hampir sebulan ini juga merusak sekolah dan aneka fasilitas umum lain di sana.
Myanmar tidak hanya mengebom Rakhine. Selama beberapa waktu terakhir, negara bagian itu diisolasi untuk mengendalikan laju infeksi Covid-19. Secara resmi, ada 111 infeksi Covid-19 di Myanmar. Naypyidaw berusaha memperluas pemeriksaan untuk mengetahui jumlah infeksi Covid-19 di negara itu.
Di tengah pandemi, pekan lalu, Myanmar membebaskan hampir 25.000 tahanan. Pembebasan itu untuk mengurangi isi penjara sehingga peluang penularan Covid-19 di penjara bisa ditekan. Di antara yang dibebaskan adalah ratusan orang Rohingnya.
Mereka diantarkan dari Yangon ke Rakhine dan China. Sedikitnya 600 orang diturunkan di Sittwe, sementara 200 lainnya diantarkan ke dekat perbatasan Myanmar-Bangladesh. Mereka tidak langsung bebas, melainkan masuk lokasi karantina.
Sebagian besar tahanan itu ditangkap karena dituding terlibat penyerangan terhadap aparat. Sebagian lagi dinyatakan sebagai pendatang ilegal.
Myanmar berkeras, mayoritas orang Rohingnya sebagai pendatang ilegal. Perbedaan bahasa, kebudayaan, dan tampilan fisik Rohingnya dengan mayoritas Myanmar menjadi alasan utama tudingan itu. Padahal, orang Rohingya telah ratusan tahun tinggal di Rakhine.
Myanmar pun beberapa kali melancarkan operasi militer di Rakhine. Pada 2018, hampir sejuta warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh karena khawatir menjadi sasaran serangan aparat dan milisi. (AFP/REUTERS)