Sulit dibayangkan seperti apa Ramadhan akan berlangsung tanpa buka puasa bersama dan shalat Tarawih berjemaah di masjid-masjid di banyak negara.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
Untuk mencegah penyebaran penyakit Covid-19, menjelang bulan Ramadhan, umat Muslim di seluruh dunia diimbau untuk beribadah di rumah masing-masing. Pandemi korona akan membuat suasana bulan suci bagi umat Islam ini jauh berbeda.
Tidak akan ada lagi suasana hangat kebersamaan seperti biasanya. Ini karena adanya aturan masjid ditutup, ketentuan jam malam diberlakukan, dan ibadah bersama di luar rumah dilarang.
Yamine Hermache (67), warga Aljazair, sedih karena saudara dan tetangganya biasa berkumpul di rumahnya saat berbuka puasa bersama. ”Kita tidak akan bisa saling mengunjungi. Wabah korona ini membuat semua orang takut,” ujarnya.
Suami Hermache, Mohamed Djemoudi (73), juga tidak bisa membayangkan seperti apa Ramadhan akan berlangsung tanpa buka puasa bersama dan shalat Tarawih berjemaah di masjid.
Pemerintah Jordania akan berkoordinasi dengan negara-negara Arab dalam mengumumkan fatwa tentang ritual Ramadhan apa saja yang masih boleh dilakukan. Imam Besar Arab Saudi Abdulaziz al-Sheikh sudah menyatakan, ibadah apa pun selama bulan Ramadhan dan shalat Id dilakukan di rumah masing-masing. Imbauan serupa juga diumumkan Imam Besar Jerusalem dan Wilayah Palestina Muhammad Hussein.
”Hati kami menangis. Biasanya setiap hari mulai pagi sampai malam selalu penuh orang di masjid suci,” kata Ali Mulla, muazin di Masjidil Haram, Mekkah, Arab Saudi.
Suasana sepi
Suasana sepi terasa di Mekkah. Salah satu penjual toko di dekat Masjid Al-Sayeda Zainab, Samir El-Khatib, mengeluhkan tidak adanya pembeli yang mau datang karena takut wabah korona. ”Ini tahun yang paling buruk,” ujarnya.
Hati kami menangis. Biasanya setiap hari mulai pagi sampai malam selalu penuh orang di masjid suci.
Biasanya selama bulan Ramadhan, para penjual di Mesir menggelar dagangan kurma dan aprikot di pinggir jalan untuk berbuka puasa. Namun, tahun ini tidak akan ada lagi jualan di pinggir jalan. Pemerintah Mesir memberlakukan jam malam. Pemerintah Mesir juga melarang shalat jemaah dan kegiatan keagamaan lainnya di masjid.
Nasser Salah Abdelkader (59), penjual di salah satu pasar di Mesir, mengeluhkan tidak adanya suasana Ramadhan yang hangat dan riuh tahun ini. ”Biasanya ada saja orang yang main musik, duduk-duduk berkumpul mengobrol di mana-mana. Sekarang sepi,” ujarnya.
Kebersamaan
Selain suasana kebersamaan yang hangat hilang, para pemilik restoran di Aljazair juga masih belum tahu bagaimana cara membagikan sumbangan makanan buka puasa untuk warga miskin karena restoran harus tutup.
Kebingungan serupa dirasakan lembaga-lembaga amal di Abu Dhabi yang biasanya memberikan buka puasa bagi para pekerja dari Asia Selatan yang berupah rendah. Biasanya sumbangan itu dibagikan di masjid-masjid. Namun, karena masjid tutup, mereka harus mencari cara lain untuk melanggengkan kebaikan sosial tersebut.
Untuk mengakali hal itu, lembaga-lembaga amal di Senegal akan membagikan makanan buka puasa, seperti roti cokelat, keik, kurma, gula, dan susu di sekolah-sekolah.
Bagi warga yang tinggal di daerah konflik, seperti Libya, mereka sudah terbiasa tinggal di rumah saja. Bagi mereka, krisis separah apa pun Ramadhan tetaplah Ramadhan, waktunya untuk berdoa, introspeksi diri, dan beramal. Suasana saat ini dengan kebijakan karantina, menjaga jarak, dan tinggal di rumah saja sebenarnya sudah seperti suasana Ramadhan.
”Selama masa karantina dan jam malam ini sebenarnya sudah seperti Ramadhan. Makna Ramadhan itu, kan, ibadah beramal dan kini saatnya membantu mereka yang membutuhkan,” kata Karima Munir (54), pegawai bank dan ibu dua anak di Libya. (REUTERS/AFP)