Pelajaran Berharga dari Eropa
Kecepatan mengambil tindakan yang tepat yang didorong oleh sikap waspada merupakan aspek yang absen dari sebagian negara-negara Eropa dalam merespons pandemi Covid-19.

Pekerja dari perusahaan AMSA yang memakai alat pelindung diri menyemprotkan disinfektan di Piazza Duomo di Milan, Italia, 31 Maret 2020, untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Pandemi Covid-19 berawal dari Asia. Namun, dari sisi jumlah kasus, lima negara dengan jumlah kasus terbanyak justru didominasi oleh negara-negara Eropa yang notabene negara maju dengan sistem kesehatan yang baik. Hingga Minggu (19/4/2020), Amerika Serikat masih menjadi negara dengan jumlah kasus Covid-19 terbanyak dengan 735.287 kasus, disusul Spanyol (195.944), Italia (175.925), Perancis (152.978), Jerman (143.724), dan Inggris (115.317).
Italia dan Spanyol memiliki beberapa kesamaan, antara lain cuaca yang lebih hangat, kepadatan penduduk yang tinggi di kota-kota besar, interaksi sosial yang hangat, serta populasi warga lansia yang besar.
Sayangnya, satu kesamaan lain dari kedua negara itu, khususnya dalam minggu-minggu kritis pandemi Covid-19, adalah terlalu percaya diri. Pemerintah kedua negara terkesan meremehkan kecepatan penyebaran Covid-19 dan kemampuannya membuat sistem pelayanan kesehatan kolaps.
Baca juga: WHO Peringatkan Dunia Bersiap Hadapi Pandemi Covid-19
Covid-19 yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 adalah virus korona jenis baru yang diketahui pertama kali ketika menginfeksi manusia di Wuhan, China, akhir 2019. Meski satu keluarga dengan virus penyebab sindrom pernapasan akut parah (SARS) dan sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS), para ahli tidak memiliki pengetahuan yang cukup soal bagaimana virus ini berperilaku, bagaimana mekanisme infeksinya, termasuk bagaimana cara melawannya.

Tentara Korea Selatan mengenakan alat pelindung saat mendisinfektan jalan untuk membantu mencegah penyebaran virus korona penyebab penyakit Covid-19, di Seoul. Foto diambil 6 Maret 2020.
Minimnya pengetahuan ini memicu kewaspadaan di sejumlah negara di Asia yang memiliki pengalaman dengan SARS, seperti Korea Selatan dan Taiwan. Ketika Korsel melaporkan ada empat kasus Covid-19 pada akhir Januari, otoritas kesehatan setempat langsung mengumpulkan industri farmasi dan mendorong pengembangan alat tes untuk mendiagnosis Covid-19.
Tanpa menerapkan pembatasan, Korsel melakukan ratusan ribu tes Covid-19 dan dinilai sebagai model yang tepat untuk menahan penyebaran Covid-19.
Baca juga: Intervensi Komprehensif, Resep Korea Selatan Kendalikan Covid-19
Taiwan juga memiliki respons serupa. Kombinasi kebijakan yang komprehensif, termasuk penggunaan mahadata dan manajemen masker, menjadi resep manjur Taiwan menghadapi pandemi Covid-19.

Warga mengantre untuk membeli masker di New Taipei City, Taiwan, 17 Maret 2020.
Sejak awal Januari 2020, Taipei sudah memberikan penjelasan rutin kepada warganya tentang wabah virus baru. Berdasarkan informasi itu, masyarakat tahu ada bahaya mengancam. Hasilnya, masyarakat bekerja sama dengan pemerintah memerangi pandemi. Di bawah koordinasi pemerintah, warga Taiwan ramai-ramai menyumbangkan dana dan menyediakan aneka kebutuhan untuk menangani Covid-19. Warga juga mematuhi aneka anjuran pemerintah soal penanganan pandemi itu.
Dengan pengalaman SARS 2003, Taiwan membuat protokol penanganan pandemi. Protokol itu diaktifkan segera setelah Taipei mendapat informasi tentang pneumonia misterius di China pada akhir Desember 2019. Protokol itu dan tindakan yang didasarkan padanya adalah bentuk kompetensi pemerintah.
Sikap berbeda
Akan tetapi, di sejumlah negara dengan sistem kesehatan yang baik, seperti Amerika Serikat, Inggris, Italia, Perancis, dan Spanyol, munculnya wabah Covid-19 justru memunculkan reaksi yang lain, yaitu penyangkalan.
Menurut banyak pengamat, penyangkalan ini menjadi biang kelambatan negara merespons dan mengambil tindakan antisipasi yang benar. Negara-negara maju itu butuh waktu satu bulan sejak kasus pertama muncul untuk menerapkan kebijakan yang lebih tegas.

Seorang polisi menghentikan dan memeriksa kendaraan di Roma, Sabtu (11/4/2020). Pengetatan dilakukan agar warga tidak menyelinap keluar saat liburan Paskah.
Italia, misalnya, yang melaporkan kasus pertamanya pada 29 Januari 2020 baru menerapkan penutupan wilayah di wilayah utara pada 8 Maret 2020 dan secara nasional tiga hari kemudian. Adapun Spanyol yang melaporkan kasus pertamanya 31 Januari 2020 baru menerapkan karantina nasional pada 14 Maret 2020 atau enam minggu setelah kasus pertama. Begitu pula dengan Perancis dan Inggris.
Padahal, jika bertindak lebih cepat, negara-negara itu bisa mengubah arah jalannya pandemi dan banyak nyawa bisa diselamatkan.
Tindakan yang diambil memang tidak harus penutupan wilayah. Namun, sebelum pembatasan dilakukan ada banyak waktu terbuang tanpa tindakan signifikan menekan penyebaran Covid-19.
Baca juga: Kematian akibat Covid-19 di Italia Kini Terbanyak di Dunia
Seperti dilaporkan kantor berita Anadolu, 27 Februari 2020 atau empat hari setelah 11 kota di wilayah utara Italia dikarantina karena kasus mencapai 650 dan kasus meninggal mencapai 17 orang, pemimpin Partai Demokrat yang berkuasa, Nicola Zingaretti, terlihat nongkrong (aperitivo) di Milan dengan sejumlah orang. ”Kita tidak boleh mengubah kebiasaan kita,” tulisnya di media sosial. ”Ekonomi kita lebih kuat daripada rasa takut: mari keluar untuk minum, menikmati secangkir kopi, atau makan piza.”
The Guardian menulis, pada hari yang sama, Beppe Sala, Wali Kota Milan, membagikan video dengan slogan ”Milan tidak berhenti”. Video itu berisi foto orang-orang yang saling berpelukan, makan di restoran, berjalan di taman, dan menunggu kereta.

Polisi dan tentara memeriksa penumpang di stasiun utama Milan, Italia, Senin (9/3/2020). Pada Minggu (8/3/2020) pagi, Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte memutuskan untuk melakukan karantina di sejumlah wilayah bagian utara Italia. Area yang dikarantina adalah Milan, Lombardy, dan Venesia serta sejumlah kota yang berdekatan di wilayah Veneto.
Giuseppe Pantaleo, psikolog sosial di Vita-Salute San Raffaele University di Milan, mengatakan, pada awalnya orang tidak yakin atas apa yang sedang terjadi sehingga politisi ingin menenangkan warga. Zingeretti, misalnya, pergi ke Milan untuk mempertunjukkan perilaku sosial yang masih aman dilakukan dan menyampaikan, pemerintah sedang bekerja mencari jalan keluar.
Sembilan hari setelah perjalanan ke Milan itu, Zingaretti didiagnosis positif Covid-19.
Ketika wilayah utara Italia dikarantina pada 8 Maret, warga yang ketakutan kemudian eksodus ke wilayah selatan. Satu wilayah ditutup, tapi risiko di wilayah lain justru membesar.
Karena kasus yang terus bertambah, penutupan secara nasional pun diberlakukan pada 10 Maret 2020, tetapi efektif beberapa hari kemudian ketika bar, restoran, dan toko-toko di seluruh negeri ditutup.
Baca juga: Negara-negara Berlomba Amankan Pasokan Peralatan Medis Masing-masing
Psikolog dari Ancona di region Marche, Sara Raginelli, menyebutkan, ”momen ketika pemerintah berubah dan mulai berbicara dengan lebih jelas dan tegas, perilaku warga pun berubah dan mereka bersikap lebih waspada”. ”Momen saat warga diperintahkan untuk tinggal di rumah dan penegakan kebijakan dilakukan tegas, mayoritas warga patuh.”

Seorang pasien Covid-19 terbaring di tempat tidur di unit perawatan intensif klinik swasta CEMTRO di Madrid, Jumat (17/4/2020).
Spanyol yang sebenarnya bisa belajar dari apa yang terjadi Italia, ternyata tidak. Akhir Januari, Fernando Simon, ahli epidemiologi yang memimpin gugus tugas merespons Covid-19, mengatakan, Spanyol mungkin ”hanya memiliki beberapa kasus”. Akhir Februari ia mengatakan bahwa ”virusnya tidak ada di Spanyol”.
Ketika wilayah Lombardy di Italia dikarantina, Pemerintah Spanyol justru mengajak warganya turun ke jalan untuk memperingati Hari Perempuan Internasional. Padahal, saat itu di Spanyol sudah ada 10 orang meninggal akibat Covid-19 dan 250 kasus positif sudah dikonfirmasi. Di hari yang sama, Menteri Kesehatan Spanyol mengimbau warga yang sakit untuk tetap tinggal di rumah.
Baca juga: WHO Umumkan Covid-19 sebagai Pandemi, Dunia Perlu Upaya Bersama
Tiga menteri dari kabinet koalisi yang ikut turun ke jalan dan ibu negara Spanyol kemudian didiagnosis positif. Empat hari kemudian, Menteri Kesetaraan Irene Montero juga positif Covid-19. Beberapa hari kemudian, Spanyol menerapkan penutupan total.
Kacaunya respons pemerintah terhadap pandemi Covid-19 terjadi juga di Inggris. ”Pemerintah bertindak terlalu lambat, tidak menjadikan Covid-19 sebagai prioritas dan malah berbuat kesalahan,” kata Profesor John Ashton, mantan Direktur Regional Public Health England, seperti dikutip oleh majalah Time, 17 April 2020. ”Mereka menangani dengan sangat buruk.”

Staf medis mengenakan alat pelindung diri saat mereka menguji seorang warga di fasilitas pengujian di Hopwood Hall College di Rochdale, Greater Manchetser, Kamis (16/4/2020).
Para epidemiolog dan pejabat kesehatan mengatakan, strategi Inggris mengatasi Covid-19 kacau sehingga terlambat menyediakan alat pelindung diri dan alat tes. Pemberlakuan pembatasan sosial juga terlambat.
Penelusuran kontak kasus positif awalnya berjalan lancar. Namun, ketika penyakitnya berkembang dalam hitungan eksponensial awal Maret, Inggris pun kewalahan. Inggris sempat mengambil ”langkah” keliru. Sehari setelah Organisasi Kesehatan Dunia menetapkan Covid-19 sebagai pandemi, pada 12 Maret 2020, Inggris menyatakan tidak akan melakukan penelusuran kontak dan pemeriksaan Covid-19 lagi.
Yang Pemerintah Inggris kehendaki adalah terbentuknya ”kekebalan kelompok”. Langkah ini jelas bertentangan dengan WHO. Sikap itu berubah pada 16 Maret ketika hasil pemodelan oleh Imperial College London dan London School of Hygiene and Tropical Medicine sampai di Downing Street.
Baca juga: Negara-negara Memperpanjang Kebijakan Penutupannya
Studi itu menyatakan bahwa dampak Covid-19 bisa jauh lebih buruk dari yang diperkirakan. Jika pemerintah tidak melakukan apa-apa, 510.000 orang akan meninggal. Apabila pemerintah meneruskan kebijakan yang sedang dijalankannya, jumlah kasus meninggal tetap tinggi, yaitu 250.000 kasus.
Kini, ketika beberapa negara Eropa melonggarkan kebijakan pembatasan, Inggris justru memperpanjang kebijakan itu hingga tiga minggu ke depan.