Sedikitnya 47 orang terbunuh di sejumlah desa pertanian di Negara Bagian Katsina, Nigeria utara, oleh rombongan bandit bersenjata.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
ABUJA, SENIN — Kekerasan demi kekerasan melanda Nigeria selama beberapa bulan terakhir. Korbannya tidak hanya warga sipil, tetapi tentara dan polisi pun menjadi korban. Salah satu negara miskin di Afrika Barat itu telah menjadi ladang kekerasan bersenjata oleh kelompok bandit, pemberontak, dan ekstremis.
Kasus terbaru, sebagaimana dilaporkan aparat Nigeria, Minggu (19/4/2020), terjadi sehari sebelumnya, Sabtu. Sedikitnya 47 orang terbunuh di sejumlah desa pertanian di Negara Bagian Katsina, Nigeria utara, oleh rombongan bandit bersenjata.
Dilaporkan, sekelompok bandit bersenjata yang mengendarai 150 sepeda motor dalam waktu bersamaan menyerang tiga desa Dutsenma, Danmusa, dan Safana di wilayah Kastina, Nigeria utara. Kelompok ini diduga merupakan geng kriminal yang kerap mencuri sapi dan menculik orang untuk menuntut tebusan.
Tidak hanya warga sipil yang menjadi korban. Pada Senin (23/3/2020), 70 tentara Nigeria tewas diserang pemberontak Boko Haram. Serangan dilakukan ketika para korban sedang konvoi di dekat Desa Gorgi, Negara Bagian Borno, Nigeria timur laut.
Terkait kekerasan terbaru, juru bicara kepolisian Katsina, Gombo Isah, Minggu (19/4/2020), menjelaskan, aparat kepolisian sudah dikerahkan ke wilayah itu untuk membantu perlawanan warga desa. Kelompok bandit bersenjata itu tiba-tiba masuk desa dan menembaki dan membakar rumah-rumah warga
Katsina yang merupakan kampung halaman Presiden Nigeria Muhammadu Buhari itu kerap menjadi sasaran serangan geng-geng bersenjata. Mereka mendirikan markas dengan tenda-tenda di dalam hutan Rugu yang melingkupi wilayah Katsina, Zamfara, dan Kaduna, serta negara-negara bagian Niger.
Dalam pernyataan tertulis, Buhari mengecam serangan bandit-bandit itu dan akan membalas dengan kekuatan penuh. Ia tidak akan menoleransi pembunuhan warga sipil tidak bersalah seperti itu.
Seruan Buhari yang disampaikan setiap kali setelah kekerasan seperti itu muncul terkesan tidak berdampak. Kekerasan selalu berulang, dan aparat pun tak mampu mengendalian situasi. Sebulan sebelum serangan yang menewaskan 70 tentara tadi, 30 warga sipil tewas dibunuh ketika geng bersenjata mencuri ternak-ternak di Desa Tsauwa dan Dankar di Distrik Batsari, Katsina.
Pada Rabu pekan lalu, sedikitnya 9 orang tewas akibat serangan atas desa Hura di Negara Bagian Plateau. Sekitar 22 rumah warga dibakar.
Gejolak kekerasan itu terjadi menyusul ketegangan antara masyarakat Irigwe dan komunitas penggembala Fulani. Mereka ribut karena konflik tanah dan saling tuduh mencuri ternak.
Anggota parlemen di Plateau Tengah, Haruna Maitala, mengecam serangan yang tidak berujung ini. ”Serangan berlanjut tanpa henti akibat kebencian yang tidak beralasan di antara dua komunitas,” ujarnya dalam pernyataan tertulis.
Negara bagian Plateau Tengah merupakan bagian dari Nigeria yang dianggap di tengah-tengah karena memisahkan wilayah utara yang mayoritas Muslim dengan wilayah selatan yang Nasrani.
Konflik dan bentrokan berdarah antara penggembala Fulani yang hidupnya nomaden dan petani terkait tanah, penggembalaan, dan sumber air sudah sering terjadi di daerah itu selama bertahun-tahun.
Jauh sebelumnya, pada awal Desember 2019, sekelompok pemberontak menyerang pangkalan militer Nigeria yang berbatasan dengan Mali. Saat itu, 71 orang tewas. Kekerasan demi kekerasan mengesankan aparatnya lemah dan masyarakat sangat mengharapkan terciptanya keamanan.
Organisasi pemberi bantuan Mercy Corps menyebutkan, pada Mei tahun lalu kekerasan antara petani dan penggembala di Nigeria menyebabkan lebih dari 7.000 kasus kematian selama lima tahun terakhir. Lebih dari 200.000 orang mengungsi akibat kekerasan yang terjadi secara sporadis di seluruh negeri.
Serangan-serangan yang terjadi di daerah-daerah terpencil sering tidak dilaporkan. Namun, otoritas Plateau meyakini, gejolak kekerasan di wilayah itu sudah jauh berkurang karena sudah ada rekonsiliasi antarkomunitas. (AFP/REUTERS/CAL)