Situasi saat ini adalah momentum kosmopolitan di mana risiko sangat ekstrem sehingga keadaan normal dan darurat saling bertumpuk. Dalam situasi seperti itu, dibutuhkan kerja sama lintas negara.
Oleh
Kris mada
·4 menit baca
Sebagai individu, virus korona baru alias SARS-CoV-2 lemah dan bisa mati dalam hitungan detik selepas terkena bilasan sabun. Walakin, makhluk berukuran nanometer itu terbukti bisa menginfeksi lebih dari 2 juta orang dan menewaskan hampir 160.000 jiwa. Sebab, virus korona baru tidak pernah menyerang sendirian.
Pada setiap orang yang terinfeksi, ada miliaran virus korona baru yang bekerja sama satu sama lain untuk menyerang kekebalan tubuh. Tidak ada perdebatan, apalagi saling menyalahkan di antara virus-virus tersebut. Karena itu, upaya manusia memerangi mereka juga mutlak membutuhkan kerja sama. Hal itu sudah ditunjukkan Taiwan, yang sukses menekan laju infeksi dan kematian akibat Covid-19. Hingga Minggu (19/4/2020), Taiwan hanya mencatat 398 infeksi dan 9 kematian akibat Covid-19. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang mencatat 710.272 infeksi dan 37.175 kematian atau Italia dengan 172.434 infeksi dan 22.745 kematian.
Taiwan tidak menerapkan isolasi total disertai sanksi keras seperti di banyak negara. ”Taiwan membuktikan sistem demokrasi bisa efektif menghadapi pandemi. Ini soal kompetensi pemerintah,” kata profesor madya bidang sosiologi bencana pada Nanyang Technological University (NTU), Singapura, Sulfikar Amir.
Demokrasi diterjemahkan dalam bentuk transparansi. Sejak awal Januari 2020, Taipei sudah memberikan penjelasan rutin kepada warganya tentang wabah virus baru. Berdasarkan informasi itu, masyarakat tahu ada bahaya mengancam. Hasilnya, masyarakat bekerja sama dengan pemerintah dalam perang melawan pandemi. Di bawah koordinasi pemerintah, warga Taiwan ramai-ramai menyumbangkan dana dan menyediakan aneka kebutuhan untuk menangani Covid-19 sejak hari-hari pertama penyakit itu tiba di pulau yang terletak di seberang China tersebut. Warga juga mematuhi aneka anjuran pemerintah soal penanganan pandemi itu.
Pengalaman
Memang, ada faktor pengalaman menghadapi SARS pada 2003 yang membuat masyarakat dan Pemerintah Taiwan sigap menghadapi Covid-19. Dengan pengalaman SARS 2003, Taiwan membuat protokol penanganan pandemi. Protokol itu diaktifkan segera setelah Taipei mendapat informasi tentang pneumonia misterius di China pada akhir Desember 2019. Protokol itu dan tindakan yang didasarkan padanya adalah bentuk kompetensi pemerintah.
Sementara itu, banyak negara lain tidak punya pengalaman, apalagi protokol menghadapi penyakit akibat varian virus korona. Pakar imunologi pada Universitas Reading, Alexander Edwards, menyatakan, mayoritas orang Eropa awalnya menganggap wabah Covid-19 sebagai masalah di tempat lain. Hal itu memicu penularan luas dalam waktu singkat, seperti di Italia dan Spanyol.
Saat perintah karantina dan jaga jarak mulai diberlakukan pada akhir Februari 2020, orang Italia tetap berkumpul di luar rumah. Mereka juga mengunjungi kerabat yang lebih tua. ”Mereka (orang muda) menemui kakek dan nenek, mencium, ke gereja atau makan bersama,” kata Edwards kepada media AS, CNBC.
Perilaku itu menyebabkan banyak orang tua di Italia, juga negara dengan kebiasaan sejenis, cepat menular. Padahal, orang lanjut usia termasuk kelompok paling berisiko terinfeksi, lalu meninggal akibat Covid-19. ”Dalam situasi ini, kami selamanya tidak siap. Mustahil siap menangani keadaan ini,” kata Kepala Penyakit Menular pada Rumah Sakit Sacco Hospital di Milan, Italia, Massimo Galli, sebagaimana dikutip media Jerman, Deutsche Welle.
Pembangkangan atas perintah jaga jarak dan diam di rumah juga terlihat di sejumlah negara, seperti AS dan Australia. Pada Maret 2020, tersiar video ribuan warga Australia memadati pantai Bondy. Sementara pemuda AS berpesta di pantai Miami. Hasilnya, AS menjadi negara dengan jumlah infeksi dan kematian tertinggi. ”Kalau terkena korona, ya sudah. Saya tidak akan berhenti berpesta gara-gara korona,” kata seorang peserta pesta di Miami dalam video yang disiarkan BBC.
Sulfikar tidak menampik ada masalah lain dalam pandemi ini. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan banyak pakar masih bingung menghadapi virus yang sudah memiliki beberapa varian ini. SARS-CoV-2 bisa ditularkan oleh orang yang tidak menunjukkan gejala sedang terinfeksi (OTG). ”Protokol berantakan gara-gara itu. Bagaimana mendeteksi orang yang tidak menunjukkan gejala?” ujarnya.
Mengutip sosiolog Jerman, Ulrich Beck, Sulfikar menyebut keadaan ini sebagai momentum kosmopolitan. Dalam momentum ini, risiko sangat ekstrem sehingga keadaan normal dan darurat saling bertumpuk. Dalam situasi seperti itu, dibutuhkan kerja sama lintas negara. Sebab, Beck menyatakan bahwa risiko akan berdampak pada semua bangsa dan kelas masyarakat dalam era globalisasi seperti sekarang. (AP/REUTERS)