Beberapa Negara Mengecam Penangkapan Aktivis Hong Kong
Penangkapan oleh polisi Hong Kong pada Sabtu lalu adalah tindakan keras terbesar terhadap gerakan prodemokrasi kota itu sejak surutnya aksi protes massal skala luas tahun lalu.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
HONG KONG, SENIN — Pemerintah sejumlah negara dan juga lembaga-lembaga swadaya masyarakat mengkritik soal penangkapan belasan aktivis demokrasi Hong Kong yang dituduh mengorganisasi dan berpartisipasi dalam protes anti-pemerintah tahun lalu.
Penangkapan oleh aparat keamanan Hong Kong terjadi pada Sabtu (18/4/2020), tiga hari setelah Beijing melalui pejabat paling seniornya di Kantor Perwakilan di Hong Kong agar segera menerapkan UU Ekstradisi.
Penangkapan terhadap 14 aktivis dan mantan anggota parlemen prodemokrasi itu merupakan tindakan keras terbesar setelah surutnya demonstrasi besar-besaran tahun lalu.
Lembaga International Bar Association menyatakan, pihak berwenang tidak boleh melanggar hak asasi manusia (HAM) di Hong Kong. Tindakan terhadap para aktivitas prodemokrasi Hong Kong itu jelas-jelas tidak dapat dibenarkan.
Diingatkan bahwa sistem hukum harus waspada terhadap penyalahgunaan kekuasaan ketika dunia tengah disibukkan dengan pandemi Covid-19.
Kecaman juga disampaikan Pemerintah Amerika Serikat (AS). ”Amerika Serikat mengecam keras penangkapan para pendukung prodemokrasi di Hong Kong,” kata Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo.
”Beijing dan perwakilannya di Hong Kong terus mengambil tindakan yang tidak konsisten dengan komitmen yang dibuat berdasarkan Deklarasi Bersama China-Inggris yang mencakup transparansi, supremasi hukum, dan jaminan bahwa Hong Kong akan terus \'menikmati otonomi tingkat tinggi\'.”
Pendukung gerakan prodemokrasi Hong Kong yang ditangkap termasuk pendiri dan pengacara Partai Demokrat Martin Lee (81 tahun). Selain itu, terdapat pula jutawan, taipan penerbitan Jimmy Lai (71), serta mantan anggota parlemen dan pengacara, Margaret Ng (72).
Kepolisian setempat mengatakan, mereka yang ditangkap berusia antara 24 dan 81 tahun. Mereka ditahan dengan tuduhan mengorganisasi dan berpartisipasi dalam ”tindakan yang melanggar hukum” pada 18 Agustus dan 1 dan 20 Oktober tahun lalu.
Demonstrasi besar dan demonstrasi yang acap kali diwarnai aneka kekerasan pecah di bekas koloni Inggris saat itu. Mereka semua yang ditangkap akan dihadirkan di pengadilan pada 18 Mei mendatang. Polisi Hong Kong kemungkinan saja akan melakukan lebih banyak lagi penangkapan. Beberapa dari mereka yang ditangkap dibebaskan dengan jaminan pada Sabtu malam lalu.
Sementara itu di Inggris, seorang perwakilan Kantor Luar Negeri mengatakan, pemerintah mengharapkan setiap penangkapan dan prosedur pengadilan akan ”dilakukan secara adil dan transparan”. Kementerian Luar Negeri Inggris juga mengatakan hak untuk protes secara damai adalah ”dasar bagi cara hidup Hong Kong”.
Pihak berwenang diimbau untuk menghindari tindakan yang justru dapat mengobarkan ketegangan. ”Pihak berwenang harus fokus pada pembangunan kembali kepercayaan melalui proses dialog politik yang bermakna,” kata Kemlu Inggris.
Pemerintah Hong Kong sendiri membela kegiatan penangkapan itu. Biro Keamanan Hong Kong menyatakan bahwa kegiatan itu sudah dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku.
”Di Hong Kong, semua orang sama di depan hukum. Tidak ada yang memiliki hak istimewa,” kata juru bicara Biro Keamanan Hong Kong.
Asosiasi Pengacara Internasional mengecam keras penangkapan Lee dan Ng. Dua sosok itu telah aktif mengampanyekan HAM dan penegakan hukum dalam karier mereka selama ini.
Asosiasi tersebut menyatakan, sangat penting sifatnya keadilan untuk diterapkan secara transparan di Hong Kong. Hal itu semakin mendesak, terutama ketika dunia dicengkeram pandemi Covid-19.
”Sangat penting bahwa pihak berwenang tidak menggunakan kekuatan mereka untuk melanggar HAM yang mendasar dan sangat penting bahwa sistem hukum terus melindungi warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan yang mungkin tidak terlihat selama krisis Covid-19,” demikian bunyi pernyataan asosiasi itu.
Dalam sebuah laporan khusus yang diterbitkan pada awal pekan lalu, tiga hakim tinggi Hong Kong mengatakan kepada Reuters bahwa independensi sistem peradilan kota sedang diserang oleh para pimpinan Partai Komunis China di Beijing.
Pengadilan, menurut mereka, sedang berjuang untuk bertahan hidup. Hong Kong kembali ke Beijing pada tahun 1997 di bawah formula ”satu negara, dua sistem” yang menjamin kebebasan luas yang tidak terlihat di daratan China dan otonomi tingkat tinggi. (REUTERS)