Politisasi dan Stigma Bisa Melemahkan Kerja Sama Internasional
Semua negara memiliki tugas menantang untuk mengatasi pandemi Covid-19. Politisasi dan stigma hanya melemahkan kerja sama internasional.
Oleh
Kris Mada
·3 menit baca
BEIJING, JUMAT— China dan Rusia kembali menegaskan penolakan atas upaya politisasi Covid-19 di saat sejumlah negara menyalahkan China sebagai pemicu pandemi ini. Sejumlah pakar Amerika Serikat juga tidak sepakat bahwa virus SARS-CoV-2 sengaja dikembangkan di laboratorium tertentu.
Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan penolakan pada saat keduanya berbicara lewat telepon, Kamis (16/4/2020) malam waktu Moskwa atau Jumat pagi WIB. Xi menyebut, semua negara punya tugas menantang untuk mengatasi pandemi. Politisasi dan stigma hanya melemahkan kerja sama internasional.
”China dan Rusia harus bekerja sama erat dan melindungi sistem kesehatan global,” kata Xi seperti disiarkan kantor berita China, Xinhua, dan kantor berita Rusia, Tass.
Istana Kepresidenan Rusia menyatakan, Putin menolak semua upaya tidak produktif dalam bentuk saling menyalahkan. Putin juga menekankan kemitraan strategis Beijing-Moskwa dan keduanya siap saling membantu dengan saling kirim petugas, peralatan kesehatan, alat pelindung diri, dan obat.
”Kedua pemimpin menunjukkan kepercayaan negara kami bisa mengatasi tantangan terkait pandemi dengan terus bekerja sama,” kata Kremlin.
Dalam rapat virtual para kepala negara G-20, organisasi negara pengendali 85 persen kekayaan global, Putin juga sudah menyuarakan penolakan atas upaya politisasi Covid-19. Dalam telepon dengan Xi, Putin juga tidak menyebut secara jelas negara yang dinyatakan memolitisasi Covid-19.
Hal yang jelas, Xi dan Putin berbincang setelah AS, Inggris, dan Perancis semakin kerap menuding China sebagai pemicu pandemi. Tiga negara anggota G-7, organisasi negara industri maju, itu terutama menyalahkan China karena diduga menahan informasi soal perkembangan Covid-19.
Presiden Perancis Emmanuel Macron mengatakan, ada ketidakjelasan soal cara China menangani wabah. ”Jangan bodoh dengan mengatakan sejauh ini sudah ditangani dengan baik. Kita tidak tahu. Ada yang terjadi dan kita tidak tahu soal itu,” ujarnya.
Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab juga mengatakan, harus ada penyelidikan mendalam soal wabah ini. ”Kita harus menjawab pernyataan tentang bagaimana (virus) ini datang dan seharusnya dapat dicegah sejak awal,” kata Raab.
Tudingan AS
Hampir sebulan terakhir, Presiden AS Donald Trump menyebut China sebagai pemicu pandemi. Dalam rapat G-7, organisasi negara-negara maju, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo juga berusaha mengajak sejawatnya menyebut SARS-CoV-2 sebagai ”virus Wuhan” dalam pernyataan resmi hasil pertemuan para menlu G-7 yang membuat Beijing marah. Usulan Pompeo ditolak para mitranya.
Meskipun demikian, Pompeo terus berusaha meyakinkan berbagai pihak bahwa China bersalah dalam penyebaran virus korona baru. ”Kita tahu ada Wuhan Institute of Virology beberapa kilometer dari pasar (tempat hewan pengidap virus korona baru diduga dijual),” ujarnya.
Sejak 2018, Kedutaan Besar AS di Beijing mengungkapkan keprihatian atas keamanan lembaga itu. Walakin, tidak ada bukti virus berasal di sana.
Para ilmuwan memang belum bersepakat soal asal-usul virus. Walakin, banyak pakar menyatakan bahwa analisis genom virus korona baru menutup kemungkinan virus itu dikembangkan manusia. Tidak mungkin pula virus itu tersebar karena kelalaian laboratorium di China.
Para pakar menyebut virus itu lazim ditemukan di kelelawar. Dugaan bahwa manusia tertular dari hewan di pasar Huanan, pasar hewan di Wuhan, mungkin berasal dari hewan yang terinfeksi kelelawar.
”Virus ini jenis korona (yang kerap ditemukan pada) kelelawar yang bisa menginfeksi mamalia lain dan kelelawar adalah mamalia. Hal jelas bahwa asal-usul (virus) ini sesuai dengan dinamika penularan dan biologi,” ujar Kepala Pengembangan Vaksin di Mayo Clinic Minnesota, Gregory Poland. (AP/AFP/REUTERS)