Enam Hari Pemerintah China Menunda Pengumuman Kemunculan Wabah Korona
Andai saja Pemerintah China bertindak enam hari lebih cepat, kemungkinan jumlah pasien bisa ditekan dan fasilitas kesehatan akan mencukupi. Kelumpuhan layanan kesehatan di Wuhan pun bisa dihindari.
China saat ini relatif telah mampu mengendalikan persebaran wabah Covid-19 di negaranya. Melalui serangkaian langkah isolasi secara sangat ketat di wilayah awal episentrum wabah, yakni kota Wuhan, Provinsi Hubei, pada pertengahan Maret lalu Beijing melaporkan penurunan jumlah kasus baru. Namun, pada saat bersamaan, jumlah penularan Covid-19 di beberapa negara terus melonjak.
Beberapa kalangan menuding China menahan informasi soal virus korona baru (SARS-CoV-2). Akibatnya, dunia kesulitan menghadapi pandemi Covid-19 yang telah membunuh lebih dari 123.000 orang. Tudingan itu, antara lain, dilontarkan Menteri Pertahanan AS Mark Esper, Rabu (15/4/2020) malam waktu Washington DC, AS, atau Kamis pagi WIB.
Ia mengatakan, penahanan informasi terjadi sejak awal wabah. ”Jelas sekali, jika lebih transparan sejak awal dan membagi lebih banyak data, kita akan lebih memahami virus dan cara menghadapinya. Sekarang pun mereka menahan informasi dan saya kira kita perlu terus menekan mereka,” ujar Esper.
Baca juga : AS Kritik China yang Terlambat Berikan Informasi Penting
Laporan hasil investigasi kantor berita Associated Press (AP), Kamis (16/4/2020), mengungkapkan adanya jeda enam hari antara hari pertama (pada 14 Januari 2020) saat pejabat teras China menetapkan kemungkinan bakal adanya pandemi virus korona baru dan pengumuman Presiden China Xi Jinping pada 20 Januari 2020 saat ia memperingatkan warga China serta memerintahkan jajaran aparatnya terkait merebaknya virus korona jenis baru tersebut.
Selama jeda enam hari tersebut, di tengah ketidaktahuan publik terhadap apa yang sedang terjadi, kota Wuhan menjadi tempat perjamuan besar-besaran yang dihadiri puluhan ribu orang.
Pada saat bersamaan, jutaan warga China telah bersiap-siap bepergian guna merayakan Tahun Baru Imlek. Ketika Presiden Xi berpidato dalam siaran yang ditayangkan televisi CCTV, 20 Januari 2020, berdasarkan dokumen-dokumen dan estimasi pakar tentang data penularan secara retrospektif, lebih dari 3.000 orang terinfeksi virus korona baru.
”Merebaknya virus korona jenis baru di Wuhan dan tempat lain harus direspons serius,” ujar Xi, seperti dikutip Kompas, 21 Januari 2020, seraya menekankan kesehatan dan keselamatan warganya sebagai prioritas. Ia juga memerintahkan jajarannya untuk memberikan informasi yang tepat kepada publik dengan cepat.
Baca juga : Virus Jenis Baru Merebak
Ya, enam hari jeda. Apa yang terjadi di China saat itu?
Penundaan enam hari, dari 14 Januari hingga 20 Januari, untuk mengumumkan adanya wabah pandemik di negara pertama, seperti China saat itu, berlangsung pada saat kritis permulaan menyebarnya virus. Beijing diperkirakan berusaha berhati-hati untuk tidak menimbulkan kepanikan publik saat mengumumkan adanya wabah.
Laporan AP menyebutkan, hal itu bukanlah kesalahan pertama oleh para pejabat China di semua level dalam menangani wabah dan bukan keterlambatan paling lama dalam mengambil sikap. Negara-negara lain butuh waktu berminggu-minggu dan bahkan ada yang hingga dua bulan—diawali penyangkalan dan sikap menganggap remeh bahaya virus—untuk menentukan langkah-langkah penanganan.
Namun, langkah hati-hati dengan enam hari itu bagi China dalam mengumumkan wabah ke publik menjadi latar bagi kemunculan pandemi yang, hingga Kamis (16/4/2020), telah menginfeksi lebih dari 2 juta warga dan menewaskan lebih dari 133.000 orang.
Baca juga : Dunia Berpacu dengan Waktu
”Andai saja mereka bertindak enam hari lebih cepat, kemungkinan jumlah pasien lebih sedikit dan fasilitas kesehatan akan mencukupi. Kita mungkin bisa menghindari kelumpuhan pelayanan kesehatan Wuhan,” kata Zuo-Feng Zhang, pakar epidemiologi di University of California, Los Angeles, AS.
Andai saja mereka bertindak enam hari lebih cepat, kemungkinan jumlah pasien lebih sedikit dan fasilitas kesehatan akan mencukupi.
Pemerintah China berkali-kali menyangkal menyembunyikan informasi pada hari-hari pertama kemunculan wabah. Beijing bersikeras, mereka langsung menginformasikan hal itu kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). ”Tidak adil menuduh China tidak transparan dan tidak terbuka,” kata Zhao Lijian, juru bicara Kementerian Luar Negeri China.
Telekonferensi 14 Januari
Berdasarkan dokumen-dokumen yang diperoleh AP, Kepala Komisi Kesehatan Nasional China Ma Xiaowei menyampaikan penilaian atas situasi di Hubei, provinsi yang membawahkan Wuhan, lewat telekonferensi pada 14 Januari 2020. Pengarahan itu dinyatakan untuk menindaklanjuti perintah terkait penanganan virus korona dari Presiden Xi, Perdana Menteri China Li Keqiang, dan Wakil PM Sun Chunlan. Walakin, tidak diungkap apa perintahnya.
”Situasi epidemi sangat parah dan rumit, paling parah sejak SARS 2003, dan sepertinya akan menjadi masalah besar kesehatan umum,” ujar Ma dalam telekonferensi itu.
AP mengonfirmasi dokumen-dokumen yang diperoleh itu kepada sejumlah pihak. Sejumlah dokumen lain juga mengungkap sebagian informasi soal telekonferensi tersebut. Melalui pernyataan yang dikirim melalui faksimile kepada AP, Komisi Kesehatan Nasional—badan kesehatan tertinggi di China—menyebutkan bahwa telekonferensi itu digelar karena ada laporan kasus di Thailand dan kemungkinan persebaran virus pada Tahun Baru Imlek.
Pada 13 Januari 2020, ada laporan dari Thailand bahwa seorang perempuan warga China dikarantina di negara itu setelah terkena virus korona jenis baru yang saat itu masih misterius.
Berdasarkan informasi otoritas di Thailand, hal itu merupakan kasus virus korona jenis baru yang pertama kali terdeteksi di kawasan Asia Tenggara. Sebelumnya, seorang pria berusia 61 tahun meninggal akibat pneumonia, simtom penyakit itu, di kota Wuhan.
Informasi dalam memo itu secara khusus menyoroti kasus di Thailand. Situasi di negara itu, ”telah mengubah secara signifikan”.
Dalam dokumen memo pada bagian berjudul ”pemahaman sederhana atas situasi” yang diperoleh AP tercantum bahwa mungkin saja ada peluang penularan antarmanusia. Informasi dalam memo itu secara khusus menyoroti kasus di Thailand. Situasi di negara itu, tulis memo tersebut, ”telah mengubah secara signifikan”. Muncul peluang persebaran virus di luar negeri.
Baca juga : Dampak Virus Korona Tipe Baru Mulai Terasa
”Menjelang Imlek, banyak orang akan bepergian dan risiko penularan dan penyebaran akan tinggi. Semua pemerintah daerah harus bersiap menghadapi wabah,” demikian tercantum di dokumen itu.
Melalui pengumuman pada 14 Januari 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan tidak ada informasi tentang penularan Covid-19 antarmanusia. Pengumuman itu dinyatakan berdasarkan informasi dari China.
Dalam dokumen memo itu, disebutkan bahwa Ma mendesak para pejabat bersatu di belakang Xi dan membuat pertimbangan jernih soal kondisi politik. Kestabilan umum harus diprioritaskan, terutama menjelang dua acara besar Partai Komunis China (PKC) yang awalnya direncanakan akan digelar pada Maret lalu. Dokumen-dokumen tersebut tidak mengungkapkan mengapa para pejabat China sampai menunggu enam hari untuk mengumumkan adanya wabah ke publik. Diperkirakan, adanya dua agenda besar PKC itu menjadi salah satu alasannya.
Awal tanggap darurat
Sehari setelah telekonferensi pada 14 Januari itu, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular China memulai tanggap darurat aras satu. Sejumlah pejabat lembaga itu ditugaskan memimpin 14 kelompok kerja untuk menggalang dana, melatih pekerja kesehatan, mengumpulkan data, menyelidiki ke lapangan, hingga memantau laboratorium.
Komisi Kesehatan Nasional juga menerbitkan perintah kepada pejabat kesehatan provinsi yang diminta melacak orang yang tertular virus. Komisi Kesehatan Nasional juga meminta rumah sakit-rumah sakit untuk membuka layanan khusus demam, serta memerintahkan seluruh petugas kesehatan di China mengenakan alat pelindung diri (APD). Komisi Kesehatan Nasional juga mendistribusikan modul instruksi setebal 63 halaman ke para pejabat kesehatan tingkat provinsi, yang dibubuhi tanda ”internal”, ”tidak untuk disebarkan di internet”, ”bukan untuk umum”.
Pada saat bersamaan, di hadapan publik para pejabat China terlihat tidak ingin membesar-besarkan ancaman wabah muncul. Alasan mereka saat itu bahwa baru ada 41 kasus pada waktu itu.
”Kami telah mendapatkan informasi bahwa peluang penularan antarmanusia sebenarnya rendah,” kata Li Qun, Kepala Tanggap Darurat Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular China, kepada televisi Pemerintah China pada 15 Januari 2020.
Pada 20 Januari 2020, Presiden Xi mengeluarkan pernyataan publik pertamanya mengenai virus tersebut. Pakar epidemiologi terkemuka di China, Zhong Nanshan, melalui televisi nasional mengumumkan bahwa virus itu bisa menular antarmanusia. Pada 23 Januari, Pemerintah China mengumumkan isolasi total kota Wuhan.
Terlambat mengantisipasi
Dalam laporan awal AP yang didasarkan pada dokumen dan sejumlah wawancara, China terlambat mengantisipasi perkembangan di semua tahapan. Setidaknya pada akhir Desember 2019, para dokter dan perawat di Wuhan telah menyebutkan adanya indikasi penularan virus antarmanusia. Ada pasien-pasien penderita virus yang tidak pernah pergi ke Pasar Huanan, lokasi yang diduga jadi sumber awal virus. Selain itu, sejumlah pekerja kesehatan juga mulai menunjukkan gejala seperti pasien Covid-19.
Namun, laporan-laporan soal itu dihambat para pejabat. Mereka menetapkan syarat ketat untuk mengonfirmasi kasus-kasus. Misalnya, tak hanya bahwa pasien harus dinyatakan positif tertular, tetapi juga sampel hasil pemeriksaan harus dikirimkan terlebih dulu ke Beijing. Selain itu, pemeriksa harus melapor ke atasan langsung sebelum mengirim informasi ke pejabat tingkat lebih tinggi. Dokter yang memberikan peringatan umum atas kasus itu akan dihukum.
China terlambat mengantisipasi perkembangan di semua tahapan. Setidaknya pada akhir Desember 2019, para dokter dan perawat di Wuhan telah menyebutkan ada indikasi penularan antarmanusia.
Hukuman tersebut, antara lain, dialami oleh delapan dokter di Wuhan. Hukuman terhadap mereka diumumkan pada 2 Januari 2020 karena dituduh menyebarkan ketakutan.
Baca juga : Kematian Dokter Li Wenliang Memicu Kemarahan Warga China
Akibatnya, tidak ada laporan kasus baru pada 5-17 Januari 2020. Padahal, dalam periode itu, ratusan orang dengan gejala yang belakangan teridentifikasi sebagai tanda Covid-19 juga dirawat di berbagai penjuru China. Selama periode itu, sejumlah tim ahli dikirim ke Wuhan oleh Beijing. Tim-tim ahli itu tidak memperoleh tanda-tanda yang jelas tentang penularan antarmanusia.
Tim gelombang pertama menyatakan tidak ada bukti jelas soal penularan antarmanusia. ”China sudah lama mengendalikan penyakit. Tidak mungkin ini (Covid-19) menyebar luas selama musim mudik Imlek,” kata Xu Jianguo, kepala tim ahli Beijing yang dikirim ke Wuhan, 6 Januari 2020.
Tim ahli gelombang kedua dikirim pada 8 Januari, dipimpin Wang Guangfa. Mereka memeriksa pasar Huanan dan sejumlah rumah sakit. Seperti tim Xu, tim Wang juga gagal mengungkap penularan antarmanusia. Walakin, Wang yakin virus itu menular antarmanusia. Ia sendiri bahkan juga terinfeksi setelah pulang dari Wuhan pada 16 Januari 2020.
”Saya selalu menduga penularan antarmanusia dimungkinkan,” ujar Wang.
Baca juga : Ancaman ”Konektivitas” Penyakit
Belakangan, dalam laporan studi Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular China yang dipublikasikan oleh New England Journal of Medicine, diketahui bahwa lebih dari setengah lusin dokter dan perawat saat tim ahli tersebut berkunjung telah menderita jatuh sakit akibat virus.
Mengapa mereka gagal mendapatkan bukti penularan antarmanusia?
Riset lapangan tak cermat
Benjamin Cowling, epidemiolog asal Hong Kong yang terbang ke Beijing untuk menilai kasus-kasus itu pada akhir Januari lalu, mengungkapkan bahwa tim yang dikirim Beijing ke Wuhan hanya mencari pasien-pasien yang mengalami pneumonia parah, tidak mengamati para pasien dengan gejala lebih ringan. Mereka juga mempersempit cakupan riset mereka pada orang-orang yang berkunjung ke Pasar Huanan. Itu kesalahan mereka, kata Cowling.
Andai saja kami mulai melakukan sesuatu sepekan atau dua pekan lebih cepat, segalanya bisa jauh berbeda.
Tepat sehari setelah tim Wang pulang dari Wuhan, jumlah pasien mulai melonjak di Hubei dan berbagai penjuru China. Tidak hanya di Wuhan. Di Shenzhen, China selatan, yang berjarak ratusan kilometer dari Wuhan, sebuah tim yang dipimpin ahli mikrobiologi Yuen Kwok-yung menggunakan alat tes sendiri saat mengonfirmasi bahwa enam dari tujuh orang dalam satu keluarga terinfeksi virus pada 12 Januari 2020.
Dalam wawancara dengan majalah keuangan terkemuka di China, Caixin, Yuen mengungkapkan bahwa dirinya telah menginformasi hal itu ke seluruh kantor cabang Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular China, termasuk di Beijing. Namun, berbagai memo internal lembaga itu tidak memasukkan laporan Yuen.
Pada 18 Januari, Wuhan Union Hospital menggelar rapat darurat dan meminta seluruh pegawainya menerapkan isolasi. Sementara seorang pejabat yang tidak mau diungkap namanya menyatakan bahwa ia memeriksa rumah sakit khusus yang dibangun kala wabah SARS melanda. Di sana, para pekerjanya mempersiapkan ratusan tempat tidur. Sehari setelah pemeriksaan rumah sakit khusus itu, Presiden Xi baru menyiarkan peringatan terkait wabah pada rakyat China melalui pidato di televisi.
Setelah beberapa pekan kemudian tampak jelas soal tingkat keparahan epidemi virus, pejabat lokal di Wuhan dan pejabat di tingkat pusat saling melempar tuduhan. ”Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular China bekerja lamban, dengan berasumsi semuanya baik-baik saja,” ujar seorang pakar kesehatan Pemerintah China yang tak mau disebut identitasnya.
”Andai saja kami mulai melakukan sesuatu sepekan atau dua pekan lebih cepat, segalanya bisa jauh berbeda,” katanya. (AP/REUTERS)