Setiap negara memiliki cara masing-masing dalam menghadapi pandemi Covid-19. Dengan kebanyakan negara menerapkan pembatasan atau penutupan wilayah, kebijakan yang lebih longgar dari itu menjadi kontroversial.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
Orang-orang berkerumun di tepi laut di Stockholm. Beberapa di antaranya terlihat menikmati koktail di bawah sinar matahari yang hangat. Di banyak negara, kerumunan seperti itu saat pandemi Covid-19 sekarang akan dilarang, bahkan dijatuhi sanksi tegas. Namun, tidak di Swedia.
Ketika mayoritas negara Eropa, seperti Italia, Perancis, Spanyol, dan Inggris, menerapkan kebijakan pembatasan sosial atau penutupan yang ketat karena terdampak pandemi begitu parah, Swedia terlihat ”berbeda”. Negara Skandinavia itu justru memberlakukan apa yang disebut Anders Tegnell, pakar epidemiologi negara itu, sebagai pendekatan ”skala kecil” yang dinilai ”lebih berlanjut” dalam jangka waktu lama.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyebut Swedia mempraktikkan gagasan kekebalan kelompok yang harganya mahal, yaitu kasus kematian yang terus bertambah. Ide ini adalah membiarkan orang-orang terinfeksi agar terbentuk kekebalan populasi.
”Swedia melakukan itu (kekebalan kelompok). Swedia sangat menderita. Itulah konsekuensinya,” ujar Trump.
Namun, beberapa waktu lalu, Menteri Kesehatan Swedia Lena Hallengren menyampaikan bahwa”kami tidak pernah memiliki strategi kekebalan kelompok”.
Sejauh ini, Swedia melarang kerumunan di atas 50 orang, menutup sekolah menengah atas dan universitas, serta mengimbau warga berusia 70 tahun ke atas atau yang memiliki risiko tinggi untuk menjalani isolasi mandiri.
Dengan pendekatan yang lebih longgar ini sekolah dasar tetap dibuka, restoran, dan mayoritas aktivitas ekonomi tetap buka. Ini memunculkan kesan bahwa warga Swedia tetap menjalani hari-hari seperti biasa, tidak berada dalam situasi pandemi.
Padahal, data dari Johns Hopkins University menunjukkan, hingga Senin (13/4/2020) pukul 15.43 WIB, Swedia melaporkan 10.483 kasus positif Covid-19 dengan 899 kasus meninggal dunia.
Sebaliknya, negara tetangga Swedia, yaitu Denmark, menerapkan kebijakan yang lebih ketat sejak empat minggu lalu dengan menutup perbatasan, menutup sekolah, dan menutup aktivitas bisnis.
Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen mengatakan, dengan bertindak cepat, Denmark bisa menghindari dampak yang besar dari pandemi. Setelah Paskah ini, negara tersebut akan mulai melonggarkan kebijakan secara bertahap untuk mengembalikan aktivitas sehari-hari, dimulai dengan membuka kembali taman kanak-kanak dan sekolah dasar.
Kebijakan longgar Swedia dalam menghadapi pandemi Covid-19 menjadi sorotan banyak negara. Bahkan, majalah Time pada 9 April 2020 melaporkan, akhir Maret lalu, 2.300 dokter, ilmuwan, dan akademisi menandatangani surat terbuka kepada pemerintah menuntut kebijakan yang lebih ketat.
”Kami pikir strategi mereka tidak berbasis bukti ilmiah,” kata Cecilia Soderberg-Naucler, seorang pakar patogenesis mikroba yang juga menandatangani surat itu. Menurut dia, pemerintah enggan membagikan data yang jadi dasar kebijakan mereka. Ini membuat Cecilia berpikir bahwa strategi pemerintah ”tidak berbasis bukti”.
Namun, bagi Johan Klockar yang menyaksikan putranya bermain bola, kenyataannya tidak demikian. Analis keuangan berusia 43 tahun itu mengatakan, ia dan istrinya bekerja dari rumah dan menghindari pergi keluar rumah untuk keperluan yang tidak penting. Mereka juga hanya bersosialisasi di lingkungan yang sangat kecil dan membatasi kontak putranya hanya dengan orang yang mereka temui di sekolah atau saat berlatih sepak bola.
”Kehidupan sosial tetap berfungsi tapi terbatas,” ujar Klockar. ”Selain sekolah dan berlatih sepak bola, kami pada dasarnya berada di rumah.”
Selama berminggu-minggu, jumlah kasus Covid-19 dan kasus meninggal di Denmark dan Swedia secara proporsional mirip. Kasus kematian di Swedia (populasi 10 juta jiwa) mencapai 88 per satu juta penduduk, sementara di Denmark (populasi 5,6 juta jiwa) 47 kematian per satu juta penduduk.
Meski demikian, Tegnell tetap berpendirian bahwa pendekatan Swedia masuk akal. Swedia mungkin memiliki lebih banyak kasus Covid-19 positif dalam jangka pendek. Namun, dalam jangka panjang, negara itu tidak akan menghadapi lonjakan kasus yang besar yang mungkin dialami Denmark seusai kebijakan penutupan dibuka.
Setelah kenaikan kasus kematian yang tajam di Swedia, Perdana Menteri Stefan Lofven mengajukan peraturan darurat yang memungkinkan penutupan tempat-tempat dan transportasi publik jika diperlukan. Lofven juga memberikan peringatan kepada warganya untuk siap-siap akan kemungkinan kasus kematian bisa mencapai ribuan. (AP/ADH)