Pasukan Pemerintah Pukul Mundur Kelompok Pemberontak
Pasukan pemerintah dukungan PBB dan negara Barat berhasil merebut dua kota utama dari pasukan pemberontak. Eskalasi konflik meningkat meski rakyat Libya juga tengah berhadapan dengan Covid-19.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
TRIPOLI, SELASA — Pasukan Pemerintah Persatuan Libya berhasil menguasai dua kota utama di wilayah barat Tripoli, yaitu Sorman dan Sabratha, Senin (13/4/2020) waktu setempat. Pasukan pemerintah juga dilaporkan berhasil menguasai tiga kota kecil yang selama ini dikuasai kelompok militer pimpinan Khalifa Haftar, yaitu Al-Ajaylat, Regdaline, dan Al-Jmeil.
Sebagai balasan, kelompok militer Haftar menyerang ibu kota Libya, melukai seorang warga, dan mengakibatkan beberapa rumah rusak di salah satu wilayah di kota tersebut.
”Pasukan kami berhasil menguasai Sorman dan Sabratha. Kami juga terus mengejar dan mendesak anggota kelompok Haftar,” kata juru bicara Pasukan Pemerintah Persatuan Libya (GNA), Mohammed Gnunu.
Pasukan pemerintah yang didukung koalisi pimpinan Amerika Serikat itu merebut Sorman dan Sabratha yang selama ini digunakan Pasukan Pembebasan Libya (LNA) pimpinan Haftar sebagai pangkalan militer untuk menyerang Tripoli. Menurut salah satu pimpinan pasukan GNA, Mohammad Al Gammoudi, mereka berhasil menguasai dua kota utama tersebut setelah enam jam pertempuran.
Seorang jurnalis video kantor berita AFP melaporkan, sejumlah anggota pasukan pro-GNA merayakan keberhasilan mereka setelah enam jam bertempur dan merebut Kota Sabratha, yang terletak sekitar 75 kilometer sebelah barat Tripoli.
Melalui laman media sosial Facebook, pasukan GNA juga memublikasikan gambar berbagai macam peralatan tempur dan artileri, mulai dari peluncur roket Grad, 10 tank dan kendaraan lapis baja, yang selama ini digunakan oleh milisi Salafi dukungan LNA dan Haftar.
Sehari sebelumnya, pasukan GNA juga melaporkan bahwa mereka berhasil menembak jatuh dua pesawat tempur dan satu helikopter yang digunakan pasukan LNA pimpinan Gaftar di Kota Misrata. Jubir GNA Mohammed Gnunu mengatakan, dua pesawat tempur yang ditembak jatuh merupakan pesawat tempur buatan China, sedangkan helikopter yang ditembak jatuh adalah Mi-35 buatan Rusia.
Kelompok Haftar tidak berkomentar tentang direbutnya dua kota utama yang selama ini menjadi basis militer mereka. Namun, setelah itu, menurut juru bicara pertahanan sipil GNA, Oussama Ali, puluhan roket menghujani Tripoli dan menghantam kawasan pinggiran Bandara Internasional Mitiga yang terletak di sebelah timur ibu kota dan lingkungan perumahan Soug al-Jomaa yang ada di dekatnya.
Perebutan Sorman dan Sabratha adalah kemenangan paling signifikan GNA sejak Juni tahun lalu ketika pasukannya merebut kembali kota Gharyan, basis pasokan utama untuk pasukan Haftar di barat daya ibu kota.
Jalal Harchaoui, analis Libya dari lembaga Clingendael Institute yang berbasis di Den Haag, Belanda, mengatakan, direbutnya Sorman dan Sabratha merupakan pukulan telak bagi Haftar yang telah kehilangan cengkeramannya di seluruh pantai barat Tripoli. Agresivitas, efisiensi, dan efektivitas serangan pasukan GNA, menurut dia, membaik.
”Artileri berpresisi tinggi di darat, pesawat tanpa awak Turki, dan koordinasi yang lebih baik membuktikan kombinasi yang tangguh melawan pasukan Haftar yang didukung Emirati,” katanya.
Konflik Libya
Peningkatan pertempuran terjadi meskipun ada tekanan internasional untuk menghentikan serangan. Kekhawatiran dunia internasional atas penyebaran virus korona baru, termasuk di Libya, menjadi dasar tekanan atas pelaksanaan gencatan senjata. Libya melaporkan sedikitnya 25 kasus virus dan satu kematian.
Kantor Perwakilan PBB Untuk Urusan Kemanusiaan di Libya sempat mengeluarkan kecaman keras atas serangan udara yang menghancurkan sebuah ambulans di dekat kota Misrata. Akibat serangan itu, seorang petugas kesehatan tewas. Dalam catatan kantor perwakilan PBB itu, serangan tersebut adalah serangan yang kedelapan atas fasilitas kesehatan tahun ini. PBB juga mengecam tindakan kelompok bersenjata yang telah memutus pasokan air untuk lebih dari dua juta penduduk Tripoli dan sekitarnya.
Komite Palang Merah Internasional hari Minggu kemarin juga mengeluarkan pernyataan keprihatinannya bahwa pandemi Covid-19 akan menambah penderitaan banyak keluarga Libya yang sudah berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar di tengah konflik.
”Klinik dan rumah sakit kewalahan merawat orang yang terluka akibat perang dan mereka yang memiliki penyakit kronis sehingga kapasitas mereka untuk menerima pasien Covid-19 terbatas,” kata Willem de Jonge, Kepala Operasi ICRC untuk Libya.
Selama hampir satu dekade, rakyat Libya telah menderita akibat konflik yang berkepanjangan setelah Moammar Kadhafi digulingkan dan tewas dalam pemberontakan tahun 2011 yang didukung negara-negara Barat. PBB mengatakan, ratusan orang terbunuh dan lebih dari 200.000 orang telantar sejak Haftar meluncurkan serangannya untuk merebut Tripoli dari pasukan GNA, mulai April tahun lalu.
Pertempuran semakin sengit ketika negara-negara pendukung masing-masing kelompok turut campur.
Turki telah mengirim drone lapis baja, pertahanan udara, dan baru-baru ini militan Suriah yang memiliki hubungan dengan kelompok-kelompok ekstremis untuk menopang pemerintahan Tripoli yang didukung AS. Sementara Rusia dilaporkan telah mengerahkan ratusan tentara bayaran untuk meningkatkan serangan Haftar. Uni Emirat Arab dan Mesir juga mendukung Haftar dengan jet tempur, drone, dan kendaraan yang tahan ranjau.
Kedua pihak telah sepakat untuk gencatan senjata pada Januari yang ditengahi oleh pendukung GNA (Turki) dan pendukung Haftar (Rusia). Akan tetapi, gencatan senjata itu berulang kali dilanggar. Pada 17 Maret, badan dunia dan sembilan negara meminta pihak-pihak yang bertikai di Libya untuk menghentikan permusuhan guna memungkinkan otoritas kesehatan berperang melawan virus corona baru. (AP/AFP)