Dunia saat ini dihadapkan pada fakta bahwa kekuasaan dan kekuatan, seperti senjata pemusnah massal yang menakutkan, ternyata tidak memberi kekebalan apa pun saat SARS-CoV-2, virus pemicu Covid-19, mendera.
Oleh
B Josie Susilo Hardianto dan Nikson Sinaga
·5 menit baca
Seperti pendulum, saat ini, semua kekuasaan politik seakan kembali ke khitahnya, menjadi sarana untuk membangun kesejahteraan bersama. Bahkan, sejumlah pabrik senjata di beberapa negara, termasuk Indonesia, yang produk utamanya adalah alat untuk mencabut nyawa, kini dikerahkan untuk memproduksi ventilator, alat untuk menyelamatkan nyawa manusia. Tak hanya itu, hampir 10 triliun dollar AS dikucurkan oleh pemerintah negara-negara di seluruh dunia untuk menopang tiga hal utama, yaitu layanan kesehatan, bantuan sosial untuk warga, khususnya warga paling terdampak, serta dunia usaha, termasuk perbankan. Semua demi membendung laju kerusakan yang dipicu pandemi Covid-19.
Di sisi lain, meskipun masing-masing menerapkan kebijakan pembatasan, menutup atau memperketat pos-pos perbatasan (bandara dan pelabuhan), sejatinya setiap negara menjadi sangat tergantung pada langkah negara lain. China dan Korea Selatan, contohnya. Meskipun angka penularan di negara itu telah menyusut tajam, Beijing dan Seoul memberikan perhatian serius pada penularan yang disebabkan oleh kasus impor.
Itu artinya, negara-negara tersebut mengandalkan upaya negara lain untuk menekan laju penyebaran Covid-19. China, Korsel, Rusia, dan India juga mengirimkan bantuan alat tes, alat pelindung diri, masker, dan bahan obat ke negara mitra untuk melawan Covid-19. Pendek kata, tidak bisa seseorang atau negara ”sehat”, sementara di sekitarnya ada banyak orang atau negara ”sakit”.
Dalam situasi itu, setiap negara, bangsa, suku, dan individu menjadi sangat tergantung pada upaya pencegahan dan pengobatan yang dilakukan negara atau individu lain.
Ketika hampir semua negara dan wilayah di bumi ini bertarung melawan Covid-19, ada satu kelompok warga yang hidup dalam ketidakpastian. Mereka adalah pengungsi. Jumlahnya, menurut Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR), lebih dari 70 juta orang, dengan 26 juta orang di antaranya tersebar di sejumlah negara.
Untuk mencegah penularan Covid-19, untuk sementara UNHCR dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), sebagaimana dikatakan juru bicara UNHCR, Melanie Gallant, Selasa (17/3/2020), menangguhkan pemukiman kembali.
Namun, dunia layak berterima kasih kepada Jerman. Sepekan sebelumnya, di tengah perdebatan tentang langkah yang perlu diambil Eropa, Berlin bersedia menampung 80-100 anak dari kamp-kamp pengungsi di Yunani, terutama mereka yang sakit dan sendirian. Mereka melarikan diri dari perang dan kemiskinan di Timur Tengah dan Afrika.
Komisaris Tinggi untuk Pengungsi Filippo Grandi berharap, di tengah pandemi, negara-negara tetap memberikan perhatian dan solider terhadap pengungsi. ”Dalam masa-masa yang penuh tantangan ini, janganlah kita melupakan mereka yang melarikan diri dari perang dan penganiayaan,” katanya.
Dalam kesempatan terpisah, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menegaskan sikap yang sama. ”Kita harus membantu mereka yang sangat rentan, jutaan orang yang paling tidak mampu melindungi diri mereka sendiri,” kata Guterres.
Upaya bersama
Dari laman resmi UNHCR disebutkan, lembaga itu kini tengah mencari cara mengumpulkan dana hingga 255 juta dollar AS untuk mendukung misi itu. Langkah pencegahan menjadi sangat penting karena banyak kamp yang tersebar di banyak negara, seperti Lebanon, perbatasan Turki, dan Cox’s Bazar, Bangladesh, dipadati pengungsi yang hidup dalam keterbatasan. Tak dapat dibayangkan, jika satu pengungsi terjangkit, situasinya bisa berkembang menjadi kritis.
Di Suriah, di mana perang telah memaksa lebih dari 5,3 juta orang melarikan diri ke negara-negara tetangga, Covid-19 menjadi ancaman baru bagi pengungsi yang sama sekali tidak memiliki perlengkapan untuk menghadapinya. ”Kami tidak banyak mencuci tangan karena persediaan air terbatas,” kata Nayef al-Ahmad (33), yang telah hidup selama lima tahun di sebuah kamp tak jauh dari kota Azaz, Suriah.
Kebijakan isolasi pun sulit diterapkan karena padatnya pengungsi. ”Isolasi sangat sulit,” kata Mohamed Tennari, dokter dan koordinator medis di wilayah Idlib. Ia mengatakan, pengungsi tinggal di sekolah dan masjid. Apabila ada yang positif Covid-19, penyakit itu bakal cepat menyebar.
Akan tetapi, bukan tidak ada upaya. Di Idlib, tim pendamping telah menerima 1.500 alat untuk pengujian virus korona baru. Jumlahnya sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah populasi di kamp itu yang mencapai 3 juta orang.
Di kamp lain di Mozambik, tim pendamping memasang poster dan menempatkan tempat cuci tangan untuk meningkatkan kesadaran pengungsi menjaga kebersihan diri. Di Somalia, perusahaan telekomunikasi setempat mengirim pesan tentang pentingnya mencuci tangan. Di negara itu, UNHCR melatih pemimpin komunitas pengungsi dan menjalankan jalur khusus multibahasa untuk melapor apabila ditemukan gejala Covid-19 di antara para pengungsi. Mereka juga membagikan sabun dan membuat lebih banyak tempat cuci tangan.
”Ini bukan pandemi pertama yang kami tangani,” kata Dana Hughes, juru bicara UNHCR Afrika Timur. ”Kami sudah berurusan dengan ebola. Kami sudah berurusan dengan SARS.”
Di Indonesia, sejumlah pengungsi yang ditampung di sebuah hotel di Jalan Jamin Ginting, Medan, Sumatera Utara, berinisiatif membuat masker. Larangan keluar pun diberlakukan untuk meminimalkan risiko tertular.
Masud (26) dan istrinya, Sabekunnahar (22), pengungsi asal Myanmar yang ditemui di kamar mereka, memperlihatkan beberapa helai masker yang mereka buat. Masker itu mereka bagikan kepada sesama pengungsi. ”Saya dan istri membuat masker kain karena kami sangat kesulitan mendapat masker. Kami cari di berbagai toko tidak ada lagi yang jual. Kalaupun ada, harganya tidak masuk akal, bisa Rp 10.000 per helai,” katanya.
Sabekunnahar yang memanfaatkan kemampuannya menjahit tidak mematok harga untuk masker yang dibuatnya. Ada yang memberikan uang secara sukarela atau ada pula yang memberinya kain dan meminta tolong dijahit menjadi masker. ”Di tengah kondisi seperti sekarang, kami harus saling membantu agar bisa bertahan,” kata Masud.
Dalam rilis UNHCR Indonesia, beberapa perempuan pengungsi di Medan, didukung mitra lokal UNHCR, Mapanbumi, memproduksi masker yang dapat dicuci. Masker itu didistribusikan kepada warga yang rentan dan mereka yang terus bekerja di luar rumah. Para perempuan pengungsi ini menargetkan memproduksi 1.000 masker untuk kelompok rentan, seperti penarik becak, tukang sampah, dan manula, di 18 kecamatan di Medan.
”Pandemi ini adalah tantangan global yang harus diatasi melalui kerja sama dan solidaritas nasional dan internasional. Hal ini mengingatkan kita bahwa untuk menangani sebuah darurat kesehatan publik secara efektif, setiap orang, termasuk pengungsi, harus diperlakukan dengan cara-cara yang tidak diskriminatif,” kata Ann Maymann, Kepala Perwakilan UNHCR Indonesia.