Toleransi Arab-Yahudi, dari Andalusia hingga Era Covid-19
Pandemi Covid-19 berdampak positif bagi warga Arab-Israel. Kerja keras para dokter dan perawat keturunan Arab membuat warga Yahudi tidak lagi memandang mereka dengan sikap rasialis.
Sejarah berulang lagi. Jika sejarah telah mengukir dengan tinta emas terbangunnya kehidupan toleransi Arab-Yahudi di Andalusia (wilayah Spanyol sekarang) pada abad 7 Masehi hingga 15 M, kini kehidupan toleransi tersebut tercipta lagi di Israel gegara merebaknya wabah Covid-19.
Kementerian kesehatan Israel melaporkan, hingga Hari Rabu (8/4/2020), korban positif Covid-19 di Israel mencapai 9.404 orang, dan 71 orang di antaranya meninggal.
Merebaknya wabah Covid-19 itu secara umum telah mengubah kultur dan pola pikir rakyat Israel yang terdiri dari sekitar 80 persen warga Yahudi dan 20 persen warga Arab. Warga Arab di Israel menurut biro statistik pusat Israel mencapai 1,890,000 atau 20,95 persen dari keseluruhan penduduk Israel yang mencapai 8,710.000 jiwa.
Warga Yahudi yang sebelum ini memandang warga Arab dengan pandangan rasialis dan diskriminatif, kini warga Yahudi terpaksa bergandengan tangan dan bahu-membahu dengan warga Arab dalam menghadapi musuh bersama mereka, yakni wabah Covid-19.
Bergulirlah banyak cerita tentang peran besar para profesional warga Arab di sektor kesehatan, seperti dokter, perawat dan apoteker hingga petugas kebersihan dalam menolong warga Yahudi yang terkena positif wabah Covid-19 di berbagai rumah sakit di kota-kota Israel.
Sebaliknya, publik Yahudi, khususnya warga Yahudi yang positif terkena wabah Covid-19, kini sudah tidak memandang lagi dengan sebelah mata terhadap peran besar kaum profesional Arab di sektor kesehatan itu. Kini banyak pasien warga Yahudi yang terkena positif Covid-19 berada di bawah perawatan para dokter dan perawat warga Arab di berbagai rumah sakit di Israel.
Bahkan, banyak cerita pula bahwa para profesional warga Arab di bidang kesehatan justru berada di garis depan atau sebagai pahlawan dibanding para profesional warga Yahudi di sektor kesehatan dalam menangani para korban positif Covid-19 dari warga Yahudi.
Menurut catatan kementerian kesehatan Israel, sebanyak 17 persen dokter di Israel adalah dari warga Arab, sebanyak 24 persen perawat di rumah sakit dari warga Arab, sebanyak 47 persen apoteker dari warga Arab, dan 33 persen petugas kebersihan dan teknisi di rumah sakit dari warga Arab.
Ada dua dokter senior dari warga Arab kini menjabat direktur utama di dua rumah sakit Pemerintah Israel di kota Safad dan Naharia—Israel utara. Ada pula 30 dokter Arab yang kini menjabat setingkat manajer di berbagai rumah sakit Yahudi di Israel. Ada juga puluhan peneliti di bidang kesehatan dari warga Arab yang bekerja di pusat penelitian di berbagai universitas di Israel.
Peran besar kaum profesional warga Arab pada era wabah Covid-19 di Israel saat ini, mengundang pujian dari media Israel. Harian Israel, Haaretz, menyebut, tanpa pengorbanan para dokter dan perawat dari warga Arab dalam menangani korban positif Covid-19 dari warga Yahudi, niscaya negara Israel semakin dalam keadaan bahaya.
Harian Haaretz menyerukan, merebaknya wabah Covid-19 hendaknya dijadikan pelajaran bagi warga Yahudi agar segera meninggalkan pola pikir rasialis terhadap warga Arab karena di rumah sakit semua berada dalam posisi yang sama dalam menghadapi kematian.
Media-media Israel juga menyebut, jumlah korban positif Covid-19 di Israel jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara Eropa karena rakyat Israel bersatu, khususnya warga Arab di Israel yang berada di garis depan dalam membantu warga Yahudi.
Dokter dari warga Arab, Abdel Aziz Darawashah yang kini menjabat kepala ruang rawat intensif (ICU) di rumah sakit kota Haifa mengatakan, tim dokter warga Arab bangga dalam menjalankan profesinya dan berhasil membangun kerja sama dengan para dokter Yahudi, khususnya pada era merebaknya wabah Covid-19 saat ini.
Ia menyebut, tim dokter Arab dan Yahudi telah berhasil menguburkan sentimen politik dan rasialisme dengan bergandengan tangan melawan wabah Covid-19. Kisah warga Arab di Israel kini tidak hanya hebat di bidang kesehatan, tetapi juga diharumkan oleh kemampuan mereka membangun kekuatan politik yang memaksa warga Yahudi semakin menghormati mereka.
Perolehan suara Joint List pada pemilu parlemen Israel (Knesset) pada 2 Maret lalu yang mencapai 15 kursi dari 120 kursi Knesset, telah membuat terenyak publik Israel. Joint List Arab pimpinan Ayman Odeh adalah aliansi dari empat partai Arab di Israel, yaitu Partai Balad, Hadash, Ta’al, dan United Arab List. Pada pemilu parlemen bulan September 2019, Jont List mendapat 13 kursi dan pada pemilu bulan April 2019 hanya meraih 10 kursi.
Peningkatan perolehan kursi Joint List di Knesset itu, berkat peningkatan partisipasi warga Arab di Israel dari pemilu ke pemilu. Hal itu menunjukkan meningkatnya kesadaran warga Arab di Israel tentang semakin pentingnya perjuangan lewat Knesset untuk mendapatkan hak-hak mereka baik di wilayah Israel sekarang maupun di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Apa yang terjadi dengan kehidupan toleransi Arab-Yahudi di Israel pada saat merebaknya wabah Covid-19 saat ini mengingatkan kembali pada kehidupan toleransi di Andalusia.
Andalusia adalah wilayah Spanyol selatan saat ini yang pernah di bawah kekuasaan Arab Muslim selama hampir 7 abad. Peninggalan kekuasaan Arab Muslim di Andalusia saat ini adalah kota Granada dan Cordoba dengan arsitektur masjidnya yang sangat indah. Jutaan turis dari mancanegara mengunjungi Granada dan Cordoba setiap tahun yang menjadi andalan obyek wisata di Spanyol saat ini.
Sejarah Andalusia yang memanjang dari abad ketujuh Masehi hingga abad ke-15 Masehi terbagi dalam lima tahapan, yaitu era dinasti Umawi, era Muluk al Tawaif, era Murabitun, era Muwahhidun, dan era Bani Ahmar.
Era Umawi yang berlangsung selama 300 tahun merupakan era kekuasaan terpanjang dan menjadi era paling maju dan makmur, baik dalam kehidupan politik, ekonomi dan budaya. Pada era dinasti Umawi itu disebut era kejayaan Andalusia. Puncak kehidupan toleransi agama di Andalusia terjadi para era Umawi.
Tiga agama samawi, yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi, hidup berdampingan secara damai sekian ratus tahun di tanah Andalusia pada era Umawi. Bahkan, bagi kaum Yahudi, era Andalusia adalah era keemasan kaum Yahudi di Eropa dalam meraih kedamaian dan ketenangan hidup mereka. Komunitas Yahudi di Maroko dan Tunisia saat ini adalah mereka yang memilih menyingkir ke Afrika utara dari Andalusia setelah ambruknya kekuasaan Arab Muslim di Andalusia karena mereka khawatir tidak menikmati lagi budaya kehidupan toleransi beragama pada era penguasa baru saat itu..
Mantan Presiden AS, Barack Obama, ketika menyampaikan pidato historisnya dari mimbar Universitas Kairo pada 2009, sempat memuji era Andalusia yang bisa dijadikan teladan dalam toleransi kehidupan beragama dan hubungan Islam-Barat.