Arab Saudi Memacu Produksi dan Ekspor, Perang Harga Minyak Dimulai
Riyadh memutuskan untuk menaikkan produksi minyak menjadi 12 juta barel per hari dan ekspor 10,6 juta per hari yang membuat harga minyak anjlok. Banyak perusahaan tambang dan negara terancam.
Oleh
Kris Mada
·3 menit baca
RIYADH, RABU — Perang harga minyak resmi dimulai Arab Saudi, Rabu (1/4/2020) ini. Selain meningkatkan produksi hingga 12 juta barel per hari, Riyadh juga mulai Mei 2020 memacu ekspor hingga 10,6 juta barel per hari.
Saudi Aramco, perusahaan minyak Arab Saudi sekaligus perusahaan minyak terbesar di bumi, meminta perusahaan jasa energi mendukung rencana peningkatan produksi. Peningkatan produksi diputuskan untuk dimulai 1 April 2020 sampai dengan periode yang akan ditetapkan kemudian hari.
Para kontraktor Aramco diminta menyediakan peralatan dan tenaga kerja yang dibutuhkan untuk produksi. Bahkan, Aramco mempertimbangkan kemungkinan menaikkan produksi lagi sampai dengan 13 juta barel per hari.
Riyadh juga akan menambah ekspor minyak mentah menjadi 10,6 juta barel per hari. ”Kerajaan berencana meningkatkan ekspor minyak hingga 600.000 barel per hari mulai Mei sehingga total ekspor akan menjadi 10,6 juta barel per hari,” demikian pernyataan resmi Kementerian Energi Arab Saudi.
Peningkatan ekspor dilakukan dengan memacu konsumsi gas dalam negeri sehingga konsumsi minyak berkurang. Selain itu, produksi juga dinaikkan. Hingga Maret 2020, Arab Saudi mengekspor rata-rata 7 juta barel per hari.
Volume itu sesuai dengan kesepakatan antara Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan Rusia pada 2016. Kesepakatan pengendalian produksi dan ekspor dengan maksud meningkatkan harga itu berakhir pada Selasa (31/3).
Riyadh memutuskan menaikkan produksi dan ekspor setelah Rusia menolak tawaran OPEC untuk mengendalikan harga. OPEC dan Moskwa gagal bersepakat dalam pertemuan di Vienna, Austria, pada Maret 2020.
Kala itu, seharusnya Rusia dan OPEC membahas kelanjutan pengendalian pasokan minyak di tengah penurunan harga akibat wabah Covid-19 dan perlambatan ekonomi global.
Karena gagal mencapai kesepakatan baru, Riyadh memutuskan memacu produksi dari rata-rata 10 juta barel menjadi 12 juta barel per hari. Keputusan itu membuat harga minyak anjlok.
Banyak perusahaan tambang dan negara terancam akibat keputusan Riyadh. Amerika Serikat yang merupakan sekutu Arab Saudi termasuk terancam dengan keputusan itu.
”Kerajaan akan menjadi pihak terakhir yang bertahan karena cadangan uang dan kemampuan meminjam jika butuh. Bagi yang lain, termasuk produsen minyak serpih AS dan perusahaan minyak Kanada, ini ancaman kelangsungan hidup di mana akan berlangsung periode panjang produksi rendah kala harga hampir nol,” demikian dipaparkan perusahaan riset, JBC Energy.
Washington sudah bolak-balik merasakan dampak perang harga minyak yang dipimpin Riyadh. Dampak terakhir dirasakan pada 2014 kala Riyadh marah atas keputusan Washington menolak ikut mengendalikan harga di tengah semangat produksi minyak serpih di AS.
Arab Saudi memacu produksi sehingga harga anjlok menjadi di bawah biaya produksi minyak serpih, yakni minyak yang disedot di antara rekahan bebatuan di bawah permukaan bumi. Akibatnya, banyak perusahaan minyak serpih AS bangkrut.
Karena itu, Presiden AS Donald Trump menyebut perang harga minyak Riyadh-Moskwa sebagai kegilaan. Trump membahas perkembangan harga minyak itu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
”Tidak diragukan lagi, ada pemahaman bahwa pasar minyak sekarang tidak sesuai dengan kepentingan negara kita,” kata juru bicara Kepresidenan Rusia, Dmitry Peskov, soal pembicaraan Putin-Trump.
Trump menyatakan siap bergabung dalam perundingan Moskwa-Riyadh jika memang dibutuhkan. ”Mereka sedang berunding dan saya akan bergabung pada waktu yang tepat jika dibutuhkan,” ujarnya.
Trump beberapa kali mengisyaratkan keberatan kepada OPEC. Washington pernah membahas usulan kerja sama dengan Riyadh.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dan Menteri Energi AS Dan Brouillette pernah membahas kongsi itu dengan Penasihat Keamanan Nasional AS Robert O’Brien.
Gedung Putih pernah meminta Kementerian Energi menyusun rancangan kerja sama itu. Walakin, pembahasan tidak dilanjutkan karena dikhawatirkan melanggar aturan antimonopoli AS. (REUTERS/AFP)