Enam Negara Eropa di DK PBB Kecam Peluncuran Rudal Korut
Enam negara Eropa di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa kecam peluncuran rudal yang dilakukan oleh Korut. Enam negara Eropa tersebut, yakni Belgia, Estonia, Perancis, Jerman, Polandia, dan Inggris.
NEW YORK, RABU — Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak mengeluarkan pernyataan setelah membahas uji coba atau peluncuran rudal terbaru yang dilakukan Korea Utara. Namun, enam negara Eropa di DK PBB mengecam peluncuran rudal yang terus berulang yang dilakukan oleh Korut.
Eropa menyebut bahwa apa yang dilakukan oleh Korut itu menggambarkan upaya berkelanjutan untuk mengembangkan program rudal balistik dan perluasan pabrik atau gudang senjatanya.
Enam negara Eropa di DK PBB tersebut, yakni Belgia, Estonia, Perancis, Jerman, Polandia, dan Inggris. Mereka menyampaikan dalam sebuah pernyataan sikap setelah diskusi tertutup dengan DK PBB, Selasa (31/3/2020) waktu New York, menyatakan bahwa mereka sangat prihatin dengan uji coba rudal yang dilakukan Korut dengan menggunakan teknologi rudal balistik.
Korut telah melakukan 17 kali peluncuran rudal sejak Mei 2019, termasuk peluncuran selama empat bulan terakhir ini, dan yang terbaru adalah peluncuran pada 29 Maret 2020.
Enam negara Eropa di DK PBB tersebut mengecam tindakan provokatif seperti itu. Korut dinilai merusak keamanan dan stabilitas regional, serta perdamaian dan keamanan internasional, dan jelas-jelas melanggar resolusi DK PBB yang diadopsi dengan suara bulat.
Baca juga: Dunia Berjibaku Melawan Covid-19 Korut, Tembakkan Dua Rudal Balistik
Wakil Duta Besar Jerman untuk PBB Juergen Schulz mengatakan kepada DK PBB bahwa sangat disayangkan Korut justru memberikan prioritas pada program senjata ilegalnya daripada menjadikan solidaritas dan kerja sama global sebagai prioritas utama dan bekerja sama dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan PBB untuk mengatasi ancaman global yang belum pernah terjadi sebelumnya, yakni pandemi Covid-19.
”Sayangnya, tampaknya ada kurangnya transparansi dalam kerja sama DPRK (Korut) dengan PBB terkait Covid-19. Yang kami temukan justru hal-hal berbahaya dan kalimat-kalimat sinis,” kata Schulz.
Memantau sanksi
Komite DK PBB yang memantau sanksi terhadap Korut yang dikepalai Jerman telah mengabulkan semua permintaan pembebasan kemanusiaan terkait Covid-19 dengan kecepatan dan urgensi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
”Oleh karena itu, sanksi tidak ada hambatan untuk secara efektif memerangi Covid-19 di DPRK,” kata Schulz.
Pembicaraan untuk mengendalikan program nuklir Korut sudah macet sejak gagalnya KTT kedua antara Pemimpin Korut Kim Jong Un dan Presiden AS Donald Trump pada awal 2019, di mana AS menolak permintaan Korut untuk mencabut sanksi besar sebagai imbalan pelucutan senjata nuklirnya atau denuklirisasi.
Menyusul kegagalan perundingan tersebut, Korut pun mengakhiri jeda 17 bulan kegiatan balistiknya dan memulai kembali peluncuran senjata sambil menekan AS dan Korea Selatan agar memberikan konsesi.
Peluncuran senjata yang dilakukan Korut tersebut termasuk rudal jarak menengah yang dapat diluncurkan dari kapal selam, peluncur roket berganda ”superbesar”, dan sistem rudal berbahan bakar padat yang baru.
Pernyataan bersama enam negara Eropa di DK PBB tersebut kembali mendesak Korut untuk terlibat dengan itikad baik dalam negosiasi yang berarti dengan AS yang bertujuan denuklirisasi.
Korut juga diharapkan mengambil langkah konkret untuk menghancurkan semua senjata pemusnah massal dan program rudal balistiknya dengan cara yang dapat diverifikasi, tidak dapat diubah, dan menahan diri untuk tidak melakukan provokasi lebih lanjut.
Baca juga: Pyongyang Ancam Hentikan Dialog Nuklir dengan Washington
Menurut enam negara Eropa tersebut, tidak ada cara lain untuk mencapai keamanan dan stabilitas di semenanjung Korea. ”Risiko provokasi yang berkelanjutan bisa merusak prospek untuk keberhasilan negosiasi,” demikian pernyataan mereka. Mereka meminta DK PBB dan semua negara untuk menerapkan sanksi terhadap Korut.
China dan Rusia telah menyerukan pelonggaran sanksi terhadap Korut untuk memacu dimulainya kembali pembicaraan antara Pyongyang dan Washington.
Namun, resolusi bersama China dan Rusia yang mengusulkan pelonggaran sanksi telah mereda di DK PBB karena AS dan para sekutunya dan juga anggota DK PBB lainnya ingin melihat tindakan Korut terhadap denuklirisasi sebelum sanksi-sanksi dicabut.
Baca juga: Dewan Keamanan PBB Diminta Cabut Sanksi atas Korut
Banyak resolusi
Dalam laman milik organisasi Council on Foreign Relations (CFR) dipaparkan bahwa sejak tahun 2006, semua anggota DK PBB telah secara bulat mengeluarkan banyak resolusi berisi kecaman terhadap program senjata nuklir Korut dan pemberlakuan sanksi di negara itu. Sanksi itu, antara lain, pembekuan aset mereka yang terlibat program pengembangan senjata nuklir, pelarangan perdagangan alat-alat militer, pelarangan ekspor alat elektronik, batubara, makanan laut, dan produk pertanian lain.
Selain DK PBB, negara-negara mitra AS juga menjatuhkan sanksi tersendiri secara unilateral. Jepang mulai memberlakukan sanksi unilateralnya kepada Korut tahun 2006.
Beberapa klausul sanksi telah dicabut Jepang tahun 2014 sebagai upaya membujuk Pyongyang agar melakukan investigasi atas hilangnya warga Jepang pada tahun 1970-1980. Jepang kemudian menerapkan sanksi baru pada tahun 2016 dan 2017 sebagai respons atas uji coba nuklir dan rudal.
Sanksi itu berupa larangan warga Korut memasuki wilayah Jepang, pembekuan aset Korut, dan pembatasan pengiriman uang maksimal 880 dollar AS. Jepang juga memonitor implementasi sanksi itu, termasuk pergerakan kapal Korut di perairan regional.
Namun, tim pemantau PBB menyebutkan bahwa Korut kini sedang berusaha untuk memastikan agar kemampuan nuklir dan rudal balistiknya tidak bisa dihancurkan oleh serangan militer.
Hal itu terungkap dalam laporan rahasia untuk komite sanksi DK PBB yang dilihat wartawan kantor berita Reuters pada Senin (4/2/2019). Laporan tersebut telah diserahkan kepada DK PBB.
Laporan PBB juga menunjukkan bahwa sanksi terhadap Korut sebenarnya tidak efektif. ”Korut terus menentang resolusi Dewan Keamanan PBB dengan meningkatkan pengiriman minyak bumi dan batubara dari kapal ke kapal secara ilegal. Ini membuat sanksi PBB tak efektif,” sebut laporan itu.
Tim pemantau memiliki bukti pengiriman produk minyak bumi lebih dari 57.600 barel senilai sedikitnya 5,7 juta dollar AS.
Di Washington, kepada Kongres, Direktur Intelijen Nasional AS Dan Coats mengatakan bahwa Korut tidak akan menyerahkan semua senjata nuklir dan kemampuan produksinya meski upaya negosiasi Presiden Trump membuahkan hasil.
Dalam laporannya, Coats menyatakan, Korut terus berupaya mengantisipasi dampak tekanan AS. Korut melihat kemampuan mereka memproduksi senjata nuklir sangat penting untuk keberlangsungan rezim Kim. (AP/AFP/REUTERS)