Pandemi Covid-19 memaksa sejumlah negara mengambil tindakan tegas agar laju penyebaran virus bisa ditahan. Aturan isolasi diri hingga pembatasan atau penutupan wilayah diberlakukan.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
REUTERS/FLAVIO LO SCALZO
Peti-peti jenazah korban Covid-19 terlihat di krematorium di kota Serravalle Scrivia, Italia, Senin (23/3/2020).
Pandemi Covid-19 memaksa sejumlah negara mengambil tindakan tegas agar laju penyebaran virus bisa ditahan. Aturan isolasi diri hingga pembatasan atau penutupan wilayah diberlakukan. Negara-negara yang bisa menerapkan ”tangan besi” bisa dengan mudah memberlakukan denda berat serta mengerahkan tentara dan polisi untuk memaksa warga mengisolasi diri.
Meskipun disebut tidak semematikan sindrom pernapasan akut parah (SARS) atau sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS), wabah Covid-19 yang saat ini telah ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai pandemi tidak dapat dipandang remeh. Cepatnya penularan dan penyebarannya memicu aneka dampak, apalagi hingga saat ini belum ada obat dan vaksin yang dapat diandalkan untuk menahan laju penyebaran.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran adalah dengan pembatasan sosial dan karantina mandiri. Namun, sejumlah komunitas dengan aneka alasan masih melanggarnya meskipun pemerintah mereka telah menetapkan kebijakan pembatasan.
Untuk memastikan kebijakan itu ditegakkan, Malaysia, misalnya, mengerahkan tentara untuk memastikan larangan bepergian warga selama dua pekan dipatuhi. Di Malaysia saja ada 1.183 kasus positif Covid-19 dan 9 orang tewas. Di seluruh wilayah Asia Tenggara total ada 3.200 kasus positif yang tersebar di Malaysia, Thailand, Indonesia, Singapura, dan Filipina.
Tidak mudah untuk bertahan di dalam rumah saja selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, seperti di China, Korea Selatan, Jepang, Italia, Amerika Serikat, dan negara lain. Namun, karena situasi, mau tak mau aturan itu harus dipatuhi meski belakangan banyak kasus warga mulai stres dan mencoba melawan serta melanggar aturan isolasi diri.
Di Inggris, media sosial digunakan tidak untuk menyebarkan berita bohong, tetapi untuk berbagi ide apa saja yang bisa dilakukan guna membantu orang yang lebih tua atau orang yang sedang mengisolasi diri.
Di Codogna, kota kecil di Lombardia, Italia, yang menjadi titik awal pandemi di negara itu, suasana terlihat sepi sunyi sejak aturan pembatasan diberlakukan. Jalanan yang sepi, transportasi umum yang kosong, serta restoran dan bar yang tutup menjadi pemandangan umum tidak hanya di Italia, tetapi juga di sejumlah negara lain.
Sejak kasus pertama ditemukan, bulan lalu, belum ada gambaran kota akan ditutup dengan pos penjagaan polisi di mana-mana, seperti yang biasa disaksikan dalam film-film aksi Hollywood. Dua hari setelah dinyatakan terjadi wabah, denyut nadi kota modern itu terhenti. Padahal, kota tua berusia 1.000 tahun yang penuh dengan kafe tersebut tidak pernah sepi. Warga yang biasanya bisa bebas ke mana-mana tiba-tiba disuruh tinggal di rumah saja.
Yang mengejutkan, kata Roberto Cighetti, guru sains di salah satu sekolah di kota itu, seperti dilaporkan situs BBC, warga bisa cepat beradaptasi. ”Prioritas orang jadinya hanya makanan, kesehatan, dan keluarga. Itu saja,” ujarnya.
Panik belanja, kata Cighetti, adalah gejala sosial awal epidemi. Sulit menjaga etika dan perilaku ketika orang dalam kondisi tertekan. Warga tidak lagi panik berbelanja dan menimbun barang kebutuhan ketika supermarket mengumumkan tidak akan ada kekurangan makanan dan kebutuhan lain. ”Begitu warga yakin tidak ada masalah suplai makanan, perilaku panik itu berhenti sendiri,” katanya.
Kabar bohong
Tantangan sosial selanjutnya adalah banjir kabar atau berita palsu. Berbagai informasi palsu atau tidak benar disebarkan cepat melalui aplikasi pesan Whatsapp. Semua informasi meluncur bebas, berita hoaks, informasi pengobatan yang keliru, bahkan teori konspirasi menyebar tanpa kendali. Hasilnya, warga saling menyebarkan ketakutan berjemaah.
”Entah kenapa ada dorongan menyebarkan informasi asal apa saja tanpa dicek dulu kebenarannya. Mereka hanya menciptakan kegelisahan, panik, ketakutan, bahkan level kepercayaan jadi rendah,” kata Cighetti.
Menurut pakar epidemiologi David Heymann, hal itu terjadi karena untuk pertama kalinya dalam sejarah orang bisa mengikuti perkembangan pandemi setiap saat berkat kemajuan teknologi. Kabar bohong ini merajalela karena diperparah dengan keharusan warga untuk menjaga jarak sosial. Ada konsekuensi pada kejiwaan warga. Pandemi Covid-19 menunjukkan betapa rapuhnya dunia sekarang. Namun, masalah kejiwaan itu bisa sedikit dicegah dengan menjaga komunikasi dengan ”dunia luar” agar saling menguatkan.
AFP/MOHD RASFAN
Anggota kepolisian dan tentara Kerajaan Malaysia, Rabu (25/3), di Kuala Lumpur, menghentikan pengendara sepeda motor saat pembatasan ketat diberlakukan di negara itu. Langkah itu diambil untuk membatasi mobilitas warga demi mencegah penularan virus SARS-CoV-2 yang menjadi penyebab Covid-19.
Solidaritas
Dalam situasi yang serba muram dan penuh ketakutan, warga Italia mencoba berbagi rasa dan saling menguatkan dengan saling bernyanyi dan memainkan musik dari balkon-balkon rumah masing-masing. Mereka juga minum bersama secara daring melalui panggilan video karena tak bisa bertatap muka. Kumpul-kumpul minum-minum setelah jam kerja kini dilakukan melalui aplikasi Instagram.
Di kota Paris, Perancis, warga setiap hari membuka jendelanya pada malam hari untuk bersama-sama memberikan tepukan tangan penyemangat bagi para pekerja medis yang sudah bekerja tanpa henti. Pada jam yang sama terdengar tepuk tangan dan teriakan ribuan warga.
Di Inggris, media sosial digunakan tidak untuk menyebarkan berita bohong, tetapi untuk berbagi ide apa saja yang bisa dilakukan guna membantu orang yang lebih tua atau orang yang sedang mengisolasi diri.
Jika pengalaman Italia menjadi panduan, hal itu akan membawa perubahan mood dalam respons publik pada Covid-19. Pada awalnya, Cighetti mengaku isolasi diri bagaikan liburan yang membosankan karena kota betul-betul mati. Namun, karena mau tak mau harus terbiasa, banyak orang mengubah kebiasaan.
Wali Kota Codogna Francesco Passerini melukiskan situasi saat ini sudah seperti kondisi perang. Meski demikian, ia tetap yakin pada akhirnya krisis ini akan berlalu. ”Berbeda dengan nenek moyang kita yang harus berperang untuk kemerdekaan, kita juga berjuang dengan tetap tenang, berpikir waras, dan bertanggung jawab,” ujarnya. (AFP)