Hong Kong, Rabu— Paramiliter China diduga terlibat dalam penanganan rangkaian unjuk rasa di Hong Kong pada 2019. Walakin, mereka lebih banyak memantau unjuk rasa yang telah berlangsung selama delapan bulan itu.
Anggota DPR Hong Kong, James To, mengungkapkan bahwa sejumlah polisi Hong Kong membawa anggota paramiliter China ke garis depan penanganan unjuk rasa. Kehadiran anggota unit yang dikenal sebagai People Armed Police (PAP) itu dinyatakan akan berlanjut sampai beberapa waktu ke depan.
Beijing memilih mengirim polisi dibandingkan dengan tentara untuk menangani unjuk rasa di Hong Kong. Sebab, pengiriman tentara akan berdampak besar bagi citra China di pentas internasional.
”Pemerintah dan kepolisian harus menjelaskan ini demi memastikan (prinsip) ’Satu Negara Dua Sistem’ dihormati,” ujarnya seperti dikutip Reuters, Rabu (18/3/2020).
Hong Kong memang bagian dari China. Namun, Hong Kong menjalankan sistem terpisah dari China. Beijing berjanji prinsip itu akan berlaku sampai 2047. Kehadiran PAP, sejenis Brimob di Indonesia, dianggap tidak sesuai prinsip itu.
Sejumlah diplomat di Hong Kong juga menyebut kehadiran PAP selama penanganan unjuk rasa. Jumlah anggota PAP di Hong Kong diperkirakan 4.000 orang. Bersama tentara yang ditempatkan di Hong Kong, Beijing menyiagakan total 12.000 aparat di kota itu. Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) punya pangkalan di Hong Kong. Secara resmi, mereka hanya berlatih di pangkalan yang terletak di Pulau Stonecutters dan kawasan Stanley di selatan Hong Kong.
Juru bicara biro keamanan Hong Kong, Lawrence Li, mengatakan, mereka tidak
memiliki wewenang di Hong Kong.
Sementara pengamat militer yang berkedudukan di Singapura, Alexander Neill, mengatakan bahwa keamanan Hong Kong penting bagi Beijing. ”Ini masalah keamanan nasional China dan PAP ke sana (Hong Kong) untuk alasan itu,” ujarnya.
Penyelidikan
Di sisi lain, secara terpisah, anggota DPR Hong Kong dari Partai Civic, Tanya Chan, kembali menekankan pentingnya penyelidikan internasional atas dugaan kekerasan oleh polisi selama menangani unjuk rasa. ”Berita-berita soal unjuk rasa adalah bukti kebrutalan polisi,” ujarnya sebagaimana dikutip HongkongFP.
Ia marah dengan upaya polisi membela diri atas rangkaian kekerasan selama penanganan unjuk rasa. ”Semua dalam tekanan, tetapi itu bukan alasan (untuk melakukan kekerasan),” ujarnya.
Pendiri Pemantau HAM Warga Negara, Icarus Wong, mengatakan, kepolisian bertindak di atas hukum. Aparat yang diduga bersalah tidak dihukum dengan layak. Ia menunjuk 21 polisi yang hanya ditahan singkat meski diduga kuat melakukan kekerasan berlebihan. Salah seorang polisi terekam sengaja menabrak pengunjuk rasa.
Sejumlah warga Hong Kong kini menggugat kekerasan itu. Gugatan itu, di antaranya diajukan Ketua BEM Universitas Pendidikan Hong Kong Kex Leung Yiu-ting. Ia menyatakan dipukuli oleh polisi di stasiun Pangeran Edward dan Lai Chi Kok. Pengadilan memerintahkan perusahaan kereta Hong Kong menyerahkan rekaman saat insiden itu terjadi untuk dijadikan bukti. (REUTERS/RAZ)