Pengalaman WNI Menghadapi Wabah di Sejumlah Kota di China
Karantina pribadi di rumah, apartemen, dan asrama dijalankan warga negara Indonesia di China untuk menghindarkan diri dari wabah Covid-19.
Oleh
Iwan Santosa
·5 menit baca
Untuk mencegah penularan wabah penyakit, social distancing (menjaga jarak sosial) dengan mengurangi aktivitas masyarakat diterapkan sejak lama di China. Berbagai pengalaman yang dialami warga negara Indonesia sejak zaman SARS tahun 2003 hingga wabah virus korona tahun 2020 dilalui dengan tabah dan selamat melalui mekanisme social distancing.
Adi Harsono, bersama istrinya, Mari Elka Pangestu, pernah mengalami ”dikurung” di Shanghai selama sepekan. Hal itu dilakukan setelah Mari Pangestu ketahuan menumpang pesawat Singapore Airlines dari Singapura ke Shanghai yang ditumpangi seseorang yang terinfeksi SARS.
”Semua penumpang dari penerbangan yang sama dicari otoritas China. Selanjutnya semua diminta tinggal dan tidak meninggalkan rumah atau apartemen selama seminggu. Kami diawasi kepala lingkungan dan keamanan setempat. Untuk memesan makanan masih diizinkan dan makanan dikirim di depan tempat tinggal kami. Kondisi kesehatan juga dicek setiap hari,” tutur Adi Harsono yang pernah memimpin Kamar Dagang Indonesia di Shanghai.
Seluruh proses dijalani dengan tertib selama seminggu. Setelah semua dinyatakan aman, pasangan Adi Harsono dan Mari Elka Pangestu kembali beraktivitas seperti biasa.
Semasa wabah Covid-19 merebak di kota Wuhan, awal 2020, beberapa pelajar Indonesia juga menjalani social distancing dengan tetap tinggal di asrama. Ada pula mahasiswa kedokteran asal Indonesia yang turut membantu di rumah sakit pemerintah di kota Chengdu, Provinsi Sichuan.
Budy Sugandi, kandidat doktor Jurusan Kepemimpinan Pendidikan dan Manajemen di Southwester University di kota Chong Qing, menceritakan, hingga akhir Januari 2020, masih ada 107 WNI dari 219 WNI terdaftar (tanggal 27 Januari 2020) yang umumnya pelajar di Chong Qing yang bertahan dan tinggal di asrama-asrama mahasiswa. ”Yang akan pulang akhir Januari (28 Januari) hingga 2 Februari ada 34 orang,” kata Budi yang juga Wakil Katib PCNU Tiongkok.
Asrama mahasiswa asing di kampus-kampus di China, berdasarkan pengalaman penulis diundang mengisi sejumlah kuliah umum di sejumlah kampus di China, dibangun di komplek kampus, bersama asrama mahasiswa lokal, pusat pertokoan, dan hotel. Beberapa kampus besar bahkan memiliki hotel bintang tiga dan bintang empat di kompleks kampus untuk membantu akomodasi pengunjung dalam kegiatan kampus dan juga menerima tamu umum.
Mahasiswi tahun pertama di China Pharmaceutical University, Nanjing, Marviella Christabelle, menceritakan hari-harinya dikarantina di asrama mahasiswa di kampus. Hingga hari ini (16 Maret 2020), dia bertahan bersama mahasiswi-mahasiswi asal Bangladesh.
”Sehari-hari kami di asrama. Tidak bisa meninggalkan asrama, tetapi bisa belanja makanan di supermarket kampus,” kata Abelle yang berasal dari Bogor dan mengambil Jurusan International Economics and Trade. Sekali berbelanja, mereka membeli bahan makanan yang kemudian digunakan memasak beberapa hari.
Asrama mahasiswa di kampusnya terdiri atas dua gedung, satu gedung yang dihuni Abelle dan kawan-kawan asal Bangladesh dan satu gedung disiapkan untuk karantina mahasiswa-mahasiswi yang kembali ke kampus pascakrisis Covid-19.
Pihak kampus juga memantau kondisi kesehatan mereka secara teratur. Bagi orang asing, sistem asrama di China terkesan sangat ketat. Di asrama mahasiswa lokal, seperti dilihat penulis, setiap malam, pintu asrama digembok dan ada petugas yang menjaga.
Asrama mahasiswa asing lebih leluasa, tetapi keluar-masuk dan jika harus pulang malam diwajibkan memberi tahu terdahulu pihak kampus atau penjaga.
Lain lagi cerita di Chengdu, ibu kota Provinsi Sichuan. Dokter Adrian Wilson Wijaya yang sedang menempuh S-2 turut membantu di rumah sakit setempat, West China Hospital of Sichuan University.
Adrian menceritakan, pemerintah provinsi Sichuan melalui Komite Kesehatan menginstruksikan Siaga 1 menghadapi virus korona di provinsi tersebut, khususnya kota Chengdu. Penanganan virus korona dilakukan dengan melarang warga keluar rumah, jika keluar rumah harus menggunakan masker pelindung N95 (masker diganti tiga hari sekali), selalu menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan mencuci tangan, mengganti pakaian setelah bepergian, tidak melakukan arisan keluarga dan kegiatan sosial lainnya, serta menutup acara publik seperti perayaan Imlek dan festival lampion. Pemeriksaan suhu tubuh diberlakukan di ruang publik secara ketat.
Adrian menambahkan, jika dicurigai terjadi infeksi virus korona, yang bersangkutan diminta segera menuju ke rumah sakit rujukan pemerintah. Petugas kesehatan mendatangi dan memeriksa semua orang yang memiliki catatan terpapar atau berinteraksi dengan penderita virus korona atau bepergian ke kota Wuhan.
Pasien yang memiliki sejarah medis di atas harus diisolasi di rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut. Adrian bertugas di rumah sakit yang menyediakan 400 tempat tidur di ruang isolasi khusus penderita Covid-19. Sebagai mahasiswa pascasarjana, dia dilibatkan bekerja di rumah sakit pemerintah semasa libur Imlek tersebut.
Lain lagi pengalaman Ahmad Syaifudin Zuhri, kandidat doktoral di Central China Normal University, Wuhan, soal penanganan virus korona. Zuhri dan istrinya, Milla, beserta putrinya sudah tinggal beberapa tahun di Wuhan.
Ada hal-hal menarik menurut Zuhri yang bisa dipelajari dari pengalaman China menangani virus korona di kota Wuhan dan secara umum di wilayah lain. Ada pemasangan thermal scanner untuk memantau suhu tubuh manusia di berbagai pelosok ruang publik, penyebaran informasi melalui SMS (SMS blast) soal menjaga kebersihan diri dan rumah, menjauhi keramaian, serta memakai masker ketika keluar rumah.
”Penyemprotan disinfektan rutin dilakukan di perumahan dan ruang publik, pengecekan kesehatan ke tiap rumah oleh petugas kesehatan, penyediaan layanan hotline kesehatan dan dokter 24 jam dalam bahasa Mandarin dan bahasa asing lainnya. Sistem informasi terpadu berbasis online yang mudah diakses dengan aplikasi Wechat,” tutur Zuhri.
Berbagai pesan pencegahan virus korona dikemas dalam ilustrasi grafis yang menarik di platform media sosial pemerintah. Dilakukan pula kontrol ketersediaan logistik bagi masyarakat. Militer berperan dalam membantu kelancaran bahan makanan ke supermarket di Provinsi Hubei. Perusahaan logistik swasta menggratiskan pengiriman bahan medis ke pusat-pusat kesehatan di Provinsi Hubei.
Zuhri menambahkan, yang tidak kalah penting adalah imbauan pemerintah agar warga tidak beraktivitas keluar rumah. Kompleks apartemen dan perumahan dijaga ketat dengan penambahan frekuensi patroli keamanan dan komunitas.
Berbagai pengalaman WNI saat krisis di China tersebut dapat menjadi bahan pelajaran bagi kita bersama saat menghadapi pandemi global yang kini terjadi.