Konflik Suriah memasuki tahun ke-10. Meski sejumlah daerah dapat ”dibersihkan” dari cengkeraman kelompok perlawanan, kehidupan rakyat Suriah belum bisa kembali normal.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
DAMASKUS, KAMIS -- Suara tembakan mungkin tidak terdengar lagi di jalanan ibu kota Suriah, Damaskus. Namun, bagi Abdelqader Qasem, penjual bunga, kondisi sepi seperti itu tidak berarti akan terwujud perdamaian. Perang Suriah yang telah berlangsung hampir 10 tahun ini masih jauh dari reda. Bagi Qasem (42), perang Suriah menyebabkan luka yang tak akan terlupakan.
”Perang itu merampas semua yang saya sayangi. Mazen, anak saya, lengan kiri saya, dan kaki yang cacat,” kata Qasem, Kamis (12/3/2020). Qasem menjadi korban ledakan bom mobil tahun 2013.
Sejak perang meletus pada 2011, sedikitnya 380.000 orang tewas dan jutaan orang terpaksa mengungsi.
Perang bermula dari gelombang unjuk rasa anti-pemerintah pada 15 Maret 2011. Pengunjuk rasa menuntut hak dan perubahan rezim. Sembilan tahun lalu, sekelompok remaja yang terinspirasi protes musim semi Arab—yang mereka lihat di televisi—menulis pada dinding sekolah mereka di kota Daraa. Isi pesannya menghujat rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Beberapa hari kemudian mereka ditahan polisi. Tindakan itu memicu protes dan menyulut gejolak di Suriah. Kekerasan meluas setelah kelompok revolusioner mengangkat senjata dengan dukungan negara-negara Teluk. Mereka merebut daerah-daerah strategis dari tangan pemerintah.
Di tengah kemelut itu, kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), yang menyatakan diri pada 2014, masuk dan turut memanaskan konflik di Suriah. Mereka berhasil menguasai sebagian besar wilayah Suriah dan Irak.
Setelah situasi keamanan bisa dikendalikan dan NIIS dikalahkan, Damaskus dengan dukungan Rusia dan Iran kembali berhasil menguasai 70 persen wilayah Suriah.
Setelah selama bertahun-tahun didera ledakan bom tanpa henti dan pertempuran untuk menumpas kelompok jihad dan kelompok perlawanan lain dari Suriah, situasi Damaskus relatif tenang sejak akhir 2018. Meski demikian, Qasem dan warga lain masih berjuang membangun hidup mereka kembali. Itu pun dengan susah payah.
Tak pernah ada yang membayangkan protes para remaja pada tahun 2011 di Damaskus berbuntut panjang hingga menjadi perang terbesar abad ini.
PBB memperkirakan jumlah biaya kerusakan akibat perang sejak 2011 sebesar 400 miliar dollar AS. Para ahli ekonomi pro-pemerintah menuding Suriah menderita akibat sanksi negara-negara Barat. Krisis finansial Lebanon juga menjatuhkan Suriah. Semua faktor ini memperparah kondisi jutaan warga Suriah yang terpaksa mengungsi akibat perang.
Ahmad Hammada (71) dan seluruh keluarganya mengungsi ke kota Jaramana bersama dengan ratusan keluarga lain yang juga korban perang. Selama perang terjadi, ia harus bolak-balik membawa keluarganya ke tempat yang aman, jauh dari kampung halaman. Bahkan, ia harus berpindah-pindah tempat sampai 10 lokasi. ”Kami berjalan hingga ratusan kilometer sebelum akhirnya tiba di luar kota Damaskus,” ujarnya.
Kini ia dan keluarganya bermukim di dalam bangunan yang belum jadi, tanpa listrik. Tak ada air bersih dan sanitasi yang memadai. ”Kami tidak punya apa-apa. Saya hanya berharap kami tidak diusir dari sini. Saya lelah pindah,” kata Zareefa (64), istri Hammada.
Meski kelompok perlawanan sudah berkurang dalam beberapa tahun terakhir, gejolak kekerasan masih tetap terjadi. Sejumlah daerah berhasil diamankan, tetapi warga masih belum merasakan manfaat perdamaian karena Suriah masih menjadi ladang pertikaian yang melibatkan pihak asing, seperti Amerika Serikat, Rusia, Turki, Iran, dan Israel. ”Suriah bukan konflik internasional yang mudah,” kata peneliti asal Suriah, Fabrice Balanche.
Darurat kemanusiaan
Jutaan pengungsi dari perang Suriah mayoritas diserap Turki. Pertempuran di Idlib—meletus kembali pada Desember lalu— memaksa hampir 1 juta orang lari ke perbatasan Turki. Namun, Turki menutup pintu perbatasannya sehingga pengungsi tidak bisa masuk ke Eropa. Pengungsi yang menumpuk di perbatasan menimbulkan situasi darurat kemanusiaan.
Para pengungsi di kamp pengungsian di Desa Kafr Lusin yang berada di perbatasan Suriah-Turki.
Untuk mencegah agar situasi tidak semakin parah, Rusia dan Turki menyepakati gencatan senjata. Namun, tidak diketahui seberapa efektif kesepakatan itu akan menjadi fondasi bagi perdamaian di Suriah.
Banyak pihak skeptis dengan kesepakatan itu karena selama ini sudah banyak inisiatif damai berakhir dengan kegagalan. Beberapa tahun ke depan, kata Balanche, perang diharapkan akan mereda. Setelah wilayah timur dapat kembali dikuasai pemerintah, Rusia dan Iran akan mendukung Suriah. Sementara Turki akan menguasai wilayah utara.
”Assad akan tetap berkuasa dan pasti terpilih kembali pada Pemilu 2021,” kata Balanche.
Wilayah Idlib kemungkinan menjadi Jalur Gaza versi Suriah. Jutaan warga telah menyesaki wilayah sempit di perbatasan Turki-Suriah itu.
Seorang aktivis Suriah di pengasingan, Omar al-Hariri, mengatakan, sejatinya warga Suriah merindukan masa-masa sebelum tahun 2011.
”Masyarakat lebih suka kembali ke kondisi dulu sebelum tahun 2011. Mereka bilang ingin kembali seperti dulu. Tetapi, kan, itu tidak bisa. Yang terjadi sudahlah terjadi. Tidak ada jalan untuk kembali,” kata al-Hariri yang kehilangan banyak rekan seperjuangan. (REUTERS/AFP/AP)