Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akhirnya menyatakan wabah Covid-19 sebagai pandemi. Sebenarnya itu sudah didorong oleh sejumlah pakar sejak beberapa waktu lalu seiring cepatnya penyebaran penyakit ini dan jumlah kasusnya di luar China yang terus meningkat.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menggambarkan bahwa status pandemi tidak lantas mengubah penilaian risiko oleh WHO. Status ini tidak mengubah apa yang WHO lakukan dan apa yang harus dilakukan oleh negara-negara di dunia dalam memerangi Covid-19.
Menggunakan istilah pandemi secara sembarangan justru bisa menyebabkan ketakutan yang tidak beralasan. Selain itu, juga bisa menimbulkan sikap menyerah pada keadaan serta memicu penderitaan dan kematian yang tidak perlu.
Lalu apa saja yang bisa dilakukan negara dalam situasi seperti ini? Sebenarnya, WHO telah mengeluarkan berbagai panduan yang bisa diimplementasikan sesuai dengan kondisi di setiap negara. Ada panduan manajemen kasus, surveilans, investigasi kasus, respons cepat, komunikasi risiko, kesiapsiagaan kritis, dan lainnya.
Empat skenario
Menurut WHO, negara bisa mengalami satu atau lebih dari empat skenario, yaitu tidak memiliki kasus; memiliki satu atau lebih kasus baik impor maupun lokal; muncul kluster penularan di satu wilayah tertentu; dan terakhir, penularan antarmanusia yang lebih luas.
Setiap negara harus siap merespons semua skenario. Apa pun tindakan yang diambil harus bertujuan untuk memperlambat dan menghentikan penularan, mencegah wabah, dan menyediakan layanan kesehatan bagi semua pasien terutama yang sakit serius, dan meminimalkan dampak wabah terhadap sistem kesehatan, layanan sosial, dan aktivitas ekonomi. Misalnya, negara dengan nol kasus disarankan untuk mengedukasi publik dengan komunikasi risiko yang efektif, surveilans, menyosialisasikan higienitas diri, etika batuk atau bersin, dan menjaga jarak sosial.
Negara yang memiliki kluster penularan didorong untuk mengintensifkan penemuan kasus, pelacakan kontak, karantina kontak, dan isolasi kasus positif. Selain itu, memperluas surveilans Covid-19 dengan sistem surveilans penyakit pernapasan yang ada dan surveilans berbasis rumah sakit. Edukasi publik dengan komunikasi risiko yang efektif dan promosi higienitas diri juga tetap dilakukan.
Tedros mengatakan, jika respons negara berupa deteksi dini, pemeriksaan, perawatan kasus positif, isolasi, pelacakan kasus, dan mobilisasi sumber daya dilakukan dengan baik, bisa mencegah kasus yang sporadis menjadi kluster penularan dan mencegah kluster penularan menjadi penularan antarmanusia yang lebih luas.
Bisa dikendalikan
Sejumlah negara telah memperlihatkan bahwa Covid-19 bisa dikendalikan. China, misalnya, mengisolasi Provinsi Hubei dan kota-kota besar lainnya di 31 provinsi. Kebijakan itu semula diragukan bisa efektif, ternyata memberikan hasil. Kini, Wuhan, ibu kota Hubei, tempat Covid-19 berasal, perlahan mulai dibuka seiring turunnya kasus positif. Korea Selatan juga mendorong pemeriksaan yang masif untuk menjaring mereka yang positif Covid-19. Seoul menyiapkan lebih dari 500 fasilitas kesehatan untuk pemeriksaan.
Kini tantangan bagi negara yang memiliki kluster penularan bukan pada mampu atau tidaknya mereka mengambil kebijakan yang tepat dan agresif. Namun, lebih pada apakah mereka mau melakukannya atau tidak. Selain pandemi, ada kata lain yang juga bermakna dalam menghadapi Covid-19, yaitu pencegahan, kesiapsiagaan, dan kepemimpinan. (ADH)