Usulan amendemen konstitusi, terutama untuk mengurangi peran militer dalam politik Myanmar, terhenti. Dukungan parlemen Myanmar atas usulan itu kurang memenuhi kuota. Reformasi di Myanmar terancam kandas.
Oleh
B Josie Susilo Hardianto
·4 menit baca
BANGKOK, RABU — Langkah Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) mengurangi peran militer dalam politik Myanmar masih menemui banyak kendala. Bahkan, parlemen Myanmar yang 25 persen kursi —dari total 664 kursi—dikuasai militer berupaya menghalang-halangi niat partai pimpinan Aung San Suu Kyi itu.
Hari pertama pemungutan suara untuk amendemen konstitusi, Selasa (10/3/2020), diveto oleh pihak militer di parlemen. Dalam Piagam Konstitusi 2008 yang dirancang oleh junta militer Myanmar kala itu memang mensyaratkan setiap perubahan dalam isi piagam itu membutuhkan lebih dari tiga perempat anggota parlemen. Syarat itu memberi peluang besar bagi pihak militer di parlemen untuk memvetonya.
Pemungutan suara itu adalah puncak dari perdebatan sengit dalam setahun terakhir antaranggota parlemen. Perdebatan tersebut berpusat pada niat Pemerintah Myanmar, yang saat ini dikuasai sipil, untuk mereformasi konstitusi dan mengurangi cengkeraman militer di parlemen.
Namun, sayang, upaya itu masih menemui hambatan. Hanya 404 dari 633 anggota parlemen turut dalam pemilihan mendukung amendemen itu. Jumlah dukungan itu belum melewati ambang batas, yakni 75 persen dari total anggota parlemen Myanmar.
Salah satu anggota parlemen dari NLD, Aung Thein, mengatakan, partainya telah memperkirakan kekalahan itu. ”Kami ingin orang-orang tahu bahwa kami telah mencoba,” katanya.
Namun, ia mengatakan, NLD tetap berupaya memenuhi janji mereka kepada pendukung mereka untuk tetap memperjuangkan reformasi dan demokrasi di Myanmar.
Usul perubahan
Sejumlah perubahan yang gagal disepakati, antara lain, pengurangan jumlah anggota parlemen dari fraksi militer dan menghapus pasal yang menyebut bahwa panglima angkatan bersenjata sebagai ”panglima tertinggi semua angkatan bersenjata”. Selain itu, anggota parlemen juga menolak untuk menghapus kata ”disiplin” dari frasa ”sistem demokrasi multipartai yang asli dan disiplin” dari definisi sistem politik Myanmar.
Hal lain yang juga ingin diubah adalah pasal yang menghalangi pemimpin NLD Aung San Suu Kyi untuk menjadi presiden. Pasal itu terkait dengan kewarganegaraan kedua anak Suu Kyi. Sebagaimana diketahui kedua anak Suu Kyi berkewarganegaraan Inggris.
Namun, di sisi lain, parlemen menyetujui amendemen yang memungkinkan pegawai negeri menjadi anggota partai politik.
Sebagai catatan, sejak menang mutlak dalam pemilu November 2015, NLD menguasai 360 kursi dari 664 kursi parlemen. Kursi yang diraih NLD itu terbagi sebanyak 135 di Majelis Tinggi dan 225 di Majelis Rendah. Sementara militer, sebagaimana diatur dalam konstitusi, menguasai 166 kursi di parlemen dengan pembagian 56 di Majelis Tinggi dan 110 di Majelis Rendah (Kompas, 12 Maret 2016).
Gagal lagi
Penolakan atas pengurangan peran militer dalam politik di Myanmar menandai masih kuatnya tantangan bagi kubu reformis di parlemen. Situasi itu sekaligus menjadi batu sandungan bagi pengembangan demokrasi dan sistem politik yang lebih demokratis.
Tak hanya itu, ”terhentinya” proposal pengurangan peran militer dalam politik di Myanmar menjadi tantangan bagi Suu Kyi yang saat ini duduk di pucuk kepemimpinan Myanmar. Setelah memenangi pemilu Myanmar dan menjabat sebagai penasihat negara, Suu Kyi menjanjikan reformasi demokrasi di negara itu. Akhir tahun ini, Myanmar dijadwalkan menggelar pemilu.
Upaya untuk mengurangi peran militer dalam politik lewat amendemen konstitusi pernah dilakukan NLD pada 2015. Perdebatan alot selama tiga hari di parlemen yang digelar Juni 2015 berakhir dengan ditolaknya amendemen atas pasal terkait komposisi kursi militer dan menurunkan persyaratan dukungan pengajuan amendemen, yaitu dari sebelumnya mewajibkan dukungan 75 persen menjadi 70 persen suara parlemen. Pasal lain yang diajukan untuk diubah kala itu juga terkait dengan halangan bagi warga Myanmar yang menikah dengan warga asing untuk menjadi presiden.
Usulan amendemen konstitusi kala itu gagal karena hanya didukung oleh 388 suara dari 664 anggota Parlemen atau kurang dari batas minimum, yaitu 75 persen suara (Kompas, 26 Juni 2016).
Dikecam
Seorang analis independen, David Mathieson, di Yangon, mengecam keseluruhan proses dan materi perdebatan di parlemen. Menurut dia, apa yang tengah menjadi polemik adalah persoalan yang berujung sia-sia dan kurang memenuhi harapan publik.
Mathieson mengatakan, perdebatan di parlemen mengabaikan upaya-upaya yang dibutuhkan untuk membantu memajukan hak-hak minoritas, mendesentralisasi politik, dan mengurangi kemiskinan.
”Ini adalah jalan buntu yang didasarkan pada kepentingan diri sendiri yang arogan, bukan reformasi demokratis yang dibutuhkan Myanmar,” kata Mathieson.
Isu minoritas dan peran militer di Myanmar merupakan isu-isu yang menjadi perhatian internasional. Tindakan keras militer—terkait isu minoritas Rohingya—telah menempatkan Myanmar di depan Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, dengan tuduhan genosida.
Myanmar yang diwakili tim yang dipimpin Aung San Suu Kyi membantah tuduhan itu. Hingga saat ini, otoritas Myanmar mengatakan, operasi militer yang digelar di Negara Bagian Rakhine adalah sah. Operasi itu diarahkan untuk melawan pemberontak Arakan. (AFP/REUTERS)