Sejarawan Tanggapi Permintaan Maaf Raja Belanda kepada Indonesia
Beberapa sejarawan Indonesia dan Belanda menanggapi beragam permintaan maaf Raja Belanda Willem-Alexander terkait kekerasan berlebihan setelah Proklamasi Indonesia 1945.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Raja Belanda Willem-Alexander menyampaikan penyesalan sekaligus permintaan maaf atas kekerasan yang terjadi tak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan RI. Ia juga menegaskan kembali pengakuan eksplisit Pemerintah Belanda secara politik dan moral terhadap Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
Pemerintah Belanda secara politis dan moral mengakui Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 pada tahun 2005 melalui menteri luar negerinya saat itu, Bernard Bot. Bot juga tercatat sebagai pejabat tinggi Belanda pertama yang hadir dalam perayaan Proklamasi Kemerdekaan RI di Istana Merdeka, Jakarta. Sebelumnya, Belanda mengakui penyerahan kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949.
Permintaan maaf itu disampaikan Raja Willem-Alexander dalam pernyataan pers bersama Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Selasa (10/3/2020). Pada 9-13 Maret 2020, Raja Willem-Alexander dan Ratu Maxima berada di Indonesia dalam rangka kunjungan kenegaraan.
Beberapa sejarawan Indonesia dan Belanda menanggapi permintaan maaf itu secara berbeda. Sejarawan dan Ketua Komunitas Historia Indonesia Asep Kambali, Selasa malam, mengatakan, permintaan maaf terkait pembantaian di agresi militer I tahun 1947 sudah disampaikan Belanda berkali-kali.
Hal itu, katanya, kemungkinan karena banyaknya masyarakat sipil, tentara pejuang yang dibantai pada agresi militer I Belanda. Kekerasan fisik dan psikis itu menyisakan luka mendalam. Namun, dalam pendudukan dan kolonialisme selama berabad-abad, Belanda justru tidak mengakui kesalahannya. Mereka menganggap bahwa selama era penjajahan itu, mereka menjalankan pemerintahan. Perlawanan yang dilakukan orang Indonesia justru dianggap sebagai gerakan separatis melawan pemerintah resmi, yaitu Belanda.
”Secara formal, raja dan ratu boleh mengucapkan permohonan maafnya. Namun, luka sejarah sulit dihapuskan,” kata Asep.
Asep mengatakan, permohonan maaf ini juga dapat menjadi contoh bagi bangsa Indonesia di masa depan. Jangan sampai ada upaya kekerasan yang dilakukan untuk memerangi pihak tertentu, apalagi bangsa sendiri. Selain itu, permohonan maaf itu juga dapat diartikan sebagai upaya penghormatan yang dilakukan Pemerintah Belanda kepada Indonesia.
Jika ingin memanfaatkan momentum ini, katanya, Pemerintah Indonesia juga bisa meminta kepada Pemerintah Belanda untuk mengembalikan benda-benda dan artefak bersejarah yang dirampas selama pendudukan Belanda. Banyak benda bersejarah disimpan di museum Belanda. Benda-benda tersebut merupakan kekayaan sejarah bernilai yang bisa digunakan untuk mengkaji sejarah di Indonesia.
Sedikit terlambat
Arkeolog dan sejarawan Candrian Attahiyat, Selasa malam, berpendapat, permintaan maaf Raja Belanda setelah hampir 75 tahun Indonesia merdeka sebenarnya sudah agak terlambat. Namun, permintaan maaf secara lisan itu juga bisa menjadi kemenangan politik Indonesia.
”Masa lalu berguna sebagai pembelajaran agar Indonesia tidak melakukan kesalahan yang sama di masa depan. Bagaimanapun, permohonan maaf dari Kerajaan Belanda itu dapat membangun persahabatan yang baru di masa kini,” kata Candrian Attahiyat.
Dia juga mengatakan, permohonan maaf Belanda dapat diartikan sebagai pengakuan kesalahan dan kejahatan perang yang dilakukan Belanda. Namun, katanya, Indonesia juga harus kritis dan skeptis terhadap permohonan maaf itu, apakah ada kepentingan lain yang dibawa Belanda.
Apalagi, dalam perjalanannya, katanya, Belanda sulit sekali mengakui kedaulatan Indonesia. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Belanda baru mengakui kedaulatan Indonesia di tahun 1949 dalam Konferensi Meja Bundar. Setelah itu, baru pada tahun 2005, untuk pertama kali perwakilan dari Kerajaan Belanda datang untuk mengikuti upacara pada hari kemerdekaan Indonesia.
Tidak ada pengakuan hukum
Sejarawan, yang juga pendiri Histori Bersama Foundation, Marjolein van Pagee, saat dihubungi dari Jakarta mengaku terkejut Raja Willem-Alexander meminta maaf atas peristiwa 1945-1949. Ini karena kata ”maaf” secara legal lebih bermakna ketimbang ”menyesali”. Namun, dia mengkritik dalam kunjungannya, Raja Willem-Alexander tidak menemui keluarga korban yang terbunuh tahun 1945-1949. Karena itu, dia menilai pernyataan Raja Belanda itu hampa.
Selain itu, dia juga menyampaikan secara legal tak ada pengakuan dari Pemerintah Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Hal ini, katanya, terlihat dari peradilan The Hague yang menggunakan hukum Belanda yang melihat Indonesia sebagai koloni Belanda hingga 1949.
Menurut dia, dalam pernyataannya, Raja Belanda hanya menyampaikan bahwa Pemerintah Belanda secara eksplisit mengakui fakta sejarah (proklamasi) secara politik dan moral, 15 tahun lalu. ”Tetapi, dia tidak menyampaikan bahwa Pemerintah Belanda secara legal mengakui Proklamasi 1945,” katanya.
Menurut dia, Raja Belanda juga tidak meminta maaf untuk keseluruhan periode kolonal. Pemerintah Belanda, katanya, tidak akan mengakui kemerdekaan Indonesia 1945 secara legal karena mereka khawatir akan muncul berbagai klaim legal lainnya.
”Kalau mereka (Pemerintah Belanda) mengakui 1945 secara legal, itu artinya Belanda menyerang negara berdaulat,” kata Marjolein. (ANTONY LEE)