Di tengah keterbatasan, Badan Keamanan Laut harus memutar otak untuk mengamankan perairan Indonesia. Tidak jarang, mereka hanya bermodalkan nyali saat menghadapi penyusup. Namun, apa pun harus dilakukan Bakamla.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
Di tengah keterbatasan, Badan Keamanan Laut harus memutar otak untuk mengamankan perairan Indonesia. Tidak jarang, mereka hanya bermodalkan nyali saat menghadapi penyusup.
Dari pantauan udara pada Senin (9/3/2020), kapal negara Pulau Nipah-321 milik Badan Keamanan Laut terlihat mengawal 30 kapal yang diawaki 900 nelayan asal pantai utara Tegal, Jawa Tengah. Kapal-kapal nelayan itu diperkirakan tiba di Laut Natuna Utara dalam 7-10 hari sejak diberangkatkan dari Tegal, Rabu (4/3/2020). Selanjutnya, Bakamla akan mengawal mereka menuju zona ekonomi eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara.
Mobilisasi nelayan pantai utara (pantura) ini merupakan bagian dari upaya pemerintah ”menghidupkan” Laut Natuna Utara. Selama ini, kawasan di perairan itu sepi dari aktivitas nelayan plus sepi pula dari penjagaan aparat. Akibatnya, tidak heran nelayan asing kerap menyusup masuk.
Yang paling hangat terjadi awal tahun lalu. Saat itu, puluhan kapal nelayan China dikawal beberapa kapal penjaga pantai China masuk ke ZEE Indonesia yang merentang dari garis pangkal pantai hingga 200 mil ke arah laut.
Baca juga: Bakamla Tambah Tiga Kapal Patroli Baru
Sesuai kesepakatan bersama 13 institusi yang ditandatangani di Kantor Badan Keamanan Laut (Bakamla), Jakarta, Jumat (21/2/2020), Bakamla diserahi tugas menjadi ujung tombak dalam upaya pengawasan, pengamanan, dan pemanfaatan sumber daya ikan di Laut Natuna Utara.
Bakamla masih terbatas. Belum 100 persen semuanya, dari anggaran, alutsista, sampai peralatan, sehingga kami harus membuat strategi.
Berangkat dari kesepakatan itu, kapal patroli Bakamla dikerahkan untuk mengawal nelayan pantura ke Laut Natuna Utara dan menjaga mereka ketika kelak beroperasi di perairan itu. Jangan sampai aktivitas mereka diganggu nelayan asing seperti kerap terjadi selama ini.
Ini tak pelak membuat beban kerja Bakamla kian berat. Sebab, Bakamla juga harus menjaga agar ZEE Indonesia tidak kembali dimasuki kapal-kapal asing.
Padahal, setumpuk keterbatasan dihadapi Bakamla dalam menjalankan tugas-tugasnya itu. ”Bakamla masih terbatas. Belum 100 persen semuanya, dari anggaran, alutsista, sampai peralatan, sehingga kami harus membuat strategi,” ujar Kepala Bakamla Laksamana Madya Aan Kurnia.
Kekurangan kapal
Dari sisi personel, misalnya, Bakamla masih kurang dari segi kualitas dan kuantitas. Adapun dari segi alutsista, kekurangan terlihat dari jumlah kapal yang dimiliki Bakamla. Mereka baru memiliki total 10 kapal negara (KN), sedangkan idealnya 77 kapal.
Oleh karena itu, hanya dua kapal yang menjaga nelayan pantura, yakni KN Pulau Nipah-321 dan KN Pulau Marore-322. Sementara itu, satu kapal lainnya, KN Tanjung Datu-301, berjaga di Batam.
KN Pulau Nipah dan KN Pulau Marore merupakan dua kapal patroli milik Bakamla yang mempunyai dimensi panjang 80 meter (m), lebar 12,5 m, tinggi 6 m, sarat air 3,4 meter, kecepatan maksimum 22 knot, kecepatan jelajah 18 knot, dan kecepatan ekonomis 16 knot. Kapal dilengkapi sensor dan senjata pendukung operasi laut.
Dengan spesifikasi seperti KN Pulau Nipah, Direktur Operasi Laut Bakamla Laksamana Pertama Nursyawal Embun mengungkapkan, idealnya kapal dioperasikan 54 personel. Namun, realitanya hanya 33 personel yang bertugas di kapal tersebut.
Selain kekurangan jumlah, sebagian besar personel Bakamla merupakan aparatur sipil negara (ASN) yang berasal dari latar belakang pendidikan yang berbeda-beda. Alhasil, komandan dan perwira kapal harus membekali mereka agar siap bekerja di laut.
Modal nyali
Meski terbatas, personel Bakamla memiliki nyali besar dalam menjalankan tugas. Hal itu ditunjukkan KN Tanjung Datu-301 pada Desember 2019 dan Januari 2020. Saat itu, KN Tanjung Datu 301 yang dipimpin Kolonel Nyoto Saptono memergoki puluhan nelayan dari China di ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara dan berhasil mengusir mereka.
Saat itu, KN Tanjung Datu 301 yang dipimpin Kolonel Nyoto Saptono memergoki puluhan nelayan dari China di ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara dan berhasil mengusir mereka.
Di tengah cuaca ekstrem, mereka berani mengusir para nelayan sekalipun aktivitas mereka dikawal kapal-kapal penjaga pantai China. Apalagi, kapal China itu terlihat lebih canggih daripada kapal Bakamla.
Nyoto menceritakan, saat itu, Tanjung Datu hanya memiliki 38 personel. Jumlah itu tidak ideal karena kapal dengan panjang 110 m dan lebar 15,5 m tersebut seharusnya diawaki 76 personel. Ditambah lagi, dari 38 personel itu, 30 di antaranya merupakan ASN yang belum lama ditempatkan bertugas di Bakamla.
Selain keterbatasan personel, kapal Bakamla belum dilengkapi persenjataan yang baik. Persenjataan yang ada hanya meriam air.
Di tengah keterbatasan, Bakamla mau tidak mau harus memutar otak, menyusun strategi, agar tetap bisa optimal dalam menjalankan tugas di Laut Natuna Utara. Salah satunya, mengoptimalkan stasiun pemantau keamanan dan keselamatan Laut Natuna (SPKKL) di Bukit Senubing, Ranai. Di stasiun itu, mereka dapat memantau dan mengomunikasikan situasi di Laut Natuna Utara kepada markas besar Bakamla serta kapal negara.
Keberadaan SPKKL ini penting karena membuat sistem pengawasan lebih efektif daripada harus keliling di Laut Natuna Utara yang membuat boros bahan bakar.
Selain itu, mereka juag mengandalkan pesawat udara maritim Bakamla berjenis Twin Otter DCH 6-300 untuk memantau Laut Natuna Utara. Pesawat ini dapat terbang di ketinggian maksimal 20.000 kaki di atas permukaan laut dengan kecepatan maksimal 160 knot.
Untuk mengatasi keterbatasan yang dihadapi Bakamla, koordinasi dengan instansi lain, seperti TNI Angkatan Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta kepolisian, menjadi penting.
Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, untuk mengatasi keterbatasan yang dihadapi Bakamla, koordinasi dengan instansi lain, seperti TNI Angkatan Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta kepolisian, menjadi penting.
Namun, ke depan, perhatian lebih besar harus diberikan negara. Tanpa itu, jangan salahkan apabila kapal-kapal asing terus menyusup masuk perairan Indonesia, mengusir nelayan-nelayan kita, dan mengeksploitasi kekayaan alam kita.