Afghanistan sejak Senin (9/3/2020) memiliki dua presiden yang bermusuhan satu sama lainnya. Keduanya sama-sama mengklaim sebagai pemimpin terpilih sehingga masing-masing mengadakan upacara pelantikan sebagai presiden.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
KABUL, SENIN — Akibat polemik hasil pemilihan umum pada September 2019, kini Afghanistan memiliki dua presiden. Presiden petahana Afghanistan Ashraf Ghani dan pesaingnya, Abdullah Abdullah, sama-sama dilantik dalam upacara pelantikan yang berbeda, Senin (9/3/2020).
Keduanya sama-sama mengklaim sebagai pemimpin terpilih. Jika krisis kepemimpinan ini tidak juga selesai, akan memicu kekacauan politik, terutama setelah Amerika Serikat dan Taliban menandatangani kesepakatan penarikan pasukan AS dari Afghanistan.
Komite Pemilu Afghanistan bulan lalu mengumumkan Ghani memenangkan suara terbanyak dalam pemilu 28 September 2019. Namun, Abdullah menolak hasil itu karena banyaknya laporan terjadinya penyimpangan.
Abdullah kemudian mengumumkan dirinya menang pemilu. Juru bicara Abdullah, Omid Maisam, mengatakan, Abdullah bersedia menunda pelantikan hanya jika Ghani juga mau melakukannya.
Upacara pelantikan keduanya dilakukan dalam waktu yang bersamaan dan saling berdekatan. Ghani di Istana Presiden, sementara Abdullah di Istana Sapedar yang lokasinya berdekatan.
Pada saat Ghani berpidato, terdengar suara ledakan dan tembakan roket yang jatuh di dekat istana presiden. ”Kita pernah mengalami serangan yang lebih parah. Jangan takut hanya karena dua ledakan,” kata Ghani menenangkan tamu undangan yang datang.
Awalnya, upacara pelantikan itu hendak ditunda dan tamu undangan diminta menunggu. Namun, utusan khusus Amerika Serikat, Zalmay Khalilzad, yang diminta untuk berbicara dengan kedua belah pihak, gagal membujuk keduanya. Khalilzad lalu menghadiri upacara pelantikan Ghani bersama para diplomat asing dan Komandan Pasukan NATO Scott Miller.
Ghani mengatakan, pemerintahan yang ia bentuk tak hanya akan mengikutsertakan orang-orang dari kubu politiknya. Ia akan tetap bersama dengan kabinet yang sebelumnya paling tidak selama dua pekan ke depan. ”Setelah konsultasi, nanti kita akan membentuk pemerintahan yang inklusif,” ujarnya.
Terpecah-belah
Ia juga berencana akan membentuk tim perunding untuk berbicara dengan Taliban, Selasa. Setelah itu ia akan mengumumkan hasil pembicaraan mengenai tuntutan Taliban yang meminta pembebasan 5.000 anggota Taliban yang kini ditahan Pemerintah Afghanistan.
Taliban yang pernah menguasai Afghanistan pada 1996-2001 itu menuntut pembebasan tahanan itu sebagai syarat memulai perundingan. Namun, Ghani menolak memenuhi tuntutan itu.
Kini, negara-negara yang memiliki kepentingan di Afghanistan tengah menanti apakah Abdullah akan menunjuk juga menteri, gubernur, aparat keamanan dari pihaknya sendiri.
Kedua kandidat, terutama Abdullah, selama ini didukung oleh panglima-panglima perang yang memimpin kelompok milisi bersenjata. Ini yang dikhawatirkan akan bisa membuat situasi Afghanistan kacau lagi karena mereka akan bisa menggunakan kekerasan untuk mendukung kandidatnya. Kondisi ini akan semakin membuat Afghanistan terpecah-belah dan menjauhkan peluang untuk mencapai perdamaian.
Ketika AS dan Taliban menandatangani kesepakatan pada 29 Februari lalu, langkah krusial selanjutnya adalah perundingan intra-Afghanistan yang melibatkan semua faksi, termasuk Taliban. Dalam perundingan ini akan dibicarakan soal rencana nasib masa depan Afghanistan.
Dalam pertemuan itu diharapkan akan bisa dibicarakan isu-isu sensitif seperti hak perempuan, kebebasan berbicara mengeluarkan pendapat, dan nasib puluhan ribu anggota kelompok bersenjata pasca-perdamaian.
Proses perundingan itu rencananya akan dilakukan di Oslo pada hari Selasa. Namun dengan krisis yang terjadi saat ini, banyak pihak mulai meragukan kemungkinan pertemuan itu akan terjadi. Ghani dan Abdullah diperkirakan akan mengumumkan masalah itu, Selasa. (REUTERS/AFP/AP)