Anwar Ibrahim tetap berbesar hati dan bersikap sebagai negarawan meskipun rencana untuk mengangkatnya menjadi Perdana Menteri kedelapan Malaysia batal diwujudkan.
Oleh
Simon Saragih
·3 menit baca
Anwar Ibrahim (73) berjiwa besar. Meskipun rencana yang disusun pada 2018 untuk mengangkat dirinya menjadi Perdana Menteri Malaysia pada 2020 batal terwujud, Anwar tetap bersikap negarawan. ”Saatnya beranjak maju ke depan demi kepentingan rakyat.” Itu dia katakan pada hari yang sama, Minggu (1/3/2020), dengan pelantikan Muhyiddin Yassin sebagai PM Malaysia.
Benarlah pujian Dr Mahathir Mohammad yang pernah mengatakan Anwar orang yang berbesar hati. Keduanya pernah menjadi musuh bebuyutan politik selama 20 tahun, tetapi pada 2018 kolaborasi mereka berhasil merebut pemerintahan Malaysia.
Sangat langka figur seperti Anwar ini. Mahathir sendiri mempertanyakan legitimasi PM baru. Akan tetapi, Anwar memilih beranjak maju. Anwar sungguh panutan di kawasan yang sering membatalkan hak layak seseorang menjadi pemimpin. Dengan berbagai alasannya, beberapa figur di kawasan ASEAN ini terhambat menjadi pemimpin. Namun, nurani kebenaran sangat nyata berpihak, lambat atau cepat.
Aung San Suu Kyi, misalnya, berkali-kali terhambat menjadi pemimpin di Myanmar, akhirnya tercapai juga. Demikian pula dengan Benigno Aquino, yang tewas karena tembakan pada 1986 di era Presiden Ferdinand Marcos, tetapi kemudian istrinya, Corazon Aquino, menjadi Presiden (1986-1992) dan juga putra mereka, Benigno Aquino III, menjadi Presiden Filipina (2010-2016).
Bukan tidak mungkin hal serupa terjadi pada Anwar di eranya atau di era keturunannya. Generasi Malaysia berikutnya, kata analis politik dari Institute for Democracy and Economic Affairs (Ideas), Tricia Yeoh, berpotensi mengubah lanskap politik Malaysia.
Hanya saja tetap menarik menanyakan, mengapa Anwar tidak menjadi PM Malaysia? Setelah kemenangan koalisi partai-partai bernama Pakatan Harapan, dengan Anwar dan Mahathir sebagai tokoh inti, sudah diikrarkan jabatan PM akan dijabat bergilir. Giliran pertama adalah Mahathir dan giliran kedua di pertengahan waktu akan dilanjutkan Anwar.
Mengapa itu tidak terjadi? Oh Ei Sun dari Singapore Institute of International Affairs mengatakan, hal ini terjadi sebagai dampak pertarungan politik yang tidak kunjung berhenti antara Mahathir dan Anwar. Tambahan pula, berkali-kali Anwar mengatakan, ada para pengkhianat. Ada yang menghendaki Dr Mahathir agar tetap menjadi PM sampai pemilu 2023.
Soal isu pengkhianatan ini tidak pernah jelas siapa pelakunya. Anwar hanya mengatakan, dia sadar ada unsur pengkhianatan. Intinya, ada yang tidak ingin Anwar menjadi PM kedelapan Malaysia.
Lanskap didominasi isu ras
Di balik pertarungan politik Mahathir dan Anwar, serta isu pengkhianatan tersebut, ada satu sisi faktor yang mencuat di dalam dunia politik Malaysia. Ini belum bisa menjadi kesimpulan, tetapi media-media Malaysia menyebutkan unsur berikut muncul sebagai alasan penyebab Anwar tidak menjadi PM.
Ada dugaan soal unsur ketakutan jika Anwar menjadi PM. Dalam sebuah jajak pendapat disebutkan, sebagian warga Melayu menghendaki Mahathir terus sebagai PM ketimbang Anwar. Hal ini diperkuat pernyataan Mahathir bahwa dia lebih dikehendaki untuk melanjutkan jabatan PM.
Puak Melayu disebutkan memiliki kekhawatiran bahwa privilese kebijakan pemerintah pada puak ini berpotensi berkurang jika Anwar menjabat sebagai PM. Anwar sadar akan kekhawatiran ini. Untuk itu Anwar pernah mencoba meyakinkan agar golongan Melayu tidak perlu takut sebab privilese tersebut tidak akan dihilangkan. Hanya saja dia sebutkan, hak istimewa itu berbasis meritokrasi, bukan memperkaya begitu saja kaum Melayu.
Meritokrasi adalah sistem politik yang memberikan penghargaan kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan, yang dapat dipakai untuk menentukan suatu jabatan tertentu.
Seruan ini tidak mempan tampaknya. Kelompok Melayu disebutkan berusaha memblokade Anwar dalam perjalanan menuju kursi PM.
Multiras dan anti korupsi
Lanskap politik dengan dominasi ras Melayu mungkin menjadi penyebab Anwar sulit menuju kursi PM. Dalam berbagai pernyataannya, Anwar juga selalu mengatakan, prinsip pemerintahan berbasis multiras akan selalu menjadi pegangannya. Di samping itu, Anwar menjanjikan tidak akan menjadi pribadi yang kompromis, tetapi akan membabat praktik korupsi dalam pemerintahan Malaysia jika dia menjabat PM.
Akan tetapi, prinsip multiras dan sikap antikorupsi tidak bergema kencang. Prinsip keutamaan Melayu dengan sejarah panjang yang menyebabkan ketimpangan, sejak zaman penjajahan, mengkristalkan politik keberpihakan pribumi di dalam lanskap politik Malaysia.
Tidak dimungkiri, para politisi selalu menyatakan akan menghargai ras-ras lain, terutama China dan India. Hanya saja Melayu masih tetap menjadi keutamaan dan Anwar relatif tak masuk dalam radar lanskap politik ini, dengan prinsip multiras serta antikorupsi yang diusung Anwar.
Hanya saja hal yang menjadi masalah, apakah puak Melayu benar-benar takut kehilangan privilese jika Mahathir berkuasa? Tidak bisa disimpulkan demikian sebab Partai Keadilan Rakyat (PKR), yang mengusung Anwar, juga mencuat ke dunia politik Malaysia berkat dukungan kaum Melayu di samping dukungan multiras.
Apakah isu puak Melayu dengan keinginan privilese pada Melayu menjadi mainan politisi untuk menjegal Anwar sebagai PM? Adakah juga unsur korupsi di kalangan politisi yang ditakutkan akan dibasmi Anwar jika menjabat PM, menjadikan politisi memakai isu hak istimewa Melayu sebagai alat untuk menjegal Anwar?
Biarlah waktu yang menjawab semua itu. Hal yang jelas, ada yang sudah tidak sabar menunggu Anwar sebagai PM, tetapi setidaknya tetap luput dari jabatan hingga sekarang. ”Ideas jangan khawatir, saya berjuang 20 tahun. Jika Tuhan menghendaki, itu akan terwujud,” demikian Anwar kepada pendukungnya yang sangat antusias.
Di atas semua itu, rasa salut layak dihaturkan kepada Anwar yang berbesar hati.