Pemilu parlemen Israel menjadi pertaruhan besar bagi PM Benjamin Netanyahu, yang kini terdakwa korupsi. Jika memenangi pemilu, ia sudah berancang-ancang merintis jalan pembebasan dirinya.
Oleh
Musthafa Abd Rahman dari Mesir
·3 menit baca
Pemilu parlemen Israel menjadi pertaruhan besar bagi PM Benjamin Netanyahu, yang kini terdakwa korupsi. Jika memenangi pemilu, ia sudah berancang-ancang merintis jalan pembebasan dirinya.
KAIRO, KOMPAS —Kubu kanan yang dimotori Partai Likud pimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyiapkan dua skenario jika berhasil memenangi pemilu, Senin (2/3/2020), dengan meraih 61 kursi parlemen guna membentuk pemerintahan.
Opsi pertama adalah segera memberlakukan hukum Perancis yang melarang pejabat tinggi yang sedang berkuasa diseret ke pengadilan. Adapun opsi kedua, yakni parlemen yang dikontrol kubu kanan, akan memberi kekebalan hukum kepada Netanyahu agar lembaga peradilan Israel tak dapat menyeret Netanyahu ke pengadilan.
Bagi Netanyahu, memenangi pemilu ini tidak hanya bertujuan mempertahankan kekuasaan, tetapi tidak kalah penting adalah mencegah proses pengadilan yang dijadwalkan mulai digelar pada 17 Maret nanti.
Seperti diketahui, Netanyahu saat ini didakwa tiga kasus pidana terkait korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan menerima hadiah secara ilegal. Tiga dakwaan itu dikenal di kalangan media Israel dengan nama kasus 1.000, 2.000, dan 4.000.
Rakyat Israel, Senin kemarin, kembali berbondong-bondong datang ke tempat pemungutan suara untuk memberikan suara pada pemilu parlemen (Knesset) ke-23 yang akan menentukan figur pemimpin Israel.
Pemilu parlemen kali ini merupakan yang ketiga kali dalam waktu kurang dari setahun. Pemilu parlemen pertama digelar pada April 2019 dan pemilu parlemen kedua pada September 2019. Pada pemilu September 2019, partisipasi rakyat Israel mencapai 72 persen.
Sebanyak 6,4 juta warga Israel memiliki hak suara, yang diperebutkan oleh 29 partai politik untuk menduduki 120 kursi Knesset. Israel mengerahkan 18.000 polisi dan tentara untuk mengamankan pemilu. Israel juga menutup perbatasan dengan Jalur Gaza dan Tepi Barat sejak Minggu malam hingga waktu yang tak ditentukan.
Dari 29 partai politik yang berpartisipasi dalam pemilu, hanya ada dua partai politik besar, yaitu partai Likud yang beraliran kanan dan Gerakan Biru-Putih yang beraliran tengah. Pemimpin dua partai politik besar itu berpeluang paling besar menjabat perdana menteri (PM) atau memimpin Israel, yaitu ketua partai kanan Likud, Benjamin Netanyahu (70), dan Ketua Gerakan Biru-Putih Benny Gantz (60).
Netanyahu adalah politisi gaek di Israel yang telah menjabat PM sejak tahun 2009. Ia adalah politisi yang paling lama berada di puncak kekuasaan di negara yang berdiri tahun 1948 itu. Gantz, yang baru mendirikan partai politik dengan nama Gerakan Biru-Putih pada Desember 2018, berusaha keras mengakhiri karier politik Netanyahu dan hegemoni kubu kanan-agama di pentas politik Israel.
Gantz melawan Netanyahu dengan mengibarkan bendera aliran tengah sebagai antitesis aliran kanan yang diusung Netanyahu. Gantz dengan bendera aliran tengahnya mendapat dukungan dari kubu kiri dan komunitas politik Arab-Israel, yang merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah kanan-agama selama ini.
Namun, Gantz dan koalisinya gagal menumbangkan Netanyahu pada pemilu parlemen bulan April 2019 dan September 2019. Perolehan suara koalisi Netanyahu ataupun Gantz gagal mencapai 61 dari 120 kursi parlemen yang dibutuhkan untuk membentuk pemerintahan.
Fokus Gantz
Gantz dalam kampanyenya memberi fokus pada isu hukum Netanyahu yang dianggap titik lemah kubu kanan Israel saat ini. Ia selalu menyerukan kepada rakyat Israel agar jangan memilih figur yang sedang dirundung kasus hukum. Gantz selalu meminta rakyat Israel memilih pemimpin bersih.
Dalam pemilu parlemen ini, sorotan juga tertuju pada kekuatan politik komunitas Arab di Israel, yang dikenal dengan nama Joint List. Dalam pemilu parlemen pada September 2019, Joint List meraih 13 kursi dengan tingkat partisipasi 65 persen dari warga Arab-Israel.
Kini, para politisi Arab di Israel menyerukan warga Arab untuk meningkatkan partisipasinya menjadi 67 persen agar bisa meraih 15 atau 16 kursi Knesset. Jika berhasil meraih 15 atau 16 kursi, Joint List bisa ikut menentukan PM Israel mendatang. Warga Arab di Israel diperkirakan mencapai sekitar 21 persen dari keseluruhan 8,7 juta penduduk Israel.