Pengalaman hampir 1.000 tahun merekayasa air dikumpulkan, disempurnakan, lalu diajarkan di berbagai perguruan tinggi Belanda.
Oleh
Kris Mada
·4 menit baca
Antisipasi dan mitigasi bencana memang membutuhkan biaya hingga triliunan rupiah. Akan tetapi, kerugian lebih besar akan timbul setiap kali bencana terjadi dan tidak pernah ada rekayasa untuk mitigasi dampaknya. Kerugian itu dihasilkan perbaikan oleh aneka hal yang rusak akibat bencana dan kehilangan potensi pendapatan karena aktivitas ekonomi terhenti oleh bencana.
Keterbatasan di masa lalu membuat rekayasa untuk antisipasi dan mitigasi sulit dilakukan. Seiring kemajuan teknologi, kedatangan beberapa jenis bencana bisa diperkirakan. Banjir termasuk jenis bencana yang bisa diperkirakan kedatangannya.
”Perintang ini dilengkapi pengolah informasi yang bisa memperkirakan pasang laut hingga 24 jam sebelum terjadi. Berdasarkan perkiraan itu, perintang dipasang sehingga pasang tidak memicu banjir. Pintu perintang bisa selesai dipasang dalam 2 jam, peringatan diberikan hingga 24 jam sebelum pasang,” kata Jeroen Kramer dari Kering Huis, kantor yang mengelola pintu air penghubung kanal utama di Provinsi Belanda Selatan.
Kantor itu mengelola dua perintang pasang laut di Maeslant dan Hartel. Perintang-perintang itu dipasang di kanal yang menjadi ujung dari sistem sungai Rheine-Waal dan Meuse, dua sungai utama di Eropa barat laut. Dengan perintang di dua titik itu, Belanda bisa melindungi warganya dari banjir akibat pasang laut dan badai seperti pada 1953.
Belanda adalah negara yang sangat sadar potensi bencana banjir karena berbagai penyebabnya. Kincir-kincir angin di Kinderdijk yang dibuat pada abad ke-19 adalah bukti kesadaran itu. Kini, kincir-kincir itu memang lebih kerap dijadikan tujuan wisata terkenal di Belanda. Benda sejenis juga ditemukan di berbagai penjuru Belanda.
Kala dibangun ratusan tahun lalu, sama sekali tidak ada niat menjadikan kincir angin itu sebagai obyek wisata. Di Kinderdijk, pemukim setempat sadar daerah tempat mereka tinggal adalah rawa-rawa yang selalu terendam. Pilihan mereka hanya mengeringkan daerah itu atau menyewa tanah di tempat lain. Opsi kedua sulit dilakukan karena keterbatasan lahan dan rumitnya perizinan dari pemerintah.
Maka, dijalankan opsi pertama: mengeringkan rawa agar bisa jadi permukiman dan ladang. Kanal-kanal dibangun untuk mengalirkan air dari rawa ke laut.
Masalahnya, 55 persen daratan Belanda berada di bawah laut. Karena itu, tanggul kanal harus dibuat lebih tinggi dari permukaan laut dan hal itu menimbulkan masalah baru. Tanggul lebih tinggi berarti butuh pompa untuk mengalirkan air dari rawa ke kanal. Setelah ratusan mencoba sejak abad ke-16, para pemukim Kinderdijk akhirnya membangun kincir angin untuk menjadi sumber tenaga pompa air.
Hasilnya, kini Kinderdijk bisa jadi permukiman dan, belakangan, menjadi salah satu daerah tujuan wisata terkenal di Belanda. Setiap hari, rombongan pelancong datang ke sana.
Selain kincir angin dan tanggul, Belanda membangun belasan bendungan dan perintang untuk mengendalikan dampak banjir. Kata ”Dam” pada Amsterdam dan Rotterdam secara harfiah bermakna bendungan di Sungai Amstel dan Sungai Rotte. Dari desa kecil di sekitar bendungan itu, kini Amsterdam dan Rotterdam menjadi kota besar.
Teknologi
Pengalaman hampir 1.000 tahun merekayasa air dikumpulkan, disempurnakan, lalu diajarkan di berbagai perguruan tinggi Belanda, seperti IHE, perguruan tinggi di Delf. Pakar rekayasa air di IHE, FX Suryadi, menyatakan bahwa banyak mahasiswa Indonesia belajar rekayasa dan tata kelola perairan di Belanda.
Kampus itu, seperti kampus-kampus lain di Belanda, mengajarkan tentang cara mengelola kawasan perairan. Penanggulangan banjir, pemulihan pesisir, dan pembuatan bangunan rekayasa air dipelajari di kampus-kampus itu.
IHE terlibat dalam sejumlah program terkait rekayasa perairan di Indonesia. Di Jakarta, kampus itu terlibat dalam program tata kelola air tanah. Di Jawa Tengah, IHE bergabung dalam program penanggulangan banjir rob di pesisir utara.
”Bakau terbukti sebagai perintang alami rob. Masalahnya, lahan bakau di pesisir Jawa habis untuk tambak. Pemulihannya tidak bisa dengan gerakan tanam bakau saja,” kata Erik De Ruijter Steveninck, pakar lingkungan laut dan perairan di IHE Delf.
Ia menemukan, hampir seluruh bibit bakau pada gerakan massal tanam bakau itu mati. Sebab, lingkungannya tidak lagi mendukung pertumbuhan bakau. ”Sebelum menanam, pulihkan dulu lingkungannya. Setiap pesisir punya pendekatan masing-masing,” ujar pakar yang terlibat dalam program penanggulangan rob Jateng itu.
Selain langkah alami seperti dilakukan Suryadi dan Steveninck bersama mitra di Jateng, ada juga pendekatan teknologi seperti diterapkan di Kering Huis.
”Sampai sekarang, masih banyak orang bertanya, kenapa harus menghabiskan banyak sekali uang untuk membangun dan mengoperasikan perintang dan bendungan? Setelah diberi tahu dampak banjir, baru sadar manfaat semua ini. Perintang-perintang dan bendungan ini seperti asuransi. Mungkin mahal saat membayar premi. Walakin, terasa murah saat bencana terjadi,” kata Kramer.
Semua pengalaman dan pengetahuan itu membuat Belanda dikenal sebagai pakar pengendalian air. Dalam kebudayaan populer, ada istilah avatar untuk pengendali elemen dasar di bumi, yakni air, angin, api, dan tanah. Apabila avatar mengendalikan air dengan kemampuan supranatural, Belanda mengendalikan air dengan teknologi.