Warga Afghanistan Harapkan Perdamaian Abadi
Kesepakatan damai penting untuk mengawali pembicaraan di antara kedua pihak di Afghanistan, baik pemerintah maupun Taliban, demi masa depan negara itu.
Setelah lelah berperang dengan Taliban sejak 2001, akhirnya warga Afghanistan pun mendukung sekaligus skeptis terhadap momen penandatanganan kesepakatan damai Amerika Serikat dan Taliban, Sabtu (29/2/2020).
Mereka telah menghabiskan waktu puluhan tahun hidup di negara yang terus berperang. Bahkan sebagian dari warga Afghanistan itu mengalami perang seumur hidup mereka. Hingga kini pun mereka masih bertanya-tanya, apakah kesepakatan damai AS-Taliban itu akan bisa diimplementasikan?
Kesepakatan damai AS-Taliban itu dimaksudkan untuk mengurangi jumlah personel pasukan AS di Afghanistan, dari 13.000 orang menjadi 8.600 orang. Kesepakatan damai penting untuk mengawali pembicaraan di antara kedua pihak di Afghanistan, baik pemerintah maupun Taliban, demi masa depan negara itu.
Ada perseteruan sengit di antara para pemimpin politik Afghanistan, juga kekhawatiran bahwa gencatan senjata bisa saja dilanggar. Tantangan menyatukan negara yang hancur tetap saja menakutkan dan mengkhawatirkan.
Baca juga : Pasukan Afghanistan dan Taliban Tetap Bertempur
Arash, polisi Afghanistan yang bertugas di Kabul, ibu kota Afghanistan, masih berusia tujuh tahun ketika koalisi militer pimpinan AS menggulingkan pemerintah Taliban pada 2001.
AS membalas Taliban yang menyembunyikan pemimpin Al Qaeda, Osama bin Laden, yang menjadi dalang serangan di AS pada 11 September 2001.
”Kami tidak dapat melarikan diri dari perang,” ujar Arash. Dia mengatakan, dirinya dan rekan-rekannya menginginkan perdamaian di Afghanistan. ”Namun, para pemimpin politik hanya haus akan kekuasaan, bukan perdamaian. Taliban adalah sesama warga Afghanistan, jadi kita harus berdamai dengan mereka,” lanjutnya.
Ekonomi terpuruk
Ekonomi Afghanistan telah terpuruk karena pertempuran selama 18 tahun dan miliaran dollar AS dihabiskan untuk pembangunan bangsa.
Saat ini, sekitar 55 persen warga Afghanistan hidup dalam kemiskinan atau hidup dengan penghasilan atau upah harian kurang dari 1 dollar AS (Rp 14.000). Jumlah ini naik dari 34 persen pada 2012.
Pada suatu pagi di Kabul yang dingin beberapa hari lalu, puluhan pekerja menunggu dijemput untuk melakukan pekerjaan satu hari. Mereka mengenakan pakaian compang-camping.
Baca juga : AS-Taliban Bahas Isu Gencatan Senjata dan Penarikan Pasukan
Beberapa orang membawa kuas cat mereka sendiri. Mereka berjongkok di trotoar di Kabul di mana gedung-gedung tinggi bertingkat berhadapan dengan toko-toko kecil yang suram.
”Semua orang mencari pekerjaan. Ada ribuan orang seperti kami di seluruh kota,” ucap Qatradullah, salah seorang di antara warga yang mencari pekerjaan berupah harian itu. Qatradullah mengatakan mendukung kesepakatan damai AS-Taliban dan berharap situasi damai akan memunculkan banyak pekerjaan.
”Sayangnya, korupsi yang dilakukan pemerintah telah melumpuhkan. Jumlah dana besar yang dipompa ke Afghanistan hanya masuk ke kantong para pemimpin kami,” ujar Qatradullah.
Transparency International tahun lalu menempatkan Afghanistan di peringkat ke-173 dari 180 negara yang dipantau, dengan skor 16 dari 100 negara.
Taliban jatuh
Presiden AS Donald Trump mengkritik pengeluaran AS di Afghanistan. Menurut Trump, pasukan AS di Afghanistan benar-benar hanya melayani, bukan sebagai kekuatan militer, karena mereka adalah pasukan polisi. ”Mereka harus mengawasi negara mereka sendiri,” kata Trump.
Di bawah rencana kesepakatan damai tersebut, sebanyak 13.000 tentara AS pada awalnya akan dikurangi menjadi 8.600 personel. Namun, rencana itu masih kabur. Pasukan AS akan mundur dari Afghanistan dan Taliban berjanji untuk tidak membiarkan kelompok militan menggunakan wilayah Afghanistan sebagai tempat untuk menyerang AS atau sekutunya.
Pemerintah Taliban digulingkan tahun 2001 saat Presiden AS George W Bush meluncurkan ”perang melawan teror”. Ini adalah tanggapan AS terhadap serangan 11 September 2001 yang menewaskan sekitar 3.000 orang di New York, Washington, dan Pennsylvania.
AS melakukan serangan udara ke Afghanistan pada 7 Oktober 2001 karena pemerintah Taliban telah melindungi Osama bin Laden dan Al Qaeda yang mendalangi serangan di AS tersebut.
Baca juga : Ashraf Ghani Menang Pemilu, Abdullah dan Taliban Menolaknya
Berkuasa sejak 1996, Taliban akhirnya dikalahkan AS dan melarikan diri dari Kabul pada 6 Desember 2001. Hamid Karzai ditunjuk untuk memimpin pemerintahan sementara dan NATO mulai mengerahkan Pasukan Bantuan Keamanan Internasional (ISAF).
Pemilu pertama Afghanistan diadakan pada 9 Oktober 2004 dan Karzai memenangi 55 persen suara dengan jumlah pemilih 70 persen. Taliban berkumpul kembali di wilayah selatan dan timur Afghanistan, dan juga melintasi perbatasan di Pakistan. Mereka terus melancarkan pemberontakan.
Ketika serangan Taliban makin kuat, komando AS pada September 2008 meminta pasukan tambahan sekitar 20.000 tentara AS untuk bergabung dengan 33.000 tentara di darat sebagai bagian dari 70.000 tentara gabungan NATO. Masih terlibat di perang Irak, Bush pun mengirim 5.000 tentara.
Karzai pun terpilih kembali dalam pemilihan 20 Agustus 2009 yang ditengarai ada kecurangan besar-besaran. Jumlah pemilih hanya 30-33 persen dan Taliban terus saja menyerang. Karzai meraih 49,7 persen suara pada putaran pertama dan penantangnya, Abdullah Abdullah, mundur sebelum putaran kedua.
Janji kampanye
Pada 1 Desember 2009, Presiden AS Barack Obama, yang terpilih dengan janji kampanye akan mengakhiri perang Irak dan Afghanistan, mengumumkan pengerahan 30.000 lebih tentara AS.
Osama bin Laden akhirnya tewas terbunuh pada 2 Mei 2011 dalam operasi pasukan khusus AS di Pakistan. Pada 2012, lebih dari 150.000 tentara asing dikerahkan di Afghanistan, di antaranya 100.000 adalah pasukan AS.
Pada 14 Juni 2014, Ashraf Ghani terpilih sebagai presiden dengan 56 persen suara. Ini adalah transfer kekuasaan demokratis pertama di Afghanistan. Pemungutan suara diwarnai oleh kekerasan dan perselisihan atas klaim kecurangan pemilu.
Pada 31 Desember 2014, aliansi NATO mengakhiri misi tempur 13 tahun di Afghanistan. Sekitar 12.500 tentara asing, di antaranya 9.800 tentara AS, tetap melatih pasukan Afghanistan dan melakukan operasi antiterorisme.
Tahun berikutnya Taliban membuat kemajuan militer terbesar sejak mereka terdepak dari pemerintahan. Kelompok Negara Islam (NIIS) juga menjadi aktif.
Baca juga : Ghani Undang Warga Bahas Perdamaian
Serangan Taliban menjadi lebih sering terjadi terutama di Kabul. Kekerasan terkait pemberontakan Taliban tersebut menurut penghitungan PBB pada 2018 tercatat menelan korban jiwa warga sipil sebanyak 3.804 orang.
Untuk menghentikan pertempuran, kesepakatan damai menjadi penting. Para pemimpin Taliban mengatakan, jika kesepakatan damai berjalan sesuai rencana, semua tentara AS akan keluar dari Afghanistan dalam 14 bulan. Namun, AS belum mengonfirmasi timeline seperti itu.
Kesepakatan damai itu juga menetapkan pembebasan 5.000 anggota Taliban dari penjara yang dikelola Pemerintah Afghanistan. Namun, belum jelas apakah Pemerintah Afghanistan akan menyetujuinya.
Taliban dan perwakilan dari Pemerintah Afghanistan akan duduk bersama dalam waktu 10-15 hari sejak penandatanganan kesepakatan damai, Sabtu (29/2/2020). Mereka akan mencoba menegosiasikan kerangka kerja Afghanistan pascaperang. Masalah-masalah di atas termasuk gencatan senjata yang lebih permanen dan hak-hak perempuan dan minoritas.
Para perunding akan coba mencari cara untuk mengintegrasikan kembali puluhan ribu gerilyawan Taliban dan ribuan anggota milisi yang setia kepada panglima perang di Kabul yang telah tumbuh menjadi kuat selama 18 tahun.
Intra-Afghanistan
Mengawal proses menuju negosiasi intra-Afghanistan telah menjadi salah satu PR terbesar bagi para negosiator AS. Ini dipersulit desakan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani untuk mengadakan pemilu pada September 2019. Dia ingin memperoleh mandat menuju negosiasi dengan Taliban.
Namun, para kritikus mengatakan, pemilu justru memecah belah lanskap politik di Kabul. Komisi Pemilu Afghanistan pada awal Februari 2020 menyatakan Ghani sebagai pemenang pemilu meskipun ada tuduhan penyimpangan atau kecurangan dari lawan-lawannya. Bahkan, kandidat presiden Abdullah Abdullah bersikeras akan membentuk pemerintahan sendiri.
Baca juga : Mengimpikan Damai di Afghanistan
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, Selasa (25/2/2020), mendesak Pemerintah Afghanistan agar datang dengan tim yang ”sepenuhnya mewakili” untuk mengadakan pembicaraan dengan Taliban.
Hamid Gailani, negosiator Afghanistan dalam pembicaraan pendahuluan, mengatakan, tantangan terbesar saat ini adalah kekacauan politik di Kabul, dan itu perlu diselesaikan.
Gailani meminta para pemimpin Afghanistan memikirkan kebaikan yang lebih besar dan tidak melewatkan kesempatan yang langka. ”Jika kita kehilangan kesempatan ini, maka itu akan hilang selamanya,” ujarnya. (REUTERS/AFP/AP)